52✌ - Pamit untuk pergi

34.5K 2.7K 313
                                    

Happy Reading

📕📕📕

Nasya mendudukkan dirinya di atas bangku nya. Ia menenggelamkan wajah nya di antara lipatan tangan nya di atas meja. Menangis dalam diam, itu lah yang sering Nasya lakukan jika sedang menangis di tempat keramaian. Di saat ia membutuhkan dukungan dari teman-temannya, tapi yang ia harapkan sama sekali tidak terjadi. Nasya di jauhi dan anggap sebagai mahkluk yang paling menjijikkan, kenapa semua masalah selalu datang di dalam kehidupannya? Ia sama sekali tidak merasakan rasa bahagia, ia hanya bisa bahagia saat melihat keluarganya atau orang terdekatnya tersenyum. Tapi kenapa? Kenapa semuanya semakin menjauh, sahabat-sahabatnya sekarang sudah menganggapnya orang lain. Dengan waktu yang bersamaan, Fernan yang menjadi tunangannya juga ikut menganggap nya sebagai orang yang sangat kotor.

"Hiks!" Nasya terisak di balik lipatan tangannya. Sakit saat mengingat kembali kata-kata yang di lontarkan oleh sahabatnya dan tunangannya sendiri.

"Kenapa semua masalah selalu ada di dalam hidup ku, Tuhan?! Aku hanya minta satu, kasih aku sedikit kebahagiaan. Ini terlalu sakit, sangat-sangat sakit. Hikss!!" batinnya meratapi setiap masalah yang selalu datang di dalam kehidupannya.

"Kalau memang aku harus pergi, aku siap! Suruh bang Kevan buat jemput aku, Tuhan. Aku ngga akan nolak! Aku hanya ingin ketenangan. Sebentar saja, please kasih aku sedikit kebahagiaan." Tangisnya semakin menjadi, tangan yang Nasya gunakan untuk menutupi wajahnya kini sudah basah dengan air mata yang selalu mengalir deras.

"Kenapa harus masalah ini? Ini terlalu berat. Apa salah aku? Aku capek Tuhan, capekk. Semua tenaga sudah habis terkuras demi keluarga ku." Isaknya "Boleh aku ikut? Aku udah capek, pengen istrahat untuk selama-lamanya." Lanjutnya lagi semakin terisak, bisa di lihat bahu Nasya bergetar hebat, tandanya Nasya sudah sangat merasakan kesedihan yang mendalam.

"Nasya? Lo di panggil ke ruangan Kepala sekolah." Ucap ketua kelas dari kelas Nasya, menyadarkan Nasya.

Nasya mengangkat kepalanya, mencoba melihat siapa yang sudah menyapanya. "Ada apa?" tanya nya.

Danu menatap Nasya jijik. "Lo di panggil ke ruangan kepala sekolah." Ucapnya sekali lagi, lalu pergi dari hadapan Nasya. Dia merasa jijik jika terlalu lama dekat dengan Nasya.

Nasya mengangguk, mencoba menetralkan deruh napasnya dan mengelap wajahnya yang basah. Nasya mengambil tasnya, lalu kembali merapikan rambutnya yang berantakan, lebih tepatnya rambut palsu. Nasya berjalan keluar kelas, ia mendapatkan berbagai tatapan, ada yang menatapnya jijik, benci, marah, iba, kasihan. Nasya lebih baik di tatapan dengan tatapan jijik dari pada harus mendapatkan tatapan belas kasihan dari orang lain. Nasya membenci itu, Nasya merasa di seperti tidak berdaya jika di tatap seperti tatapan kasihan.

"Gue sih ogah punya temen yang ngga tau diri kaya gitu, udah ngga suci!"

"Jijik iyuhh, udah ngga pe****n."

"Kotor, menjijikkan, udah berani buat dosa!"

"Ngga malu apa sih, kasihan gue sama orang tua lo, udah besarin lo susah payah tapi di balas dengan hal menjijikan kayak gitu." Caci siswa perempuan yang terang-terangan menghinanya. Tapi apa lah daya nya, Nasya hanya bisa menerimanya dengan lapang dada, Nasya bisa saja menghajar anak itu, tapi sekarang bukan waktu yang tepat.

Nasya terus melanjutkan jalannya, tanpa memperdulikan orang-orang yang sudah terang-terangan menghinanya.

"Dia saat semua mulai menghilang dari hadapan lo, lo harus yakin kalau masih ada orang yang peduli." -Nasya.

NASYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang