Duapuluh tiga

306 31 30
                                    

Michael tahu kalau kelak dia bakal ketemu Zayn Malik lagi. Tapi dia tak menyangka kalau Zayn akan memukulinya habis-habisan sampai hidungnya remuk dan tulang rusuk nyaris bengkok. Dia terkapar di atas tanah. Darah mengucur dari hidung dan sudut bibirnya yang membengkak. Rasanya sakit luar biasa, dia tak bisa bergerak.

Sedangkan Zayn menyandarkan punggungnya di tembok gedung dengan nafas ngos-ngosan. Punggung tangannya masih berdenyut-denyut sehabis bersinggungan dengan tulang keras.

Mereka mengawali pertemuan dengan tenang di sebuah bar, seperti layaknya dua orang dewasa. Zayn membayar minuman Michael dan mereka mengobrol tentang kehidupan di kampus bertahun-tahun lalu, seperti reuni teman lama. "Aku sebenarnya kaget karena tiba-tiba kamu ngajak ketemuan bro. Kok kamu bisa tahu aku kerja di St. Joseph?" Michael meneguk whiskinya.

"Aku punya kenalan di situ" Zayn menjawab dengan santai. Dia memutar-mutar jam tangannya. "Dan adikku sekolah di St. Joseph" Zayn memulai. Dia sudah cukup berbasa-basi.

Raut Michael sedikit berubah –otaknya langsung klik pada sesuatu menyangkut Harry. Dia yakin kalau Zayn menemuinya dengan satu alasan. Dia cepat menyembunyikan kegugupan dan menyeringai. "Kamu punya kenalan dimana-mana ya sekarang" sahutnya. "Kamu udah jadi orang. Zayn Malik pengusaha sukses dan kaya raya. Aku pernah baca profilmu di salah satu majalah bisnis lokal. Selamat bung" dia mengangkat gelas.

"Aku nelpon nomor lamamu tapi tidak aktif"

"Owh kamu masih nyimpen nomor lamaku? Manis sekali, Zayn. Tapi aku udah lama ganti ponsel, yah –urusan pekerjaan dan segala macam"

"Langsung ke inti aja, Michael. Kamu tahu kenapa aku ngajak ketemuan. Aku gak akan tiba-tiba ngajak ketemuan begini kalau gak ada ada hal yang perlu kita –selesaikan"

Zayn dan Michael tidak pernah betul-betul dekat saat masih berada di kampus yang sama. Saat Michael masih jadi asisten dosen, Zayn beberapa kali bertemu dengannya untuk urusan kuliah saja. Tidak ada hal lain. Dan karena urusan mereka menyangkut mata kuliah yang Zayn ikuti, mereka bertukar nomor ponsel. Michael dengan senang hati mentutornya selama satu minggu, dan Zayn berhasil mendapatkan nilai sangat baik. Sebagai rasa terima kasih, Zayn mentraktir Michael beberapa kali dan mereka pun mulai ketemu di luar kampus.

Zayn berpikir kalau dia berhalusinasi atau apa, tapi dia merasa kalau Michael terlalu memperhatikannya secara berlebihan. Dia tidak suka diperlakukan seperti itu dan Michael pun mengerti. Mereka tidak pernah kontak lagi selain di dalam kampus saat Michael mengajar. Sampai Zayn lulus, mereka masih bertegur sapa seperlunya. Tidak ada masalah serius, tidak ada dendam atau kesalah pahaman apapun. Mereka hanya kenalan biasa, dan kehilangan kontak setelah sekian lama, dan itu juga hal yang lumrah.

Michael tahu pasti kemana arah pembicaraan mereka. Tapi dia tetap pura-pura tidak tahu, karena dia masih belum siap dengan terbongkarnya affair dirinya dengan Harry, adik Zayn. "Emang apa yang mesti kita selesaikan? Dulu kita putus baik-baik kan?" tanyanya sambil mencengir, berusaha mencairkan tensi yang mulai memanas diantara mereka.

"Dia masih anak-anak. Dan kamu gurunya –dia muridmu sendiri. Berapa lama kamu berhubungan dengannya?" Zayn tidak tergoda dengan candaan lelaki itu.

"Masih anak-anak? Tsk –" Michael tertawa keras. "Fisiknya masih anak-anak, memang. Tapi apa kamu pikir dia bocah polos yang gak tau apa-apa? Dia tahu persis apa yang diinginkannya. Lagian –" dia berhenti sejenak, "memangnya kamu punya bukti?"

Zayn tentu sudah mempersiapkan bukti. Dia mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto-foto Michael bersama Harry. Tangannya bergetar menahan emosi. Dia sudah tidak tahan lagi melihat Michael yang cengengesan dengan muka tanpa dosa. Walaupun dia sudah kepergok, tapi sepertinya Michael tidak merasa bersalah atau menyesal sama sekali. Dan itu membuat kepala Zayn makin berasap.

Dear Brother | ZarryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang