Kepingan Dua Dua

480 49 0
                                    

TAPAK kakinya berlari terburu, pandangan tajam pria itu tidak lepas dari satu objek yang selalu ia kenang dalam pikiran. Orang-orang lalu lalang menatapnya penuh keheranan. Hendak bertanya tapi sepertinya putra mahkota yang satu itu terlihat sibuk.

Seketika, begitu jarak tidak membentang jauh, ia memelankan langkah. Napasnya cepat akibat berlari, ia bergetar, hendak menangis deras melihat sosok di depannya.

Wanita itu--yang dipandangi--tersadar akan kehadirannya, mereka sama-sama berdiam tapi menatap dalam.

"Ibu...." Pangeran Hadid berujar lirih. Membuktikan postur yang berdiri di hadapannya nyata, ia menubruk pelan, memeluk erat sang bunda yang terpisah darinya selama bertahun-tahun.

Ia tidak bersuara, tapi tersenyum dalam diam. Membalas rangkulan hangat dari putra kesayangannya. "Apa kabar, Nak?"

Pangeran Hadid menangis, ia tidak membiarkan celah memisahkan dekapannya terhadap ibunda. "Aku baik, aku baik."

"Alhamdulillah." Mantan istri Raja Hasan--Balqis--mengusap-usap rambut Pangeran Hadid, penuh kasih ia tujukan. Betapa rindu dengannya, tidak putra mahkota Brunei Darussalam, tapi putra mahkota di hati Balqis. "Pria dua puluh sembilan tahun, tampan, kaya raya, menjabat gelar pangeran ini menangis?"

Pangeran Hadid menjauh, membiarkan ibunya menyeka air mata secara lembut. "Aku rindu."

"Ibu juga sama." Balqis mengulas senyum.

Seekor kupu-kupu terbang di antara mereka lantas hinggap di pipi Pangeran Hadid yang basah karena air mata. Hewan itu hanya diam, mengepakkan sayapnya begitu pelan.

"Lihat, kupu-kupu ini mau menenangkan tangismu, kau tidak bahagia?"

"Justru karena aku bahagia." Ia tersenyum, mengambil perlahan kupu-kupu itu. Mencium sayap lembutnya lantas menerbangkan kembali ke alam bebas. "Ibu kapan datang?"

"Baru saja." Balqis menoleh ke kanan-kiri. "Ayahmu di mana?"

"Dalam, sedang berbincang dengan beberapa tamu beliau." Matanya menyendu. "Ibu akan menginap di sini?"

"Belum tahu." Wanita itu tersenyum tidak enak. "Ibu tidak mau mengundang banyak gunjingan. Ada Mar'ah."

"Ibu Mar'ah tidak akan masalah. Aku akan bicara padanya, Ibu akan tidur di kamarku kalau begitu."

Bungkam, tidak menjawab, Balqis hanya bisa mempertahankan senyumnya. Sejujurnya selama bertahun-tahun ia meninggalkan Istana Nurul Iman, banyak hal yang terjadi, yang membuatnya malu untuk menginjakkan kaki di tanah berkah ini lagi. Tapi, mengingat permohonan putranya berkali-kali melalui pesan, meluluhkan hati, melunturkan malu. Ia pun sama rindunya, ingin memeluk bocahnya yang kini sudah menjelma jadi pria dewasa, berkharisma, cerdas dan banyak disukai orang-orang.

Sedangkan Pangeran Hadid sudah merangkul ibunya untuk ikut masuk ke dalam, berdiri tegas di samping sang bunda sebagai pengawal pribadi. Padahal beberapa penjaga yang berdiri tak jauh dari mereka sudah mengikuti Balqis dari keberangkatan mereka di Inggris. Sadar diri, mereka--penjaga--memberi ruang untuk interaksi antar anak dan ibu.

Selama memboyong Balqis, otak Pangeran Hadid berkelana, matanya menilik ke sana-sini, mencari seorang gadis yang berhasil menyadarkannya akan kehadiran sang ibu. Gadis itu--yang memakai kerudung hitam, yang menjadi patokan pandangannya. Pangeran Hadid bersyukur, andai ia mengalihkan tatapannya dari gadis berkerudung hitam itu, pasti ia tidak tahu kalau Balqis ada di sini.

Begitu melihat gadis itu tak sengaja menabrak seorang wanita yang ia kenal, jelas Pangeran Hadid langsung memacu dirinya. Misal gadis itu masih ada di sana bersama ibunya, tentu saja Pangeran Hadid akan segera berterima kasih.

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang