Kepingan Empat

1K 82 4
                                    

TUBUHNYA memutar, mendapati gadis yang sudah menjadi istrinya itu hanya berdiri mematung, tidak mengikuti langkahnya menuju mobil.

Nihala sudah diperbolehkan pulang, jelas setelah luka di kepalanya sembuh. Selama menjalani perawatan, Pangeran Hadid benar-benar berniat membunuhnya secara perlahan. Sebab kelekatan jarak yang sering dijumpai ternyata berpengaruh buruk terhadap pacuan jantung dan sistem pernapasan.

Berkali-kali Nihala juga mengusirnya agar dalam ruang rawat tidak ada interaksi intim. Biarkan saja ocehan Ananta dan Abu menemani hari-hari asal jangan asma menyerang secara mendadak.

"Apa semuanya baik-baik saja?" Kerutan dahi menampak kentara di kepala berusia hampir tiga puluhan itu.

Gadis itu tersadar, ia melanjutkan langkah. "Tidak apa-apa."

"Apa aku lagi-lagi mengganggumu?"

Ia meringis, merasa bersalah dengan pertanyaan yang terdengar lembut itu. Andai Pangeran Hadid tahu, seberapa kuat Nihala berusaha agar bersikap biasa saja. Tapi usahanya sia-sia. Terlebih dengan fakta yang ada, terlalu tiba-tiba hingga ia sulit menerima.

Kalimatnya sudah seperti majas, kan?

"Tidak," balasnya begitu keduanya sudah masuk ke dalam mobil. Merasa topik sudah di ujung, Pangeran Hadid membungkam bibir.

"Segera jalan!" Ia memberi perintah pada supir seolah mereka tengah menaiki kereta kuda.

Aku pastikan kepala kalian saat membaca cerita ini sudah membayangkan Cinderella. Hampir sama, hanya saja Nihala bukan Cinderella dari Britania Raya, tapi Mojang dari tanah Sunda.

Sambil memandangi jalanan dari jendela mobil, Nihala mengajari diri untuk bersikap tenang. Ia tidak bisa terus-terusan gugup dan gagap, karena pernikahan adalah ibadah terlama.

Lagipula, memang ini yang ia minta dari Tuhan. Jadi, sebagai tanda menghormati, sebagai hamba yang baik, ia menghargai kebaikan Tuhan terhadap makhluk-makhlukNya.

Sedang asyiknya menatap luar, pandangan gadis itu menangkap satu plang, yang paling menarik perhatiannya adalah tulisan di plang tersebut.

"Pangeran,"

Pria itu tidak menjawab, hanya menoleh dan mengikuti sudut pandang Nihala.

"Boleh kita mampir dulu ke sana?" Telunjuk Nihala mengarah pada satu warung yang terlihat agak kumuh.

"Ada apa?"

"Aku rindu makan seblak."

"Arahkan kemudi ke rumah kecil itu!" Pangeran Hadid tidak menyetujui secara lisan, tapi dari perilakunya, berhasil membuat diri Nihala lumer.

***

Wajah Pangeran Hadid terlalu kecut untuk dilihat. Pria itu merasa agak geli dengan santapan yang hadir di depannya. "Ini apa?"

"Seblak," Nihala menggantungkan, ia cicipi kuah pedas pesanannya. Dirasa kurang asin, gadis itu mengambil kaldu bubuk yang tersedia di atas meja. "Ini makanan khas Jawa Barat. Terbuat dari kerupuk basah yang dimasak bersama beberapa bumbu dapur seperti cabai, bawang putih dan kencur."

Sebagai pria yang lahir di keluarga bangsawan, menghadapi tempat yang tidak bersih sudah berhasil membuatnya tak nyaman, terlebih ia juga harus mencoba masakan yang dijelaskan istrinya tadi.

Sebagai suami yang baik, Pangeran Hadid menekan gengsi, ia terlebih dahulu mengendus, apa ada bebauan yang tidak mengenakkan dalam makanan ini.

"Abi tidak pernah mengajakmu makan makanan ini?"

Kepalanya menggeleng. "Ayahmu hanya mengenalkan kami ke rumah makan Padang, soto Makassar dan sate Madura. Selebihnya kue-kue basah."

Gadis itu tersenyum. Perlahan ia mulai terbiasa, bagaimanapun status yang menyemat di nama Hadid Quthni, ia tetap seorang manusia biasa. "Kalau begitu kau wajib mencobanya."

Walau ragu, ia menyemangati diri, satu suapan berhasil menghiasi dalam mulut. Beberapa detik berselang, Pangeran Hadid langsung terbatuk.

Nihala menyerahkan segelas air putih hangat. "Apa terlalu pedas untukmu?"

"Aku tidak biasa makan pedas." Masih dengan terbatuk hebat, Pangeran Hadid mengambil beberapa helai tisu yang tersedia. "Rasanya cukup enak, aku pikir akan menjijikkan memakan sesuatu yang kenyal, ternyata aku salah. Tidak buruk, kecuali bagian yang pedasnya."

Tawanya menggema, mendengar ujaran sang pangeran. "Apa perlu aku pesankan yang tidak pedas?"

"Tidak, tidak, ini masih aman."

Nihala tidak bisa menahan senyum lebarnya. Kejadian hari ini benar-benar indah. Ia masih tidak menyangka, selain karena tanpa sadar mulai terbiasa, gadis itu juga bahagia karena Pangeran Hadid memiliki cara komunikasi yang bagus, Nihala bisa lancar dengannya dalam waktu sekejap.

Apakah seperti ini rasanya gadis biasa menjadi putri kerajaan?

Beruntung sekali warung seblak yang didatangi mereka masih ada di kabupaten Bogor, tidak banyak yang mengenali Pangeran Hadid, jadi aktivitas mereka tidak diusik dengan permintaan untuk berswafoto.

Tapi tetap saja, mereka berdua berhasil menarik atensi orang-orang karena selain obrolan dilakukan dalam bahasa Inggris, wajah tampan Pangeran Hadid juga menjadi penyebab.

Bahkan ada seorang ibu bersama anaknya yang jadi pelanggan di sana sampai mengusap-usap paras putranya sambil komat-kamit, berharap di kemudian hari sang anak akan memiliki rupa menawan seperti Pangeran Hadid.

"Omong-omong aku belum melihat Raja Hasan."

"Beliau kembali ke Brunei kemarin sore, ada rapat kenegaraan di Inggris."

"Kau tidak ikut?"

"Bagaimana bisa aku meninggalkan istriku yang masih berdiam di rumah sakit?"

Nihala yang sudah memerah karena rasa pedas dan hawa yang panas seketika semakin merah mendengar lontaran Pangeran Hadid.

Ia gemas sendiri sampai ingin memukul-mukul manja bahu tegap sang suami. Tapi diurungkan, mengingat gadis itu harus menjaga image.

Alhasil, Nihala hanya bisa menunduk, menghindari mata indah Pangeran Hadid melihat perubahan di wajahnya.

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang