Kepingan Dua Belas

605 46 0
                                    

PANDANGAN kedua orang tua Nihala tidak lepas dari dokter yang duduk di seberang mereka tengah menjelaskan.

"Kecelakaan dua bulan lalu melukai syaraf otak, terjadi pembengkakan karena luka yang diakibatkan benturan keras. Hal itu yang menyebabkan pasien koma."

"Terus, Dok, bagaimana dengan halusinasinya?"

"Wajar, pasien baru saja bangun dari tidur panjang. Dia hanya belum bisa membedakan mana kejadian nyata dan mana mimpinya." Dokter itu menurunkan kacamata. "Mimpi terjadi karena otak hendak menghapus memori yang tidak penting di dalamnya. Besar kemungkinan nama yang disebut ketika pasien siuman adalah sosok yang ingin dilupakan olehnya. Maka dari itu, ia menjelma dalam mimpi pasien selama tidak sadarkan diri."

"Apa langkah yang sepatutnya kita ambil, Dok? Saya akan lakukan, yang penting putri saya bisa menjalani hidup normal seperti sebelumnya."

"Kesehatan mental pasien sedang terganggu, dipicu karena dirinya masih belum bisa menerima apa yang dialaminya selama ini cuma bagian dari bunga tidur. Alangkah baiknya, setelah agak pulih, segera obati rohani pasien ke psikologi."

"Baik, Dok." Abu mengangguk sekali, ia menoleh menatapi istrinya yang menyendu.

Kejadian dua bulan lalu memang fatal, betapa terkejutnya kedua orang tua Nihala mendapati telepon dari nomor tidak dikenal, berkata bahwa putrinya baru saja menjadi korban atas tabrakan maut. Pelaku yang jelas-jelas merupakan supir truk dari perusahaan besar memang sudah bertanggung jawab.

Kompeni itu memberikan bantuan dana yang lebih dari cukup. Tapi jika keadaan Nihala malah jadi seperti sekarang, harta tidak bisa menjamin segalanya lagi.

Langkah kedua orang tuanya lemas, kembali memasuki ruangan di mana Nihala masih terbaring lemah. Tadi, ketika pemberontakannya terjadi disertai lengkingan kesakitan, dokter langsung memberinya obat penenang.

Sebelum menjelaskan keadaan yang menimpa anak semata wayangnya, medikus sempat menyinggung soal beberapa poin yang patut dipahami Abu dan Ananta saat seseorang bangkit dari mati suri alias koma, lantas penjelasan itu berhasil menambah duka dalam hati kedua orang tua itu.

Benar saja, sepanjang hari ketika Nihala bangun, gadis itu hanya muntah-muntah, padahal tidak ada asupan makanan yang menunjang pencernaannya. Dikata hidup tapi jiwanya lenyap, dikata mati, ia masih bernapas. Nihala dalam tahap yang siaga. Dirinya di antara dunia gaib dan alam semesta.

Pada akhir, Abu dan Ananta merasa menyesal, membentak putri kesayangan mereka. Nihala selama hidup belum pernah merasakan kebahagiaan, lantas dirinya menghibur diri di dalam mimpi. Sungguh miris.

"Kalau memang kamu mau pergi, pergilah, Nak. Abi dan Umi minta maaf seandainya masih belum sempurna jadi orang tua." Kala itu, Ananta mengusap sayang rambut anaknya yang menipis sebab rontok.

Tubuh yang dulu diingatnya berisi kini sebatas tulang berbalut kulit. Nihala memang sempat membuka mata selama tiga hari sejak dirinya siuman, tapi kemudian ia terpejam lagi, begitu terus.

Listy yang terkadang datang menjenguk tak bisa menahan air mata kesedihan. Bagaimana sahabat tersayangnya dalam kondisi sekarat tapi enggan menerima ajal.

Masyarakat kata, jika orang susah meninggal disebabkan masalah di dunia belum diselesaikan. Namun, apa yang mendasari Nihala masih kukuh hidup?

Ia teringat, betapa teringinnya Nihala bertemu dengan Pangeran Hadid. Kelakuannya memang disebut sebagai fanatik akut, tapi Listy tahu, justru dengan itu Nihala menyemangati dirinya sendiri di tengah ujian hidup yang tiada habisnya.

Sambil menyeka air matanya, Listy mendekat, gadis itu menyentuh pelan bahu Ananta yang mulai tidak sanggup menahan tangis. Memberi kode bahwa dirinya membutuhkan ruang dengan Nihala. Peka, wanita itu beringsut, berdiri di samping suaminya yang terisak dalam diam.

"Nihala, Sayang." Listy menggenggam tangan kurus sahabatnya. "Bangun, yuk. Aku janji 'kan apa saja yang kamu mau akan aku turuti? Katanya kamu pengin ketemu Pangeran Hadid, pergi ke Brunei, bisa kuliah di negeri minyak itu. Ayo, kita sama-sama wujudkan. Aku bantu sesuai kemampuanku."

Nihala belum merespon.

"Tapi, kalau kamu memilih pergi, aku bakal sedih, loh. Nanti aku kerjain tugas kampus sendiri, dong, nggak ada yang bantuin aku lagi."

Perlahan tangannya bergerak, bukan sesuatu yang istimewa, karena Nihala memang sering sadar tapi tak mengatakan apapun. Jadi, Listy kembali menyokong Nihala untuk hidup lewat kalimat-kalimat pembangkitnya.

"Aku juga penasaran sama Brunei, kemarin sempat nonton video blog orang-orang di kanalnya, indah banget, seperti yang kamu bilang ke aku. Rasanya aku jadi pengin ke Brunei juga, yuk, bareng-bareng sama kamu. Siapa tahu di tengah jalan Bandar Seri Begawan kita ketemu Pangeran Hadid."

Mata Nihala terbuka detik itu juga, ia menggerakkan bola mata ke sana-sini, harapan langsung meningkat di dada Abu, Ananta dan Listy. Takut-takut gadis yang terbaring lemah itu kembali menutup pandangannya seperti beberapa waktu lalu.

"Abi, Umi...." Suara Nihala memecahkan air mata yang ditahan mati-matian.

***

Dingin, itu yang dirasakan Nihala. Ia tidak merasakan tapak kakinya menyentuh benda apapun, dirinya melayang tak tentu arah. Mendadak ia melihat kedua orang tuanya tengah duduk berhadapan dengan dokter.

"Wajar, pasien baru saja bangun dari tidur panjang. Dia hanya belum bisa membedakan mana kejadian nyata dan mana mimpinya."

Suara berat tiba-tiba terdengar di telinganya. Ia fokus, ingin tahu apa yang sebenarnya menimpa diri. Memang benar, Nihala belum bisa membedakan mana kejadian nyata dan mana mimpinya.

Ia rasa, semua kebahagiaan yang membuncah di dadanya sebab menjalani hari-hari indah bersama Pangeran Hadid benar nyata, tapi takdir begitu kejam, merenggut kebahagiaan itu. Nihala sampai tidak punya alasan untuk hidup lagi, mengetahui fakta bahwa keindahan tersebut cuma khayalan.

"Mimpi terjadi karena otak hendak menghapus memori yang tidak penting di dalamnya. Besar kemungkinan nama yang disebut ketika pasien siuman adalah sosok yang ingin dilupakan olehnya. Maka dari itu, ia menjelma dalam mimpi pasien selama tidak sadarkan diri."

Tidak. Nihala protes, ia tak bisa menerima penjelasan bahwa mimpinya bersama Pangeran Hadid merupakan bentuk dari otaknya yang hendak menghapus memori.

Bagaimanapun, Nihala tidak terima untuk melupakan Pangeran Hadid. Pria itu yang berhasil menyelamatkannya dari keputusasaan. Tidak adil jika dirinya pikun atas jasa Pangeran Hadid.

Kemudian semua gelap gulita lagi. Samar-samar dirinya mendengar Ananta bicara soal ikhlas atas kepergiannya.

Oh, tidak semudah itu ferguso.

Memang Nihala belum berniat mati sekarang, siapa juga yang rela pergi saat mimpi-mimpi masih dirajut, tapi kemudian gadis itu sadar diri. Semua di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa, dirinya cuma manusia tak berdaya, berani-beraninya menentang Tuhan. Soal hidup dan mati, jelas kita harus menyerahkan semuanya pada Dia.

Seketika Nihala merutuk diri, pintanya saat itu mungkin hendak dikabulkan, kala dirinya berdoa untuk Tuhan segera mengakhiri hidupnya. Kembali gadis itu menengadahkan tangan, berusaha mencapai rahmatNya yang tak pernah putus.

Bersamaan dengan suara Listy yang menjamah pendengarannya tapi tidak begitu jelas kalimat apa yang terlontar, Nihala berpasrah.

"Yang Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Agung, hamba manusia tidak tahu diri memang. Sudah memohon satu hal, kemudian meminta pasal lain lagi. Tapi, bukankah Engkau senang jika makhlukMu meminta? Maka dari itu, hamba mohon padamu, Ya Tuhan, berikan hamba kesempatan untuk memaknai hidup dengan lebih baik lagi."

Momen itu terasa sakral, detik selanjutnya Nihala merasakan kedinginan yang tersemai di sekitarnya mulai melenyap, digantikan hawa hangat menjalar.

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang