Delapan

210 40 9
                                    

Happy reading chingu!
.
.
.

Mobil Mercedes Benz hitam milik Seokjin berhenti di perkarangan sebuah rumah bercat putih berlantai dua. Tak lebih besar dan mewah memang dari rumahnya, namun perkarangannya yang di tumbuhi sebuah pohon rindang dan beberapa tanaman hias membuat suasana di rumah keluarga mertuanya tersebut tampak begitu hangat dan nyaman.

"Uda sampe mas?"

Amanda yang duduk di samping kursi kemudi bertanya sambil celingak-celinguk melihat keluar dari kaca mobil. Benar ini rumahnya. Sepertinya tak berkunjung ke sini selama tiga minggu membuat dia jadi sedikit merasa asing dengan rumah yang sejak kecil di tinggalinya itu.

"Iyakan, rumah bunda ini? Kayaknya mas gak salah alamat deh, Ini bukan rumahnya Brad Pitt kan?"

Amanda menyengir mendengar balasan Seokjin. Lelaki itu lambat laun mulai mau menunjukkan sisi lain dirinya. Seperti akhir-akhir ini, pria itu suka sekali menggodanya atau melemparkan candaan yang menurut Amanda begitu receh namun sanggup membuat perutnya tergelitik geli.

"Yuk, turun."

Seokjin mematikan mesin mobil dan melepas seatbelnya.

"AYOO, KAJJA, LETS GO!" Teriak Amanda ikut melepaskan seatbeltnya dan keluar dari mobil. Dia kemudian menghampiri Seokjin yang sedang menuruni koper dari bagasi mobil. Rencananya mereka akan menginap selama dua hari di sini.

Seokjin menekan bel rumah. Dia berdiri bersisian dengan Amanda di depan pintu.

Ceklek.

Pintu terbuka. Seorang pembantu rumah yang sudah mengabdi sejak Amanda kecil berdiri di ambang pintu dengan wajah terkejut.

"Eh! Non Amanda sama mas Seokjin?!"

"Hehe... apa kabar, bi Sum."

"Kabar baik non, baik sekali. Astaga! Non Amanda kok lama banget gak dateng kesini? Ibu sampe kangen lo non, sering ngelamun kalo masuk ke kamar non."

Dada Amanda bergemuruh sakit mendengarnya. Walau dia hampir tiap hari bertelpon dengan sang ibu, nyatanya komunikasi lewat benda tak akan sama dengan bertemu secara langsung. Amanda merasa bersalah seketika, dia merasa durhaka sebagai anak.

"Siapa bi? Kenapa gak di suruh masuk tamunya?"

Suara lembut seorang wanita yang amat Amanda kenal terdengar dari arah belakang bi Sum. Amanda melihatnya, dia melihat wanita yang paling di cintainya berjalan ke arah mereka.

Tetesan airmata tak terbendung lagi. Dia berlari menerobos masuk—menerjang tubuh sang ibu yang terkejut mendapati perlakuan demikian secara tiba-tiba. Amanda memeluk bundanya erat sekali.

"Bu-bunda, hiks! Maafin Amanda bunda. Amanda bener-bener minta maaf karna uda jadi anak durhaka dan gak perduliin bunda. Maaf karna Amanda gak pernah ngunjungin bunda, hiks. Maaf..."

Choi Hani, sang ibu yang selalu cerewet dengan sang anak sulung namun juga selalu paling lemah jika berjauhan sedetik pun dengan si sulung, tersenyum haru. Tak menyangka jika putrinya yang manja dan selalu merengek kepadanya bisa sedewasa ini semenjak menikah.

"Gak papa sayang, gak papa. Bunda ngerti kalo kamu lagi fokus-fokusnya belajar membangun rumah tangga yang baru, lagi sibuk belajar ngurus suami. Gak papa, justru bunda bangga sama kamu. Dengan begini bukannya nunjukkin kalo kamu uda bisa menerima pernikahan kamu dengan tulus. Malahan bunda kira tiga hari pernikahan kamu bakalan kabur ke rumah, ngeriweh di sini karna gak sanggup menata rumah tangga sendiri. Tapi ternyata bunda keliru, putri kecil kesayangan ayah dan bunda ini uda besar, uda dewasa dengan gak melepas tanggung jawabnya sebagai seorang istri."

BABY'S BREATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang