Sepuluh

159 38 15
                                    

Happy reading chingu!
.
.
.

"DEAN!!!"

"Apasih?"

"Jangan di lempar-lemparin vas bunganya! Itu bukan mainan—"





PRANG!




"CHOI DEANDRAA!!"




"Ups! Sorry."



Choi Deandra. Si bungsu keluarga Choi yang masih duduk di bangku SMP. Umurnya 14 tahun, hobinya main game, main skeatboard, dan jahilin kakak. Punya motto yang bercuit 'bukan hidup namanya kalo gak gangguin Amanda' begitu. Makanya tak heran jika Amanda tak bisa akur walau lima detik saja dengan si bungsu. Selain tengil dan punya sifat jahil yang mendarah daging, Dean juga punya tangan yang selalu ingin tahu dan asal dalam menyentuh barang.

Seperti sekarang, dia baru saja memecahkan vas bunga impor yang baru Seokjin beli seminggu yang lalu. Melempar-lemparnya ke udara lalu di tangkap kembali. Begitu terus sampai akhirnya benda kaca itu pecah berkeping-keping tak berbentuk lagi. Astaga! Kalau suaminya tahu, Amanda mau bilang apa coba?

"Kenapa lo lempar-lempar vasnya? Pecahkan! Lo pikir ini bola?" Amanda menjitak kepala adiknya yang langsung mengaduh sakit. Gemes tuh Amanda, rasanya ingin menjual saja bocah tengil ini ke tokopedia.

"Aduh! Sakit bego!"

Tuh kan. Malah Amanda yang di katain bego. Dasar adik kurang ajar.

"Apa lo bilang?! Mulut lo lemes banget ya Deandra, mau gue usir dari sini, iya?"

"Usir aja! Palingan lo yang kena amuk bunda karna nelantarin gue, wleek!" Dean membaringkan tubuhnya di atas sofa ruang keluarga, menjulur-julurkan lidahnya kepada sang kakak yang sudah mendengus geram seperti banteng yang siap nyeruduk.

'Sabar Amanda, sabar. Cuma tiga hari, bukan masalah besar nampung bocah titisan dakjal itu di sini. Lo pasti bisa!'

Amanda membatin dalam hati, mencoba memberikan jampi-jampi penyemangat kepada dirinya sendiri.

Dengan penuh kesabaran yang amat tebal, Amanda akhirnya melangkah ke dapur untuk mengambil sekop beserta sapu kemudian membawanya kembali ke ruang keluarga—mengutipi pecahan kaca yang berserakan di atas lantai. Sesekali di liriknya adiknya yang malah asik ketawa cekikikan menonton TV dengan kedua kaki berada di atas meja. Seketika Amanda merasa seperti pembantu di rumahnya sendiri.

"Dean, kaki lo gak sopan!"

Tegurnya masih sambil menyapu pecahan-pecahan beling kecil ke dalam skop. Dean hanya melirik sekilas, tak menjawab dan malah tertawa kembali saat tayangan TV menampilkan sebuah adegan yang lucu.

Amanda lagi-lagi mendengus menahan sabar. Kalau saja bukan karena kedua orang tuanya yang harus pergi ke luar kota untuk menjenguk pamannya yang sakit, Amanda sungguh tak akan mau menampung bocah bebal itu di rumahnya. Tapi mau bagaimana lagi, adiknya itu tak mungkin ikut mereka dan bolos sekolah.

Sebenarnya Amanda bisa saja meminta orang tuanya agar menitipkan Dean ke tantenya, rumah kak Kiara. Cuma karena Seokjin yang meminta sendiri agar Dean tinggal di rumah mereka, Amanda benar-benar kicep, membungkam mulut dan tak bisa lagi menyuarakan penolakannya.

*******

Malam ini Amanda bertekad akan memberitahu Seokjin tentang masalah tadi siang. Dia tak ingin bohong, walau Dean itu adiknya tapi Amanda tak akan pernah mau menyembunyikan suatu kesalahan kecil sekalipun.

BABY'S BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang