Kepingan Tiga Sembilan

417 41 2
                                    

"SUDAH lewat beberapa hari, Pa." Jura memperhatikan ponselnya dengan detail, tak jauh dari posisinya, Ferdi duduk menyandar, menatap lurus. Mereka berdua tengah duduk di balkon, menikmati udara pagi pada hari itu.

"Tak ada lagi, bukan?"

Jura mengangguk. "Meski ada beberapa, itu media kecil."

"Ya, yang kecil bukan urusan Papa."

"Terima kasih, Pa, terima kasih." Jura melepas atensi dari benda elektronik di genggamannya. Ia menatapi sang ayah penuh pengertian. "Lalu bagaimana soal permintaanku, Pa? Ada lowongan?"

"Setelah Papa pikir, Nihala akan lebih cocok menjadi kepala admin saja."

"Nggak terlalu berat, Pa?"

Ferdi menggeleng. "Di pekerjaan sebelumnya dia juga menjadi back up admin, bukan? Tak ada bedanya, hanya tak sejalur."

Jura manggut-manggut. "Iya juga, tempat kerja Nihala yang dulu itu percetakan."

"Kau bisa memberitahukan soal ini padanya, segera. Kalau mau, Nihala tidak perlu interview."

Putranya menggeleng, tidak setuju. Badannya disandarkan pada kursi sambil menghela napas. "Percaya padaku, dia pasti memaksa untuk mengikuti prosedur dalam sebuah lamaran kerja."

"Benar juga." Ferdi terkekeh, ia mengingat sang anak berkali-kali menceritakan perihal Nihala tentangnya, jadi baik buruk gadis itu, ia tahu. "Setelah itu rencanamu apa?"

Jura tidak menjawab, ia malah tertawa kecil sambil menunduk, menyembunyikan rona merah yang samar muncul di pipi.

"Boleh aku menjadi budak cinta hari ini?"

Ferdi menggeleng geli. "Anything, boy. Kalau begitu Papa pergi dulu, mengkonfirmasi ke direktur soal ini."

"Hati-hati, Pa." Jura menggiring kepergian sang ayah. Jantungnya berdetak tidak beraturan, merasa gelisah karena tak sabar menjemput Listy pulang kuliah. Masih ada waktu, ia memutuskan untuk menemui gadis yang menjadi perbincangannya dengan Ferdi hari ini.

***

"Kak?" Nihala terkejut. Ia sedang sibuk berbincang dengan Balqis ketika tiba-tiba Jura datang, Abu yang menyambutnya dan mengatakan kehadiran pemuda itu.

"Nihala, ada sesuatu yang mau aku bicarakan." Pria itu mengulas senyum, kemudian tarikan bibirnya luntur, mengetahui kediaman Nihala sedang tidak sepi seperti biasanya. "Ada tamu, ya?"

"Ah--" Ia ragu, tatapannya mengikuti milik Jura yang menerka isi rumah. "Ada ibu-ibu yang waktu itu nelpon aku."

"Oh!" Jura membelalakkan mata. "Jadi benaran datang?"

Nihala mengangguk, sesuatu hadir di benaknya. "Kakak harus tahu." Ia berkata tertahan.

"Apa?"

Gadis itu lantas menggeleng, menolak bicara lebih menyadari kalau Balqis berada tidak jauh dari mereka. Meski menggunakan bahasa Indonesia, tetap saja wanita itu pasti mengerti.

"Nanti saja." Nihala menghela napas. "Mau bicara apa, Kak?"

"Mungkin aku juga nanti saja." Jura mengulas senyum. "Berapa lama kamu akan bersama beliau?"

Nihala mengendikkan bahu. "Mungkin sampai sore."

"Kalau begitu besok saja."

"Besok juga aku bertemu dengan beliau lagi."

"Sampai?"

"Sore juga sepertinya."

"Beliau menginap berapa hari?"

"Aku nggak tahu." Nihala menggigit bibirnya. "Penting banget?"

"Sebenarnya bisa saja diobrolkan di media sosial, tapi aku rasa baiknya dibicarakan langsung."

"Nihala," Balqis muncul di tengah mereka, ia mendengar perdebatan dua orang berbeda gender. "Kau ada janji?"

"Ah, tidak, Nyonya."

Wanita itu mengalihkan pandangan pada Jura yang menunduk, memberi hormat.

"Salam, Nyonya." Pemuda itu menarik tepi bibir.

"Salam." Balqis kemudian berpaling lagi. "Kalau kau sibuk, kita bisa jalan-jalan besok. Lagipula aku juga baru saja tiba, sebaiknya aku mengistirahatkan diri dahulu sebelum menggunakan seluruh energiku menjelajah di sini."

Nihala terkekeh tidak enak. "Nyonya sudah repot-repot datang ke mari."

"Tidak apa. Besok aku ke sini lagi, ya. Mungkin pagi, apa bisa?"

"Nyonya mau kembali?"

"Ya, tenang saja, aku pesan hotel dekat sini."

Mau tidak mau Nihala membiarkan Balqis berpamitan, padanya, Jura dan kedua orang tuanya.

"Naha cepet kitu?" Ananta menaikkan salah satu alis melihat diri Balqis yang menghilang di balik mobil yang dikendarai beberapa penjaga.

"Nggak enak, Teteh, Nyonya Balqis sampai rela pulang dulu."

"Tunggu...." Jura menjeda, ia pun merasakan hal yang sama dengan Nihala, tapi terhenti karena satu fakta yang terlontar. "Siapa tadi nama ibu itu?"

"Oh!" Nihala teringat. "Kak, mending masuk dulu."

Mau tidak mau ia memasuki kediaman gadis di depannya. Abu dan Ananta yang ingin tahu pun mengikut di belakang, bersiap mendengarkan satu poin yang berhasil melesak, memberi kejutan.

***

Pangeran Hadid melihat ponselnya, masih tertera tanda terhubung pada nomor sang bunda. Balqis tidak lantas menjawab panggilan dari sang putra, meski hati bocahnya ketar-ketir, terlebih kalau mengingat soal pembicaraannya dengan Safna.

Pintu terketuk, ia berteriak menanyai siapa, saat suara Abian terdengar, Pangeran Hadid mempersilahkan sahabatnya masuk ke dalam kamar, tempatnya melepas stres.

"Kau sepertinya benar-benar menyukai gadis itu." Abian berjalan mendekat, lalu ikut duduk di tepi ranjang, samping putra mahkota.

Ia diam tidak menjawab.

"Menurut yang kubaca, hukum Indonesia memutuskan jika ada seorang wanita yang menikah dengan warga negara asing maka kebangsaannya hilang, dia akan mengikuti suaminya." Abian berhenti sejenak, menatap raut Pangeran Hadid yang sulit diterjemahkan. "Dalam artian lain, gadismu itu harus rela menjadi warga negara Brunei."

Hening di antara mereka.

Abian mengedikkan bahu. "Tanpa hukum itu juga, seharusnya gadismu menjadi warga negara Brunei jika kalian menyucikan cinta kalian. Apa jadinya putra mahkota yang selanjut ini menjadi raja berdiri tanpa ratu? Ibarat kau bermain catur, maka skak, negara porak poranda karena pemerintahan yang lengah."

Pangeran Hadid masih bungkam, tidak mau bicara.

"Pikirkan baik-baik. Aku tidak menghakimi perasaanmu, tapi lebih bagus kalau kau memutuskan untuk menikahi gadis dari bangsawan juga, minimal saja, dia satu negara. Karena yang jelas penyatuan cinta tidak semudah yang dikira. Kalau kau hanya mengikuti nafsu, maka semua yang berjalan tidak akan mulus, akan ada banyak duri muncul yang ujungnya menyakiti."

Mendengarnya, ia menghela napas sebentar. "Hampir tiga windu aku belum pernah seserius ini dan kau tahu Abian, kemungkinan apa yang bisa terjadi."

Sahabatnya mengulas senyum. "Aku tahu, tapi bagaimanapun kau tidak boleh memaksakan, okay?"

"Yang penting satu hal harus aku kuak," Dirinya berhenti. "Apa Nihala juga menaruh rasa yang sama?"

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang