Kepingan Empat Belas

549 41 0
                                    

"KITA ngelakuin banyak hal, makan seblak, pergi ke Sempur, beli bihun telur gulung, main motor, seru, deh!" Sambil menggigit kue yang diberikan Jura, Nihala masih asik bercerita.

Sudah lewat sepuluh menit, gadis itu masih nyaman berceloteh ria. Sedangkan Jura hanya memperhatikan detail, sambil sesekali merespon seolah sama-sama menyukai Pangeran Hadid.

"Di mimpi kamu itu yang muncul siapa aja selain Pangeran Hadid, sahabat dan orang tua kamu?"

Nihala berdeham, memainkan telunjuk di dagunya. "Aku 'kan diboyong sama Pangeran Hadid ke negaranya, Brunei. Di sana aku ketemu beberapa penjaga istana kerajaan. Berbincang sama Raja Hasan Husein Quthni, Safna--cewek yang diisukan sebagai kekasih Pangeran Hadid, Kak Jura tahu?"

"Iya, media bilang karena Safna cucu dari penasihat Raja Hasan ada kemungkinan mereka bisa dijodohkan." Jura merevisi. "Tapi itu media 'kan siapa tahu aja cuma gosip. Kasihan juga Safna sampai diserang netizen dari Indonesia karena berita itu."

Nihala menunduk, tiba-tiba bayangan mengenai Safna yang mencium Pangeran Hadid menimbulkan rasa panas berdenyaran di dadanya. "Mungkin saja benar, Kak. Lagipula Safna itu sempurna, sebagai anak raja, Pangeran Hadid pasti nyari yang setara sama dia."

"Ah, nggak juga, kok. Persepsi kamu salah, Nihala. Di dunia ini nggak ada yang sempurna, Tuhan menciptakan makhluk sesuai porsinya masing-masing. Bisa jadi saja dia bagus di fisik tapi nggak di sifatnya. Kita nggak tahu, loh. Yang kita tahu, kita cuma bisa menjustifikasi mereka dengan pemikiran yang kita buat sendiri."

Nihala terdiam, ia mendengarkan saksama perkataan Jura. Pria itu dari penampilannya mungkin sedang menginjak usia pertengahan kepala dua, meski begitu kedewasaan terlihat jelas dari bentuk rahang yang tegas, jambangnya tumbuh agak memanjang, menambah daya pikat pada paras yang memang tampan. Jangan lupakan bulu mata tebal, alis menukik indah, meski begitu ada kekurangan.

Bibirnya bervolume, suatu tolak belakang yang kentara, di mana-mana wajah sejenis Jura memiliki bibir tipis. Selain bibir, kekurangan juga terletak pada hidung bangirnya. Ya, kembali pada ujaran pria itu, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.

"Nah, kita lanjutkan obrolan kita besok, ya."

"Ih, kok sudahan?"

"Kenapa?" Sembari merapikan kertas berisi dokumen gadis di depannya, Jura mengulum senyum geli.

"Masih banyak yang mau ceritakan sama Kakak." Bibirnya mencebik.

Jura mengambil sebuah kertas, menyodorkan pada Nihala yang mengerutkan kening. "Chat atau telpon aku saja kalau ada hal yang mau kamu ceritakan lagi. Itu nomorku bisa WhatsApp juga."

"Benar, ya, Kak!" Mata Nihala berbinar bahagia, ia lantas menyimpan kartu nama Jura di saku celananya.

"Iya, Nihala, tentu saja." Pria itu semakin menarik tepian bibirnya. "Sampai ketemu besok, ya."

***

"Nggak jadi beli susu jahe merah?" Abu menatap sekilas putrinya dari spion mobil.

"Nggak, Abi. Nanti saja minta Umi buatkan."

Sekembalinya Nihala dari ruang praktik Jura, gadis itu terlihat bersemangat, ia juga berkata berkali-kali agar hari cepat berganti dan dirinya bisa ketemu Jura lagi. Kedua orang tuanya dan Listy sampai saling senyum, pandangan mereka sama.

Nihala mulai pulih sepenuhnya. Terlebih tidak ada perkataannya yang menyebutkan Pangeran Hadid seperti kejadian terdahulu.

Apa terapi psikologisnya berhasil?

"Aku pulang, ya, insyaAllah aku mampir lagi ke sini lusa. Besok ada tugas." Listy memeluk Nihala sambil berpamitan ketika mereka baru saja tiba di kediaman keluarga Rafaza.

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang