25. Awal Kehancuran

2.9K 151 53
                                    

"bener kata orang, kebahagian berlebih adalah awal dari kesedihan yang mendalam."

.

.

.

Setelah pembicaraan itu, Viona berjalan menuju kamarnya. Lebih tepatnya memanjat ke atas untuk sampai di kamarnya.

Kalo kata Viona mah, lebih cepet dan praktis kalo gue manjat.

"Huh."Viona menghembuskan nafas setelah sampai dibalkonnya. Ia berjalan memasuki kamarnya.

"Bagus. Darimana saja kau?"tanya Verel menghilangkan tangannya di dada dan menatap tajam Viona.

Viona terkejut sebentar melihat Verel namun tak lama ia merubah raut wajahnya menjadi lebih santai. Viona melirik jam kamarnya. Ini sudah pukul 2 dini hari lalu mengapa Verel bisa ada di sini?

"Hm, urusan."ucap Viona santai dan berjalan menuju kasurnya.

"Lalu apa yang kau lakukan dengan cctv rumah dari tadi siang hingga malam? Bertemu siapa kau di halaman belakang Hm?"tanya Verel lagi.

Viona memutar bola mata malas.

"Aku ngantuk."ucap Viona malas lalu berbaring di kasurnya.

Verel menghembuskan nafas melihat hal itu.

"Kakak ngapain disini jam segini?"tanya Viona melihat Verel akan mengeluarkan suaranya lagi.

"Hm, tadi kakak ada misi dan saat kakak kembali untuk mengecek mu ternyata kau tidak ada. Perlu kurobohkan tangga dirumah ini agar kau bisa terus memanjat seperti itu hah?"tanya verel sinis.

Viona berdecak mendengar sindiran kakaknya itu. Ia hanya tidak ingin siapapun tau apa yang ia bicarakan dengan Al atau Azka. Karena cctv rumah ini dipasangi penyadap otomatis sehingga jika cctv menyala otomatis penyadap juga akan langsung menyala.

"Kak, apa kau membenci Al?"tanya Viona tiba tiba. Ini salah satu alasan mengapa ia tak ingin Verel mengetahui bahwa ia bertemu bahkan sudah berdamai dengan Al.

"Kenapa?"tanya Verel. Viona tak pernah bertanya tentang hal itu.

"Em, bagaimanapun. Disini kakak yang paling bersedih. Aku saja sangat kehilangan mereka. Apalagi kakak?"ucap Viona mengungkapkan pendapatnya.

Verel mengangguk mengerti. Ia berjalan menuju ranjang viona dan duduk ditepi ranjang lalu mengelus rambut Viona sebentar sebelum menjawab pertanyaan Viona.

"Hm, jujur. Kakak sangat marah, kakak sangat sedih, dan kakak sangat benci atas semua yang terjadi. Bahkan, rasanya kakak ingin menghancurkan semua orang lalu pergi menyusul mom dan dad."
Ucap Verel jujur. Ia memberi jeda pada ucapannya.

Viona terdiam. Ia membiarkan Verel mengeluarkan unek uneknya selama ini.

"Tapi, kakak ingat percakapan kakak beberapa hari sebelum dad pergi ke indo."ucap Verel.

Flashback

"Verel ingin selalu seperti ini."ucap Verel menatap adik dan ibunya yang sedang tertawa.

Alex (ayah verel) tersenyum. Mereka sedang menatap anak dan ibu yang sedang tertawa itu.

"Ternyata kasih sayangmu pada Viona ini melebihi ekspektasi kami. Bukankah waktu itu kau yang bilang sendiri bahwa kau tak ingin menerimanya?"kekeh Alex tanpa mengalihkan perhatiannya pada 2 wanita yang sangat ia sayangi.

"Viona membuatku merasakan bagaimana rasa kasih sayang antara kakak dan adik. Bahkan rasanya aku sudah lupa siapa Viona sebenarnya. Ini takdir. Dan aku menerimanya dengan senang hati."ucap Verel lembut.

the Queen MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang