Kepingan Empat Empat

462 44 6
                                    

HENING di antara ketiganya, mereka tidak berminat untuk memecah sekat kesenyapan, membiarkan diri diikat kondisi sunyi.

Nihala yang memejamkan mata, merasa rencananya hari ini untuk membahagiakan sang anak dan ibu gagal seketika, sambil menghela napas, ia pandangi bergantian antara Pangeran Hadid yang duduk di depan melalui spion mobil dan Balqis yang duduk di sampingnya.

"Maaf." Ia bersuara pelan hampir terdengar mencicit.

Mendengarnya, Pangeran Hadid mendongak, ia membalas tatapan melalui media cermin. "Untuk apa?"

"Soal hari ini, belum juga sepenuhnya Nyonya dan Pangeran menikmati perjalanan sudah terusik."

"Bukan salahmu." Balqis mengurai senyum, ia memegang tangan Nihala dengan remasan pelan. "Baiknya kita pulang saja."

Kepala Nihala mengangguk. Kembali mereka bungkam tidak bicara, hanya suara dari radio mobil yang menghiasi. Hingga deringan telepon menghancurkan kehampaan. Itu ponsel Nihala, ia memutuskan untuk mengecek, seketika menautkan kedua alis heran.

***

"Aku sudah menyuruhnya datang ke sini, kebetulan Pangeran Hadid dan Ratu Balqis sedang bersamanya." Jura memandang serius. "Tapi, Pa, apa dirasa terlalu lebay kalau sampai klarifikasi?"

"Kalau yang dibutuhkan pengguna internet Indonesia adalah hal memalukan seperti itu, maka jalani, dengan demikian mereka bisa diam tidak nyinyir lagi."

"Kak, aku rasa benar kata Pak Ferdi, sekali berbuat sesuatu yang memancing nggak akan bisa lolos begitu saja tanpa adanya basa-basi." Listy bersuara.

"Terus klarifikasinya mau seperti apa, Pa? Lagipula Nihala ini nggak dikenal orang banyak."

"Buat saja video permohonan maaf."

Jura menggeleng tidak mengerti. "Memang harus seperti itu, Pa? Apa dijamin nggak akan ada lagi yang menyerbu?"

"Yang penting kita menutup mata, mulut dan telinga orang-orang awam saja dulu, masalah wartawan Papa akan urus."

Tak lama deru mobil terdengar, dari sana keluar Nihala beserta Pangeran Hadid dan Balqis dengan langkah lemas mereka.

"Jadi aku harus apa?"

Jura menjelaskan detail rencana dari Ferdi mengikut persetujuan Listy, baginya yang penting sang sahabat lepas dari cengkeraman netizen.

"Kamu keberatan?"

Nihala tidak menjawab, ia masih sibuk berkutat bersama pemikirannya. "Apa rasanya aku sok terkenal sampai buat video klarifikasi segala?"

"Kalau bisa memutus penyebaran beritanya, mengapa tidak?" Ferdi menaikkan salah satu alisnya. Ia siap menutup semuanya tapi tidak mungkin dirinya hanya fokus pada permasalahan Nihala, kendati gadis itu sudah seperti putri kandungnya, tetap saja Ferdi tidak bisa seegois itu memprioritaskan satu hal dan menelantarkan satu lainnya.

"Bagaimana, Yang Mulia?" Jura tahu kondisinya akan dilempar pada pemeran kedua dalam drama ini. Ia pandangi Pangeran Hadid dengan tatapan dalam.

Seperti Nihala, Pangeran Hadid tidak menjawab, ia pun sama sibuk berkutat bersama benaknya. Banyak benang yang disambungkan, hingga ia menarik napas dalam, memantapkan diri.

"Kurasa tak perlu ada klarifikasi."

"Lalu, bagaimana kita menyetop ini?" Ferdi mengerutkan kening.

Nihala sudah pasrah, mau bagaimanapun perintah nanti yang akan dijalaninya, ia hanya berharap hal itu mampu menghentikan momen mengerikan ini.

"Biarkan aku mengumumkan kalau Nihala adalah calon istriku, dengan begitu publik akan diam tidak berani macam-macam, selain dari pertanyaan soal kedekatan kami, kurasa itu tidak masalah."

***

"Cuma berperan?" Abu menaikkan salah satu alis.

"Kalau bisa betulan, saya akan melakukan." Pangeran Hadid mencoba berbincang dengan Indonesia agar orang tua Nihala paham maksudnya. Sembari menundukkan kepala, pria itu tidak mampu menatap langsung ke sorot tajam yang mengulitinya diam-diam.

Abu menarik napas dalam, ia masih melipat kedua tangan di depan dada.

"Saya harap Tuan memberikan kesempatan untuk putra saya." Balqis mengulas senyum sambil memegang tangan putranya secara lembut.

Kedatangan Balqis beserta putranya yang sudah diketahui Abu dari kemarin membuatnya tidak bisa menerima secara mentah-mentah, terlebih ketetibaan ini belum sanggup dirinya cerna. Rumah yang biasanya sepi secara mendadak ramai, penuh orang.

"Saya menghargai kerendahan hati, Nyonya dan Yang Mulia, tapi maaf, saya belum bisa sepenuhnya menyerahkan hal ini supaya terealisasi."

"Pak, coba dipikir dulu." Ferdi berujar tenang, menengahi.

Abu malah menggeleng. "Pernikahan lintas negara itu nggak mudah, saya tahu. Jadi bagaimana saya membiarkan putri saya masuk dalam kesulitan?"

"Ikan di laut, sayur di gunung, ketemunya di masakan istri. Bapak mengerti bukan perumpaan itu? Sejauh apapun, seberat apapun, namanya jodoh kita tidak bisa menahannya."

"Tapi bukankah ini hanya pengalihan?" Abu masih keras. "Kalau memang putri saya terseret dalam pemberitaan yang nantinya Yang Mulia sebarkan, itu hanya bagian dari rencana pembungkaman saja, bukan?"

Pangeran Hadid memejamkan mata, ini memang salahnya yang menyampaikan maksud secara setengah-setengah, ia memberanikan diri, meski tanpa ayahnya, pria itu tahu dirinya tidak mungkin berlama-lama.

"Kalau begitu, biarkan saya meluruskan, tidak ada lagi kepura-puraan." Suaranya tenang bak air sungai yang mengalir, terlihat tentram padahal bila ditelusuri lebih dalam, banyak bebatuan menghadang. "Saya, Pangeran Hadid Quthni meminta keridaan dari Bapak untuk mengizinkan saya menikahi putri Anda, semata-mata bukan untuk urusan duniawi saja tapi hingga ke akhiratNya."

Seketika semuanya selain Balqis yang berada di sana terbelalak, mendapati keputusan tiba-tiba dari sang putra mahkota, sedangkan ibunda hanya tersenyum lebar, mengerti.

Andai saja saat seperti ini Raja Hasan berada di sini, momen yang sedang dijalani mereka mungkin akan terasa lebih berarti.

Ah, membayang apa Balqis, ia kemudian mencoba fokus kembali. Matanya menatap Nihala yang megap-megap, lengkap bersama pandangannya yang terbelalak.

Di sampingnya, Listy juga berekspresi sama, pun Jura. Hanya Ferdi, Abu dan Ananta yang masih bisa mengontrol kondisi wajah.

"Apa alasan Yang Mulia hendak menikahi putri saya?" Abu menaikkan salah satu sudut bibir, menghina diam-diam, bagaimana status tinggi tidak menjamin kedewasaan seseorang dalam mengambil keputusan. Jelas saja, pria di depannya ini yang diagungkan banyak kaum hawa sudah mengambil langkah secara terburu.

"Tuhan." Ia menarik napas dalam terlebih dahulu. "Karena Tuhan saya hendak menjadikan putri Anda istri saya, yang akan menemani saya hingga janjiNya soal pencabutan nyawa berada di depan mata."

Jawaban singkat itu berhasil membuat ekspresi Abu sama dengan putrinya. Ia tidak menyangka, dipikirnya pertanyaan itu akan memberatkan dan membuat Pangeran Hadid menyurutkan niat, nyatanya, ia yang harus mengibarkan bendera putih.

Kalau kebanyakan pria hanya menyebut soal dunia yang pastinya fana, Pangeran Hadid jelas beda, ia mengungkit akhirat sebab mengimaninya.

Lalu, respon seperti apa yang bisa Abu lontarkan lagi selain persetujuan?

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang