Kepingan Dua

1.5K 103 14
                                    

SMA merupakan momen di mana murid-murid menggantungkan harapan yang tinggi demi bisa memasuki kampus idaman dan bakal menjadi kebanggaan orang tua.

Tak terkecuali Nihala. Impiannya adalah menjadi seorang arkeolog, yang mewajibkannya menempuh studi tersebut. Hanya saja problem berada di institusi yang menaungi pendidikan soal zaman dulu. Ada satu-satunya universitas dan merupakan universitas ternama di negaranya. Tidak menutup kemungkinan, saingan Nihala akan banyak. Dengan alasan itulah dirinya harus menelan banyak kecewa, lantaran tidak lolos seleksi masuk.

Setiap hari meratapi kegagalannya, tak jarang air mata menghiasi. Ia seakan tidak punya tujuan lagi. Kenyerian hatinya semakin bertambah kala Listy berhasil kuliah di kampus idaman. Padahal ia dan Listy selalu belajar bersama untuk mengikuti tes. Nihala rasa ia sudah cukup menguasai ilmu-ilmu yang ditanam selama beberapa pekan terakhir.

Tapi tetap, gadis itu harus menelan pahit, melihat pengumuman hasil atas namanya dipenuhi tulisan merah dan bukan hijau, pertanda dari usahanya yang sia-sia.

Rasanya pandangan Nihala mulai terbatas, ia tidak mampu memandang ke depan lagi. Akan jadi apa dirinya, pun ia tidak tahu.

Apa yang kurang?

Itu yang selalu muncul dalam kepalanya. Terlalu memupuk sampai pada titik depresi. Nihala yang suka memelihara gengsi mulai malu bergaul dengan Listy. Sahabatnya itu perlahan bisa supel dan bukan sosok yang dikenalinya lagi.

Mulai poin di mana gadis itu ingin menyerah, ia menabrakkan setir ke menulis, menuangkan segala beban di jiwa juga raga melalui kata.

Memang cukup menghibur, bagi Nihala begini saja sudah cukup.

Suatu hari, ia sedang mencari ide untuk tulisannya, entah takdir atau bukan, pada momen itulah ia menemui sosok Pangeran Hadid.

Ia ... jatuh cinta secara konyol.

Cuma melihat virtual dan beranggapan punya rasa sebab dadanya berdesir melihat segala pose yang terperangkap dalam dimensi berbeda.

Sejak itu ia mulai mengubah sudut pandangnya dalam menatap dunia. Sebab sebetulnya dunia indah jika kita merubah ke mana mata kita akan mengarah. Apa ke hal positif atau sebaliknya?

Bagi Nihala, Pangeran Hadid benar-benar mempengaruhinya untuk lebih membenahi hidup yang berantakan dan penuh aura buruk.

Karenanya, ia tidak akan melepaskan pangeran dari negeri seberang tersebut barang sedetik. Kalbunya sudah terpaut, sulit baginya memisah.

***

"Nihala...."

Kepala yang ditutupi kerudung menengok ke sana-sini, mencari sumber suara yang memanggil.

"Nihala...."

Nadanya terdengar berat, sebuah suara yang memberi intruksi pada bayangan gadis itu bahwa yang memanggil adalah seorang pria.

"Kamu harus hidup, apapun kondisinya."

Alis Nihala menukik, tak paham maksud dari kalimat tersebut. "Maaf, aku nggak bisa lihat kamu. Kamu setan, jin, iblis apa malaikat?"

Tak menjawab, suara itu malah mengalihkan topik. "Aku akan menunggu, bagaimanapun takdir merajut kita yang bertolak belakang untuk menyatu."

Tunggu.

Setelah berusaha mengingat, jantung Nihala berdentum keras, mendengar kalimat panjang yang mampu menarik seluruh ingatannya.

Jelas sekali itu suara....

"Teteh, Teteh, kadengean suara Umi?"

Samar-samar suara sang ibu merasuki indera pendengarnya. Pandangan yang tadi hanya menatap putih keseluruhan mulai berganti jadi hitam dan sedetik setelahnya mata memburam memandangi cahaya terang.

"Nihala!" Bayangan ayahnya muncul di depan. Memandangi dengan sorot khawatir.

Ia menggapai pelan, tapi seketika terhenti karena tenggorokan terasa gatal dan kering.

"Minum dulu, Nak!" Ibunya menyerahkan segelas air putih, diterimanya dengan masih terbatuk hebat.

Baru setelah menghabiskan cairan bening tersebut Nihala memandang dengan jelas keadaan sekitar.

Rumah sakit. Orang tuanya memandangi dengan wajah khawatir, ada seorang dokter dan sepasang suster, di sebelahnya berdiri Listy. Mereka semua berekspresi sama.

"Apa yang kamu rasakan?" Dokter mendekatinya, menyiapkan stetoskop untuk mengontrol pacuan jantung.

"Pusing." Nihala masih bingung. "Berapa lama Teteh nggak sadar?"

Abu--ayahnya menatap langit-langit sambil berpikir. "Sepertinya dua bulan kurang."

Gadis itu terkejut. "Selama itu?"

"Kamu koma, karena luka yang tercipta cukup hebat dan menyerang bagian otak." Dokter bersuara sekadarnya.

"Kamu oke?" Listy mendekat ragu. Ia memeluk pelan tubuh ringkih sang sahabat. Miris karena kecelakaan beberapa pekan lalu terjadi setelah Nihala berinteraksi dengannya.

Jelas ia merasa bersalah.

"Aku oke, aku pikir diriku ini geus paeh."

"Eh, padu wae kalo ngomong!" Listy menjauh hanya untuk menepuk pelan bibir Nihala.

Tawa tercipta pelan kemudian senyap karena pintu ruangan yang terdobrak.

Saat itu juga Nihala kehilangan kemampuan untuk bernapas dengan baik sebab sosok yang kini berjalan mendekatinya. Seorang pria yang tidak asing dalam benak kini agak membungkuk, menatapinya secara dekat, mengelus pergelangan tangan Nihala yang ditempeli jarum infus.

Hal tersebut tentu berpengaruh dalam organ pernapasannya yang mulai kacau kala mencium parfum pria tersebut secara dekat.

"Li--Listy...."

"Ya?" Sahabatnya menyahut seolah bukan hal yang hebat dengan kedatangan pria tersebut. Padahal Listy jelas tahu seberapa Nihala mengagumi sosok di depannya sekarang.

"I--Ini aku masih belum sadar, ya?"

Mendengarnya, pria itu terkekeh sambil menunduk, membuat Nihala semakin merasa hawa panas merambat dari wajah ke telinga dan kini leher. Bagaimana tidak, selain bisa mencium parfum pria itu, kini aroma sampo menguar dari sela rambut yang terlihat halus.

"Bersyukur sekali, kau sadar dari koma tidak terlalu lama. Aku benar-benar merasa kehilangan."

Tunggu.

Tunggu.

Tunggu.

Ini terlalu indah.

Siapapun yang baik hati dan tidak sombong, tolong bantu Nihala keluar dari keadaan yang begitu tiba-tiba ini.

"Ka--Kamu jangan ngomong pakai bahasa Inggris, a--aku lieur, nggak bisa mikir bu--buat jawab omongan kamu!" Ia merengek, hendaknya menangis deras entah karena apa.

Sekali lagi, siapapun yang baik hati dan tidak sombong, yang suka membantu nenek-nenek menyebrangi jalan meski nenek-nenek tidak mau menyebrang, tolong bantu Nihala saja!

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang