Happy reading chingu!
.
.
.Semenjak kejadian seminggu yang lalu Amanda tak pernah mau lagi berurusan apalagi memakai benda yang bernamakan micin. Kapok.
Seharusnya dia tak mengabaikan nasihat ibunya tentang pantangan di keluarga untuk tidak memakai micin dalam memasak. Luarbiasa memang hasilnya membuat rasa masakan berubah 180 derajat, dari masakan yang bentukannya ala anak kos bisa berasa seperti masakan restoran hotel mewah. Tapi jangan lupakan juga efek sampingnya yang tak kalah luarbiasa dari hasilnya.
Malam di mana Amanda terpeleset dan tersiram kuah ramyeon, suaminya juga tak menyentuh masakannya barang sedikitpun. Ternyata pantangan soal pakai memakai micin juga di terapkan di keluarga pria itu.
"Jangan di biasain masak pakai bumbu penyedap lagi. Gak baik, efek negatifnya lebih kuat dari racun manapun, kamu gak inget kalo bunda juga ngelarang?"
Amanda yang saat itu terduduk bersandar di kepala ranjang hanya bisa menunduk dalam-dalam sambil memilin ujung piyama hello kitty nya saat Seokjin berdiri di sebelahnya dengan wajah kelewat datar—persis seperti bocah yang sedang di marahin ayahnya karena ketahuan nyuri mangga punya tetangga sebelah.
Sebenarnya Seokjin tidak marah, lelaki itu hanya mencoba memberi nasehat kepada gadis itu agar tak mengulangi lagi memasak dengan campur tangan micin. Sebagai chef yang sudah ahli dalam dunia masak-memasak, micin adalah pantangan terbesar bagi Seokjin. Musuh abadi. Seenak apapun rasanya akan tetap terasa kelu di lidah.
Gadis itu melirik ke kaki kirinya yang di perban. Sudah hampir sembuh sebenarnya, luka bakar yang syukurnya tidak terlalu parah itu mulai mengering dan mengelupas sedikit-sedikit berganti kulit. Cuma Amanda masih tak mau membuka perban—insicure dia tuh kalau harus memperlihatkan kaki melepuhnya kepada Seokjin.
"Perbannya uda di lepas?"
"Belum kak, gak mau di buka dulu, malu soalnya."
Amanda sedang berbicara dengan kakak sepupunya lewat telpon. Namanya Bae Kiara, biasa di panggil Kia atau Ara. Tapi Amanda lebih suka menyebutnya Cia—plesetan dari namanya Kia. Umur kak Kiara dua tahun lebih tua dari Amanda. Seorang mahasiswi tingkat akhir di universitas yang sama dengan Amanda, sedang masa sibuk-sibuknya bergelut dengan tugas akhir dan skripsi. Makanya mereka jarang sekali bertemu akhir-akhir ini, terakhir kali bertemu saat tiga minggu yang lalu di pesta pernikahan Amanda. Gadis itulah yang bertugas dalam me-make over Amanda saat pernikahan.
"Kaki lo cuma kena luka bakar, bukan kudisan atau burikan. Apa yang lo maluin sih?"
"Ih! Malu kak Cia!!!"
"Sok punya malu lo."
Amanda mendengus saja mendengar ucapan kakak sepupunya itu. Saat hendak kembali membuka suaranya, tiba-tiba saja terdengar sebuah suara mesin mobil dari luar rumah. Amanda melirik jam dinding di kamarnya yang menunjukkan pukul empat sore. Ini belum jam pulang suaminya kan?
Demi memastikan rasa penasarannya, gadis itu memutuskan melangkah ke balkon kamar. Di lihatnya ada sebuah Ferrari abu-abu yang terparkir di halaman depan rumah.
"Kenapa? Ada masalah?" Suara kak Cia terdengar khawatir di sebrang telpon. Amanda yang masih mengerutkan keningnya menjawab ucapan sang kakak.
"Kak Cia uda dulu ya, nanti aku telpon lagi."
"Loh, emangnya ada apa? Man—"
Tuut.
Amanda mematikan sambungan secara sepihak. Di letakkannya ponselnya kembali ke atas nakas, kemudian dengan sedikit terpincang dia memutuskan untuk turun ke bawah. Baru saja sampai di ruang tamu, bel rumah sudah berbunyi. Amanda cepat-cepat ke arah pintu utama, membukanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BABY'S BREATH
FanfictionKim Seokjin itu buta dengan ketulusan. Menurutnya sebuah perasaaan selalu mengalir dari pikiran oleh logika yang tercipta, bukan dari hati. Topeng. Itulah dirinya. Penuh kepalsuan dan sulit di tebak. Sampai akhirnya seseorang hadir di kehidupannya...