"Aw, pelan-pelan Sov" Harry meringis saat Sovia membuka perban di pelipis kanannya. Dia bersandar di tempat tidur dengan bantuan Sovia. Tubuhnya terasa pegal luar biasa dan kepalanya masih berdenging.
"Tahan sedikit" Sovia membersihkan seluruh luka anak itu dengan sangat hati-hati. Setelah semua selesai, dia menyimpan kembali kapas dan peralatan P3K ke dalam kotak. "Aku sudah buatin bubur. Kamu harus habiskan buburnya dan minum obat" lalu dia mengangsurkan semangkuk bubur yang masih mengepulkan asap"
"Gerahamku masih sakit. Susah ngunyah" Harry meringis.
Sovia menghela nafas. "Ya, aku tahu. Tapi coba dulu ya? Makan pelan-pelan sampai habis. Buburnya sengaja dibuat sangat cair jadi kamu gak perlu lagi mengunyahnya. Langsung telan aja" sahutnya. Dia memperhatikan Harry dengan trenyuh. Bagaimana tidak, sudut bibir anak ini membengkak walaupun darahnya sudah kering. Sebelah matanya juga berwarna keunguan hingga nyaris sulit membuka. Sovia ingin menangis rasanya, karena tak pernah melihat Harry dalam kondisi seperti itu.
Setahu Sovia, Harry jarang berkelahi. Sewaktu kecil, dia hanya berkelahi dengan anak sebayanya karena hal sepele tapi tak pernah sampai terluka parah. Dia justru mendapatkan luka kalau jatuh dari sepeda atau pohon. Tadi malam dia terus membujuk Harry agar mau memeriksakan diri ke dokter, tapi tak berhasil, dan Harry malah menyebutnya terlalu berlebihan.
"Cuma luka gini doang lho, gak perlu dijahit. Kamu terlalu lebay" Harry mengerang –dia mengerang karena kesal dan karena lukanya berdenyut-denyut tiap berbicara. Dan akhirnya Sovia menyerah. Harry hanya mengijinkan Sovia yang mengurus lukanya.
Tuan Clanton memperhatikan mereka dari ambang pintu dengan tatapan cemas. Seperti kecemasan khas orang tua pada anaknya. "Apa yang terjadi, Harry?" tanyanya.
Harry mengambil satu sendok bubur dan menelannya perlahan sambil meringis menahan sakit. "Aku-aku ingin cerita. Sungguh" bisiknya, "tapi s-sekarang mulutku sakit"
Tuan Clanton mengangguk. "Aku lega kalau lukamu sudah membaik. Apa orang-orang yang memukulimu itu-apa kamu mengenalnya? Mereka itu –oh pasti lebih dari satu orang kan?"
Harry menggeleng.
"Kita bisa lapor ke polisi kalau kamu masih ingat siapa orang-orangnya. Mereka harus dikasih hukuman"
"Gak ingat wajahnya. Sebaiknya gak usah lapor polisi lah" Harry menyahut. Dia membuka mulutnya sedikit saat Nyonya Sovia hendak menyuapinya bubur. "Ouch..." dia meringis lagi sambil memegangi sudut bibirnya.
"Sov-"
"Ya" Nyonya Sovia mengangsurkan sendok ke mulut Harry.
"Kamu gak bilang sama Zayn kan soal semalam?"
"Dia tidak tahu apa yang terjadi semalam"
Harry menatap perempuan itu agak lama. Jawaban Nyonya Sovia ambigu. Tentu saja Zayn tidak akan tahu apa yang terjadi tadi malam secara detil, tapi dia curiga Zayn sudah tahu kalau dirinya babak belur dihajar orang. Tapi mau protes juga percuma. Kepalanya terlalu pening untuk berdebat dengan Nyonya Sovia.
Ketika akhirnya Nyonya Sovia dan Tuan Clanton meninggalkan kamar dan membiarkannya beristirahat, ponsel Harry berbunyi. Rupanya Michael mengirimkan sebuah foto dimana dia sedang berdiri di depan bandara JFK. Aku baru saja sampai, begitu katanya. Harry tersenyum sendiri sambil membalas, oke jangan lupa oleh-olehku.
Michael mengirimkan pesan lagi, bagaimana keadaanmu? Sudah baikan? Harry menjawab dengan mengirimkan foto wajahnya yang lebam.
--
Dua hari kemudian, walaupun Nyonya Sovia masih melarang Harry datang ke kampus, Harry tetap masuk kuliah dengan alasan dia tak mau nilainya anjlok lagi tahun ini. Lagipula memar-memarnya sudah mulai memudar. Dia mengenakan kupluk dan poni keritingnya sengaja digerai ke depan buat menyamarkan bekas tonjokan. Luka di pelipis dan sudut bibirnya ditutup dengan plester warna warni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Brother | Zarry
Fanfiction(Completed)- ketika Ibunya menikah dengan laki-laki dari keluarga Malik, Harry tidak pernah menyukai siapapun dari keluarga barunya, terutama kakak laki-lakinya, Zayn. Keduanya mengalami perjalanan berliku sebagai Styles dan Malik demi mencapai keha...