Kepingan Dua Satu

497 44 0
                                    

MELIHAT hasil jepretannya, Nihala tersenyum puas, ia memutuskan untuk segera kembali karena waktu sudah terkikis habis, tinggal beberapa menit peserta akan segera dipanggil untuk balik. Sebelum pergi, ia mengelus sayap kupu-kupu terlebih dahulu dengan lembut, jemarinya menyentuh komponen halus dari kepakan hewan terbang tersebut.

"Bahagia di sini, ya."

Di jalan, Nihala memelankan laju, ia memperhatikan bangunan besar di tengah-tengah. Istana Nurul Iman digadang-gadang menjadi kediaman terbesar di dunia, dengan total kamar lebih dari seribu. Jika gadis itu menjadi bagian kesultanan Brunei, jelas kekhawatiran Listy kalau ia bisa nyasar pasti terjadi.

Seketika Nihala tersenyum, tak sabar menunjukkan hasil karyanya pada Listy--sang sahabat--dan Jura. Segera ia berlari kecil tapi kemudian ia ceroboh hingga menabrak seseorang.

"Ma--Maaf." Gadis itu membungkuk hormat berkali-kali, merasa bersalah atas keteledorannya.

Seseorang itu, wanita berhijab tersenyum padanya, seolah ia tidak mempermasalahkan.

"Peserta di sini?"

Nihala mengangguk sambil bergumam, mengiyakan. "Maafkan saya, saya tidak sengaja menabrak Anda, Yang Mulia."

"Tenang, jangan panggil aku dengan penuh penghormatan seperti itu. Aku sudah bukan bagian dari kerajaan." Wanita itu membenarkan letak tas yang digenggamnya. "Dari mana?"

"Indonesia." Nihala memperhatikan, seingatnya ia pernah bertemu dengan wanita ini, tapi di mana. Ia pun lupa, tak berhasil mengingatnya secara jelas.

"Kau jauh-jauh ke sini?"

Berat hati, Nihala menjawab tak enak. "Iya."

Sebetulnya yang mendorongnya ke mari selain karena Pangeran Hadid adalah Brunei merupakan satu-satunya tujuan gadis itu selama waktu yang cukup. Cita-citanya yang pada akhir tersampai berkat jasa Ferdi dan Jura.

"Kalau begitu, semangat, ya!"

Nihala hanya bisa mengangguk lagi, ia menjaga bahasa, tidak ingin terlalu akrab, takut-takut salah bicara. Tak lama beberapa penjaga datang menghampiri, berbicara pada wanita di hadapannya, seperti memberi petunjuk.

"Aku pergi dulu--" Ia memenggal kalimatnya. "Siapa namamu?"

"Nihala, Nyonya, Nihala Rafaza."

Kepalanya mengangguk. "Sampai jumpa, Nihala."

Sepeninggal wanita tersebut, gadis itu memutuskan untuk melanjutkan langkahnya sambil berpikir. Sosok tadi mengatakan 'sampai jumpa' bukan 'selamat tinggal', itu artinya ada kesempatan untuk mereka bertemu lagi. Nihala janji, jika nanti berjumpa kembali, ia akan menebus kesalahannya. Entah, dengan cara apapun. Karena jelas, perasaan bersalah masih mendekamnya.

Kendati wanita itu berkata bukan bagian dari kerajaan, tetap saja. Nihala sampai malu, ia berbuat tidak baik pada salah satu orang yang mendiami Brunei. Mencoba tidak acuh, Nihala terfokus berjalan, kali ini ia tidak boleh abai.

***

"Kira-kira apa, ya, yang bakal difoto Nihala?" Listy menyandarkan tubuh.

"Kita lihat saja. Pasti Nihala punya sesuatu yang menarik." Jura mengikuti gerak Listy. "Kamu sudah berapa lama berteman dengannya?"

"Lumayan, Kak. Kita satu SMP dan SMA. Tujuh menjelang delapan tahun, lah."

Jura takjub. "Berawal dari SMP?"

"Iya." Listy terdiam, kemudian terkekeh. Kenangannya di kedudukan junior mampir di kepala. "Waktu itu hari pertama masuk sekolah, upacara bendera. Di antara anak yang lain datang tepat waktu karena masih menjadi murid teladan, Nihala justru malah telat. Sudah telat, dia pakai kerudung bebas, bukan seragam."

Pria di sampingnya bungkam, mendengarkan kisah dua gadis yang akhir-akhir ini ada di sisinya.

"Dibantu sama kakak kelas, Nihala berhasil menyelinap di antara barisan murid. Beruntung kakak kelasnya baik, dia akhirnya berdiri di samping aku. Dari situ kita ngobrol banyak hal, lupa kalau lagi upacara, akhirnya kena banyak teguran dari kakak kelas dan guru. Kemudian, pas tahu satu gugus dan satu kelas, kita senang banget. Sejak waktu itu, aku ngerasa Nihala orang yang tepat buat dijadikan teman."

Jura mengangguk, mengambil satu kesimpulan dalam kepalanya. "Di dunia ini, kita memang nggak bisa sembarangan menentukan teman. Ada dua jenis, yang menjatuhkan sama yang mau membangun. Tinggal dari kita saja yang memilih, baiknya berteman sama yang tipe bagaimana."

"Iya, Kak Jura benar banget." Listy tersenyum geli, tak sadar tatapan Jura tidak beralih darinya. Dengan tarikan bibir tulus hanya karena mengingat momen kecil di otaknya, gadis itu terlihat begitu cantik. Sama seperti Nihala, menawan dengan keapaadaan diri.

Orang bilang kalau sudah menjalin pertemanan selama bertahun-tahun kadang diri menjadi menyatu dengan kelompok. Seperti tiba-tiba suara terdengar seiras, cara berpakaian mirip, sampai gelagat yang serupa.

"Pengumuman pemenangnya hari ini banget, Kak?" Listy beralih, kemudian ia baru sadar bahwa pria di sampingnya melihat tanpa berkedip. "Ke--Kenapa ngelihat aku kayak begitu?"

Jura tersadar, ia menggeleng kemudian menggaruk tengkuk belakangnya yang tak gatal. "Menurut artikel lombanya, pengumuman bakal diberi tahu lewat artikel dan pemenang akan dikirim surel. Seandainya pemenang nggak mencantumkan alamat surelnya, pihak kerajaan bakal mendatangi kediaman si jura."

"Juara, Kak." Listy mengoreksi. "Jura, mah, nama Kakak."

"Oh, ya." Pria itu terkekeh ganjil.

"Omong-omong nama lengkap Kakak apa? Aku nggak pernah tahu."

"Sajura Faizal."

"Faizal? Bukan Faisal?"

"Aku juga bingung, apa yang beda antara Faizal atau Faisal. Tapi kata Papa, biar keren aja kalau pakai z. Akhirnya akta kelahiran aku sampai ijazah semuanya, Faizal."

Listy tertawa mendengarnya. "Papa Kakak punya humor juga."

"Kalau kamu, nama lengkapnya?"

"Renggan Listy." Kemudian ia tertawa lagi melihat ekspresi pria di sampingnya. "Aneh, ya?"

"Unik." Jura membenarkan. "Nggak ada aneh di dunia ini, tapi unik. Aneh hanya kata simpanan yang serupa maknanya dengan asing."

"Kakak pintar juga," puji Listy. "Nggak heran, sih, biasanya didikan ilmu medis begitu."

"Begitu gimana?"

"Iya, pada pintar."

"Kamu kuliah memang ambil jurusan apa?"

"Ilmu komunikasi." Lalu ia tertawa, lagi. "Tapi sepertinya aku nggak bakat. Tugasku dikerjain Nihala semua."

Jura ikut tergelak mendengarnya. "Kamu mahasiswa yang bandel, ya."

"Nggak sebandel itu, kok, kalau Kakak mau kenal lebih dekat."

Kemudian hening. Listy sadar akan ucapannya, lantas merutuk diri karena keceplosan. Pasti kalimatnya diberi makna yang berbeda dengan persepsi Jura. Sekarang ia terdengar seperti gadis yang menawarkan diri terlebih dahulu.

Bodoh.

"Tak kenal maka tak sayang. Kita belum kenalan dengan baik." Jura merespon tidak seperti dugaan Listy. Senyum pria itu mengembang. "Namaku Jura, Sajura Faizal. Aku suka banget sama kopi."

Lagi-lagi Listy tertawa. "Nama aku Renggan Listy, aku suka teh."

"Senang berkenalan dengan kamu, Nona Teh."

"Kembali, Tuan Kopi."

"Nona Teh dan Tuan Kopi." Jura menyebut salah satu buku favoritnya. Sesudahnya kedua insan itu terbahak, menertawakan interaksi mereka yang menggelikan.

"Ih, ketawa nggak ngajak-ngajak." Nihala tiba, memasang wajah merengut karena tidak terlibat dengan mesem keduanya. Ia lalu bergabung, mulai menunjukkan apa yang tersimpan dalam kameranya.

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang