Duabelas

221 28 25
                                    

Liam tetap ingin menemani Harry mencari alamat kakak perempuannya walaupun Harry sudah berkali-kali menolak. "Tapi kamu kan harus ke rumah kakekmu. Dia pasti sudah menunggu" Harry berusaha untuk terakhir kalinya saat mereka keluar dari stasiun New Street dan menunggu taksi.

"Gak apa-apa kok. Aku emang rutin pulang, bukan karena ada perlu atau apa. Kakek udah biasa juga kalau aku gak datang –kadang aku menginap di apartemen temenku. Jadi santai aja" jawab Liam sambil membereskan rambut cepaknya yang makin kempes gara-gara tertidur di kereta.

"Kamu tahu area Handsworth Wood?"

"Aku belum pernah ke sana tapi rute-rute di Birmingham sudah hampir kukenali semua. Itu area yang cukup –yah, gimana ya, Handsworth Wood agak terkenal kurang aman. Tapi sekarang udah banyak berubah sih-"

"Apa itu termasuk daerah kumuh begitu?" Harry mulai khawatir. Bagaimana jika ternyata Gemma tinggal di kawasan yang kumuh dan tidak aman? Harry tidak tahu apa yang dialami Gemma selama mereka terpisah. Sovia selalu mengiriminya uang yang cukup, begitu juga Zayn. Dulu, di awal-awal kepindahan, Gema mati-matian menolak pemberian uang dan merahasiakan nomor rekeningnya. Tapi beberapa bulan belakangan, dia tidak menolak lagi. Harry tidak tahu apakah Gemma menggunakan uang itu atau tidak, tapi yang jelas, Gemma memberikan nomor rekening dan Sovia maupun Zayn rutin mengirimkan uang tiap bulan.

"Bukan sih, bukan" Liam menggeleng seperti berusaha menenangkannya.

Mereka pun naik taksi dan menyusuri area Handsworth Wood seperti petunjuk Liam. Dan Liam benar. Area itu hanya bagian dari suburban yang berada dekat ke universitas Birmingham. Flat dan apartemen yang menjulang di sana banyak di huni oleh para mahasiswa. Semua akses dan fasilitas cukup menunjang kebutuhan anak-anak kuliahan. Harry merasa sedikit lega.

Tanpa kesulitan berarti, setelah jam makan siang berlalu, mereka sudah menemukan alamat yang tertera di kertas yang dulu diberikan Gemma. Alamat tersebut mengacu ke sebuah flat yang cukup besar dan nyaman. Tapi sayangnya, Gemma sudah tidak tinggal di flat itu lagi.

Tak kehabisan akal, mereka menghubungi pengelola flat, dan dari situ mereka menemukan informasi kalau Gemma sudah pindah sebulan lalu. Tapi dia tidak tahu alamat baru perempuan itu.

Dengan wajah kusut dan lunglai, Harry serta Liam duduk di dalam sebuah café yang sejuk sambil memesan makanan dan minuman. Harry sempat kehilangan fokus saat pelayan bertanya dia mau pesan apa, jadi Liam-lah yang mengambil alih. Dia memesan steak dan crushed lemon potatoes. Harry tidak peduli apa yang dipesan Liam- dia akan memakan apapun yang disuguhkan padanya.

Pikiran Harry hanya tertuju pada Gemma. Dia khawatir setengah mati. Kemana Gemma pindah, dan kenapa dia tak pernah mengabarinya? Harry terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada kakaknya itu. Dia tenggelam dalam pikirannya sendiri sampai tidak sadar kalau ponselnya berbunyi berulang kali.

Sovia menelponnya. Ah, tentu saja perempuan tua itu. Dan- Michael juga menelponnya (ada apa Michael menelpon? Apakah pria itu sudah kembali ke Inggris?) Tapi tidak ada nama Zayn.

Ah, sudahlah, pikir Harry kemudian. Dia menelpon balik Sovia. Sedangkan Michael sudah sepenuhnya keluar dari otaknya saat itu.

**

"Kamu gak apa-apa Harry?" tanya Liam beberapa saat setelah Harry selesai berbicara di telepon. Dia menyaksikan Harry bersitegang dengan orang di telpon, tapi Harry cepat-cepat mengakhirinya. Dia mengira kalau Harry sedang dirundung masalah yang cukup serius. Dan kedatangannya ke Birmingham bukan hanya mengunjungi kakak perempuan yang sedang sakit, seperti yang dibilangnya tadi saat di kereta.

Tapi Liam belum berani bertanya lebih jauh. Mungkin saja itu masalah pribadi keluarga yang pelik dan dia belum berhak ikut campur.

Harry malah bengong beberapa detik, sebelum Liam menepuk tangannya dan bertanya lagi, "Harry? Heh, kamu gak apa-apa man?"

Dear Brother | ZarryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang