Sebelas

257 27 29
                                    

Harry jarang bepergian keluar kota sendirian. Selain karena Sovia tidak mengijinkan, tapi dia mudah tersesat, dan pada dasarnya dia memang terlalu malas bepergian sendiri. Dia lebih sering jalan-jalan dengan gengnya, itupun dengan peraturan agak ketat dari Sovia.

Maka, ketika dalam sehari dia memutuskan untuk pergi ke Birmingham sendirian, itu merupakan keputusan besar. Dia juga tidak mengatakan rencananya pada Sovia, Michael, atau apalagi Zayn. Dia tidak bicara pada siapapun soal kepergiannya yang mendadak.

Di hari jumat pagi, diam-diam dia mengepak beberapa baju di dalam tas ransel yang biasa dia pakai ke kampus. Dia hanya membawa dompet berisi beberapa lembar uang, kartu identitas, kartu kredit atas nama Sovia, kamera kesayangannya, satu botol air mineral dan satu-satunya alamat terakhir yang pernah Gemma berikan saat pindah ke Birmingham. Tak lupa juga charger ponsel dan beberapa peralatan pribadi. Selebihnya hanyalah modal nekat.

Setelah menulis note yang ditempel di pintu kulkas, dia bergegas pergi. Dalam asumsinya, Birmingham adalah kota yang cukup friendly bagi orang awam yang belum pernah datang sekalipun, dan mungkin orang-orang akan mudah memberi petunjuk alamat. Birmingham tidak akan sekejam ibukota, begitu pikirnya.

Dengan mengenakan kupluk, kaos oblong polos dilapisi sweater berwarna mustard dan sneaker, dia naik taksi ke stasiun kereta. Setibanya di sana, dia membeli beberapa buah sandwich untuk sarapan dan bekal di perjalanan, dan koran pagi untuk bacaan penghilang kebosanan.

Sambil berdiri dalam antrian pembelian karcis kereta, Harry mengingat kembali kejadian kamis sore kemarin dimana keputusan gilanya ini bermuara.

Awalnya, Harry sama sekali tak menyangka akan mendapatkan kabar yang sangat penting dari Gemma. Dia sedang mengaduk-aduk sedotan di dalam bubble drink-nya yang baru habis setengah saat ponselnya berbunyi. Harry tidak lekas mengeceknya. Dia duduk di meja kantin yang penuh sesak, bersama Ryan dan Louis yang sibuk bergosip tentang gebetan baru mereka di kampus sebelah. Harry tak terlalu memperhatikan obrolan keduanya, sebab dia lebih tertarik mengamati Niall dan Lexi yang duduk berdempetan di meja barisan pertama.

Keduanya tampak begitu akrab.

"Heh, Harry!" Louis menepuk pundaknya dengan keras. Harry terperanjat. "Kamu ngelamun apa tidur sih? Dari tadi di panggil diam aja"

Harry menyeruput bubble drink itu dengan keras, sampai beberapa orang di dekatnya menoleh. "Tuh liat" dia menunjuk dengan gerakan dagunya ke arah Niall dan Lexi. "Sweet lovey dovey" katanya lagi.

"Kamu cemburu?" Louis menyeringai.

Pemuda keriting itu memutar bola matanya, "Lexi memang seksi. Dia kelihatan hot dan ahli di ranjang. Tapi engga, aku gak cemburu"

"Hmmm"Louis lagi-lagi menyeringai kecil.

"Guys, aku benar-benar ketinggalan berita. Kok Lexi sama si Niall berani-beraninya berduaan gitu? Goblok banget pula, coba liat tangan si Niall di bawah meja, apa dia lagi grepe-grepe? Apa dia udah bosan hidup?" Ryan menggelengkan kepalanya dengan prihatin.

"Lexi baru aja putus sama pacarnya" sahut Harry.

"Ooh pantesan" Ryan mencengir. "Pantesan si Niall gercep banget. Begitu putus langsung diembat. Mereka udah jadian apa gimana?"

"Belum kayaknya. Baru PDKT aja itu" Harry menghabiskan sisa bubble drink-nya.

Sejujurnya, Harry merasa kalau Lexi adalah gadis paling menarik yang pernah dia temui sejak mulai kuliah di kampus tersebut. Mereka pernah mengobrol dua kali, walaupun tidak pernah berdua –dan mereka berbagi kesenangan yang sama dalam soal buku serta musik. Gadis ini keren juga, pikirnya. Dia sempat heran kenapa Lexi bisa terjebak bersama pacar yang abusive selama lebih dari setahun, tapi mereka tidak pernah membahas hal pribadi. Mereka bukan kawan dekat, dan Harry cukup senang walaupun hanya bisa sekilas melihat tawa bebas Lexi dan mendengarkan cerita-cerita tentang pengalamannya menjadi volunteer di beberapa shelter hewan.

Dear Brother | ZarryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang