Kepingan Dua Lima

512 51 0
                                    

MASIH memandang ponsel, kening Jura berkerut mendapati Nihala menghubunginya beberapa kali. Tadi ia terfokus untuk bertransaksi setelah bahan-bahan untuk membuat pesanan gadis yang menjadi pasiennya didapatkan.

"Nihala nelpon aku." Ia bersuara, menancing Listy mengikuti pandangan ke ponselnya.

"Kenapa?"

Bahunya mengedik. "Nggak keangkat."

"Ada sesuatu kayaknya, Kak." Listy langsung mengecek ponselnya, tapi tidak ada panggilan dari sahabatnya. "Nihala nggak nelpon aku."

"Mungkin cuma mau nanyain soal lomba." Jura kembali memasukkan ponsel. "Kita pulang saja, takut ada apa-apa."

Gadis itu mengangguk. Tidak lama berselang perjalanan mereka, tiba-tiba saja ponsel Listy berdering, nama Nihala muncul di layar sebagai penelpon.

"Nihala." Ia berujar sebentar sebelum mengangkatnya.

"Listy, masih lama?"

Dari nadanya, sang sahabat terdengar bergetar, seolah sesuatu tengah mengancamnya. Satu pemikiran muncul di kepala Listy, lantas dirinya panik.

"Kamu kenapa?"

"Nggak, nggak apa-apa. Kamu masih lama?"

Pertanyaannya diulang.

"Nggak, aku sebentar lagi sampai sepertinya."

"Aku izin keluar sebentar, ya."

"Mau ke mana, jangan pergi!"

"Sebentar doang. Bilang ke Kak Jura tolong cek pesan dari aku."

Dengan berujar begitu, Nihala langsung memutuskan panggilan.

"Kenapa?" Jura menoleh ke spion taksi, mendapati wajah gelisah Listy mengundang alisnya naik.

"Cek pesan dari Nihala, Kak!" Listy langsung menyampaikan.

"Nggak ada pesan." Tiba-tiba muncul satu notifikasi. "Eh, ini baru ada."

Pria itu diam membaca dalam hati hingga kesimpulan dari catatan yang dikirim Nihala, Jura tidak bisa menahan senyum lebarnya.

"Nggak perlu cemas, Listy." Jura masih mempertahankan tarikan di sudut bibir. "Nihala baik-baik saja, sangat."

Listy sudah bingung, sampai penjelasan Jura membuatnya berteriak histeris secara tertahan, air mata harunya bersamaan degup jantung berdebar tak sabar mampir di diri.

"Kita harus ubah alamat!"

Jura terkekeh "Kamu mau nyamperin Nihala sambil nenteng-nenteng bumbu dapur?"

Seketika mereka tertawa, melupakan sosok supir taksi yang diam tak mengerti pembicaraan.

***

Kemarin, niatnya Pangeran Hadid hendak mengantarkan sang bunda ke bandara, apa daya Raja Hasan memanggilnya untuk menghadap.

Perintah dari sang ayah langsung diterimanya begitu ia bertemu dengan pria yang baru saja bertambah umur tersebut.

Meski di satu sisi merasa berat hati, tapi di sisi lain Pangeran Hadid mencoba menerima. Ayahnya benar-benar sibuk akhir ini, menjamu banyak tamu yang berkunjung untuk memberikan selamat atas hari jadinya.

Raja Hasan bilang pemenang lomba ini diraih oleh seorang gadis asal Indonesia, bukan dari negaranya sendiri. Tentu saja mendengar sedikit informasi itu sudah menggelitik rasa penasaran padanya.

Sampai tiba sekarang, ia berhadapan dengan sang juara yang ditetapkan ayahnya. Gadis itu, mematung memandang dirinya, seolah-olah Pangeran Hadid merupakan satu objek yang begitu mengejutkan.

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang