Empat puluh

121 29 16
                                    

Happy reading chingu!
.
.
.

Soobin tak pernah menyangka kalau sang kakak bisa terlihat selemah ini. Terbaring tak sadarkan diri di atas kasur rumah sakit dengan jarum infus di tangan kanannya.

Sejak dulu Seokjin selalu menjadi role model yang sangat di kaguminya. Entah sejak kapan, rasanya setiap hal yang di lakukan lelaki itu akan terlihat sempurna di mata Soobin. Seokjin yang sejak kecil selalu juara kelas, Seokjin yang selalu mendapatkan piagam dan penghargaan, Seokjin yang jago memasak, Seokjin yang jago berkuda—bahkan menguasai semua bidang olahraga, Seokjin yang pintar menyanyi dan bermain alat musik, Seokjin yang tampan, berwibawa, dewasa, serta berkarisma.

Soobin selalu bisa melihat nilai sempurna pada sang kakak, tanpa pernah tahu kalau sebenarnya Seokjin memiliki sisi lemah yang tak pernah di lihat oleh siapapun. Seokjin pandai menyembunyikannya, tentang raganya yang tak lagi memiliki perasaan serta ketulusan. Lelaki itu selalu bilang kalau dia sakit. Soobin bahkan mengingat setiap kali dia tak bisa menghentikan kekagumannya atau mengikuti kemanapun sang kakak pergi—Seokjin pasti akan selalu berbalik, menatapnya dengan raut serius seraya berkata penuh kelembutan.

'Soobin, dengar. Jangan pernah mau menjadi seperti kakak. Sekalipun kakak terlihat sempurna dan begitu baik, kamu gak akan bisa merasakan secuil pun kebahagiaan saat memilih untuk menjadi seorang Kim Seokjin. Jadi jangan lakukan itu, cukup jadi diri kamu sendiri, paham?'

Soobin mengusap wajahnya. Memejamkan kedua matanya yang memerah menahan tangis. Serin yang melihat hal itu lantas mendekat dan menepuk halus bahu lelaki Choi itu yang bergetar.

Pintu kamar inap Seokjin tiba-tiba terbuka lebar membuat keduanya menoleh.

Soobin bangkit dari kursinya kemudian menghampiri seseorang yang baru masuk ke dalam ruangan.

"Bang..."

Kim Jihoo langsung membalas pelukan Soobin yang memeluknya erat. Mencoba memenangkan adik sepupunya itu yang menangis di bahunya. Jihoo paham sesayang apa Soobin kepada adiknya, Seokjin.

"Apa kata dokter?" Tanya Jihoo menatap prihatin adiknya yang masih terpejam di atas kasur.

Satu helaan nafas keluar dari bibir Soobin sebelum akhirnya melepaskan pelukan. "Yah gitu. Kecapean, kurang tidur, dehidrasi. Mana tekanan darahnya tinggi, maag nya juga kambuh. Kepala batu banget emang, giliran sakit gini bisa banget buat orang khawatir."

Jihoo tertawa lalu mengacak rambut Soobin. "Pencarian Amanda masih belum ada hasil?"

Gelengan di berikan. Soobin lantas melirik ke arah pintu dan bertanya lirih. "Tante sama om gak dateng?"

"Enggak. Papa, lagi ada bisnis di Dubai." Jihoo menghela nafas sebelum melanjutkan. "Kalo mama... gak tau, udah di kabarin, cuma—"

"Iya tahu. Pasti gak perduli kan?" Soobin mendecih kesal. "Kapan sih dia pernah cemas sama anak-anaknya. Mungkin nunggu mati baru nyesal."

Jihoo hanya diam tak membalas. Tak ada sedikitpun rasa tersinggung di hatinya mendengar ucapan Soobin barusan. Karena mau sekasar apapun, ucapan adik sepupunya itu tak ada yang salah. Sampai kapanpun, ibunya itu tak akan pernah perduli meski hanya sebatas menanyai kabar.

"Kak Rini mana?" Tanya Soobin yang tak melihat keberadaan sosok istri dari kakaknya itu.

"Di rumah, Alyn gak enak badan jadi gak bisa ikut kesini." Terangnya. Memang tadi istrinya minta ikut ke rumah sakit, cuma karena putrinya yang mendadak tak enak badan jadilah lelaki itu sendirian yang pergi berjenguk.

BABY'S BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang