Kepingan Lima Belas

537 43 1
                                    

SUDAH genap hari ke empat Nihala sering berinteraksi dengan Jura. Pria itu memang cocok dijadikan tempat bercerita bila topik menyangkut Pangeran Hadid. Ia bahkan tidak harus berusaha sendiri untuk memanjangkan bahan pembicaraan. Jura selalu bertanya setiap akhir hingga obrolan mereka berlanjut terus.

Sama seperti sekarang, ia melihat akun profil Pangeran Hadid di media sosial Jura. Meski sebelumnya batin diri bergulat ingin melupakan putra mahkota dari negeri seberang, Nihala memutuskan untuk tidak mau pesimis.

Setidaknya ia hanya perlu mengurangi rasa yang berlebih. Seperti kalimat yang selalu kita dengar, jika cinta dengan seseorang sedang-sedang saja dan Nihala berusaha mewujudkan hal tersebut.

"Kakak laki-lakinya habis ulang tahun. Dia sering banget, deh, ngucapin selamat setiap hari jadi kakak atau orang tuanya."

"Dia anak terakhir, ya?" Jura tidak risih karena memegangi ponselnya agar bisa dilihat Nihala juga.

"Iya, anak ke empat dari empat bersaudara. Kakak laki-laki satu, dua yang lain kakak perempuan." Tiba-tiba Nihala ingat sesuatu. "Kak, coba cari tahu soal ibunya Pangeran Hadid."

"Kenapa?"

Tubuhnya agak menjauh sebentar. "Di mimpi aku ada sesuatu yang janggal antara Pangeran Hadid dan ibunya."

"Begitu?"

"Jadi Raja Hasan Husein niat mau mengadakan walimah kita berdua, terus agak cekcok gitu, Pangeran bilang dia nunggu ibunya karena sudah janji mau hadir di acara, tapi Raja kukuh, nggak mau nungguin beliau."

Jura mengerutkan kening, satu cerita yang belum dilontarkan Nihala. Lantas ia mengikuti arahan gadis di sebelahnya, menuju pada kolom pencarian.

"Di sini nggak ada bahasan. Aku cek Wikipedia, biografi Raja Hasan Husein."

"Itu, Kak, coba klik yang ini!" Nihala menunjuk satu kalimat--nama seseorang dengan keterangan istri--berwarna biru.

"Ratu Balqis binti Teuku Ghaissan, seorang yang memiliki seperempat darah Swedia, seperempat Taiwan, sisanya Brunei adalah istri kedua dari Raja Hasan Husein Quthni."

"Ada informasi lain?" Nihala bak tidak mau kelewat sedetik pun.

"Nggak ada."

"Coba pinjam, Kak." Ia menerima ponsel Jura, menggulir layar ke bawah hingga internet menggiringnya pada satu artikel berjudul menarik. "Ratu Balqis binti Teuku Ghaissan terlilit utang besar, Raja Hasan Husein Quthni tutup mulut, angkat tangan."

Mendengarnya, Jura memicing, memfokuskan pendaran mata untuk membaca tulisan yang tersaji di layar ponsel. Selesainya, mereka saling pandang.

"Aku sama sekali nggak pernah search soal ibunya Pangeran Hadid, selain karena berita dalam bahasa Indonesia jarang, aku lebih fokus ke anaknya, soalnya anaknya yang ganteng bukan ibunya." Seketika Nihala terkekeh, kemudian ia mengontrol diri. Kini suasana mereka sedang serius.

"Nihala, selain mimpi kamu mengusut Ratu Balqis, ada hal lain nggak?"

Ia menyerahkan ponsel Jura terlebih dahulu sebelum terdiam berpikir. "Nggak ada sepertinya. Awal mimpi aku bermula ketika aku bangun koma, ada Pangeran Hadid, terus Abi bilang kalau aku sudah menikah dengan Pangeran. Pulang dari rumah sakit, kita makan seblak, setelahnya bicara mengenai aku yang harus ikut ke Brunei, aku terima asal Pangeran mau jalan-jalan mencoba banyak makanan di Bogor. Pernah mampir ke rumah Listy sebentar, itupun untuk pamitan, pulangnya ternyata aku dapat haid--"

Jura menaikkan salah satu alis ketika Nihala menghentikan kalimat. Gadis itu baru sadar mengenai poin yang mengerubungi kepalanya.

"Kak Jura, aneh, ya, meski mimpi atau sedang dalam keadaan koma, aku masih bisa sumbilangeun."

"Apa sehari-harinya kamu sering merasakan kram perut selama haid?"

Nihala mengangguk.

"Kamu sudah terbiasa dengan sakit itu sampai terbawa di alam bawah sadar kamu.

"Oh, begitu." Kemudian kepalanya menunduk. "Aku sudah percaya aja apa yang aku alami di mimpi sama Pangeran Hadid adalah kenyataan. Meski awalnya ragu, takut cuma angan-angan, tiba-tiba dengan kejadian aku haid itu aku percaya sepenuhnya kalau apa yang mendera aku itu benaran, bukan ilusi. Makanya aku nggak bisa menerima banget saat tahu kalau aku nggak benar-benar menjalin hubungan dengan Pangeran Hadid."

Jura tersenyum mendengarkan, tangannya mengelus kepala gadis yang duduk di sampingnya. "Jangan siksa diri kamu, Nihala. Seperti pelajaran kita sebelumnya, kan. Kamu berhak bahagia, benar atau tidaknya mimpi kamu itu. Daripada hanya memandang di kacamata negatif, coba ubah persepsi kamu, jadikan pacuan untuk kamu semangat supaya bisa mengunjungi Brunei suatu hari nanti."

Mata Nihala berpendar, penjelasan Jura menenangkan gemuruh batinnya. Selalu. Kata-kata pria itu berhasil membangkitkan animo yang sempat menurun.

"Terima kasih, ya, Kak Jura." Ia mengulum bibir. "Pelan-pelan Nihala juga sudah mulai bisa menerima. Waktu kejadian pertama tahu, aku langsung stres, sampai-sampai minta ke Tuhan yang nggak-nggak. Begitu Dia mau mengijabah, aku kelimpungan sendiri. Kenapa, ya, kalau orang sudah di titik akhir selalu berharap cepat mati?"

"Karena pemikirannya buntu, secara tanpa sadar kalau sedang di posisi itu kita membatasi diri untuk berpikir luas, rasanya kalau meninggalkan dunia ini semua masalah kelar, tapi justru itu salah besar, yang ada malah menambah."

"Iya, Kak Jura benar, lagipula kalau sudah mati nggak bisa kita minta sama Tuhan untuk hidup lagi, kan?"

"Nah!" Jura mengetuk pelan kening Nihala dengan telunjuk, ia mengalihkan pandang pada ponsel, berniat mengembalikan ke layar utama sampai sesuatu menahannya. "Nihala, kita sudahi dulu, ya, hari ini."

"Masih mau ngobrol." Bibirnya cemberut.

"Nanti telpon aku saja."

"Nggak enak, takut ganggu."

Jura menggeleng. "Kenapa harus merasa terganggu?"

Dengan begitu Nihala bungkam, ia menyetujui, segera melakukan terapi penutup, menarik napas dalam sambil memejamkan mata, mencoba melepas energi-energi buruk yang bersemayam dalam diri.

Sambil berbisik lirih dalam hati, Pangeran Hadid, terima kasih banyak atas pelajaran hidup yang sedang aku jalani ini. Aku akan berusaha supaya bisa benar-benar ketemu kamu.

***

"Tanggal dua Februari nanti Raja Hasan berulang tahun. Di hari jadi beliau, Istana Nurul Iman dibuka untuk umum sebagai perayaan."

Kepalanya mengangguk. "Dua pekan lagi. Nggak cuma masyarakat Brunei yang dibolehkan berkunjung, beberapa turis juga diberi izin."

"Kamu yakin Pangeran Hadid akan ada di sana?"

"Tentu saja, Pa, ayahnya membuat acara akbar di hari milad, bagaimana mungkin putranya nggak hadir?"

Ferdi manggut-manggut. "Papa akan pesankan tiket pesawat dan hotel untuk Nihala. Tapi, siapa yang akan menemaninya?"

"Biar Jura."

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang