KEDUA alis Pangeran Hadid bertaut, menatapi gelagat istrinya yang gelisah tepat di seberang tempat dirinya duduk.
"Apa makanannya tidak sesuai seleramu?"
"Tidak." Ia tersadar, sejujurnya Nihala biasa makan di rumah tidak memakai kursi dan meja yang terbentang begitu panjang ini. Gadis itu hanya akan menyantap makanannya ketika ia duduk menyilang kaki di teras rumah, sambil memperhatikan tetangganya yang lewat dan menawari mereka.
"Mau aku suapi?"
"Tidak perlu!" Suaranya menyentak tanpa sengaja, tersadar Nihala segera menunduk sambil menggumamkan maaf. Dengan terpaksa ia memakan santapannya sesuai ajaran kerajaan, garpu, sendok, pisau beradu bersama piring keperakan, dentingan memenuhi ruangan besar itu.
Nihala memejamkan mata sesekali, menyadari tatapan penjaga yang berdiri tidak jauh dari mereka seolah tengah menyindir kebodohannya.
Mereka makan dalam keheningan, tidak cuma pendidikan bangsawan yang berkata kalau makan tidak boleh banyak bicara, tapi Nihala pun sudah mafhum tentang hal tersebut. Jadi ia sibuk dengan pikirannya sendiri.
Seketika benaknya terbayang kalimat Pangeran Hadid beberapa menit lalu. Tadinya gadis itu hendak menanyakan soal ibu kandung suaminya alias mertua perempuan. Tapi ia merasa tidak etis, terakhir kali topik mengusut soal ibu mertua, Pangeran Hadid seolah tidak mau membahas lebih jauh.
Lalu mengenai wanita yang mereka temui saat mengelilingi istana, bukankah Nihala sempat mendengar kalau wanita itu adalah istri pertama Raja Hasan?
Harusnya tidak begitu mengusik jiwa Nihala, karena pada dasarnya raja atau bahkan manusia pedoman di agama Islam melakukan poligami. Suatu poin yang wajar.
Hanya saja, ia masih belum bisa membayangkan sejauh itu, baginya sudah cukup keluarga kecilnya ini. Pangeran Hadid, Nihala dan beberapa keturunan mereka nantinya.
Ya, gadis itu tidak perlu khawatir, Pangeran Hadid tidak akan melakukan poligami tanpa persetujuan darinya. Kalau memang keberatan, Nihala tinggal menolak, itu tidak susah, bukan?
Memang Tuhan menjanjikan Surga bagi siapa saja wanita yang rela dimadu, tapi hati tidak bisa memungkiri, jangan menjadi manusia yang munafik, jelas dirinya tidak mau penyakit kalbu sampai menyerang.
Berkata ikhlas suaminya menikahi wanita lain tapi jiwanya terus merongrong kedustaan, kezaliman dan lebih parah lagi tanpa sadar bisa mendendam. Api cemburu itu bahaya dan kehadiran setan semakin memperburuk suasana.
Terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, Nihala tidak sadar kalau keduanya sudah menyelesaikan kegiatan melahap.
"Nihala, aku harap kamu nyaman di sini."
Kepalanya mendongak, memastikan suara itu berasal dari suaminya.
"Kenapa? Kamu merasa aneh, ya, aku ajak bicara dengan bahasamu?"
Gelengannya mengikut senyum. "Kita sudah tidak pergi ke mana-mana lagi?"
"Masih banyak sebetulnya. Kau lelah?"
"Tidak, tapi tadi Yang Mulia bilang kau harus menemui beliau segera, itu--soal walimah."
Pangeran Hadid menghela napas. Ia berjalan mendahului langkah kecil istrinya, terus begitu, hingga Nihala mulai lelah menyamakan tapak kaki. Kemudian, pria itu berhenti di taman istana, menduduki diri di kursi yang berjejer sepanjang taman asri nan hijau.
"Pangeran, aku minta maaf." Ia merasa tidak enak, animo suaminya mendadak turun.
"Tidak perlu." Senyumannya dipaksakan. "Bagaimanapun kau istriku, Nihala."
Tepukannya mengarah di posisi samping, memberi kode untuk gadis itu duduk di sebelahnya. Lalu, jemari besar itu mengamit milik istrinya, menautkan hingga tidak ada celah terlepas.
"Aku sudah bicara soal walimah kita pada Ayah, kau jangan salah sangka, aku benar-benar memimpikan itu bisa terwujud saat kau masih koma. Sekarang waktunya tepat di depan mata, tapi ada satu hal yang mengganjal." Entah memang perintah otak atau apa, Pangeran Hadid selalu merasa jika memegang tangan Nihala akan menguatkannya terhadap bentala ini. "Ibuku belum datang juga dan Ayah bersikeras mengadakan walimah tanpa Ibu, padahal Ibu janji akan datang."
Nihala bingung harus merespon apa. Pada akhirnya ia hanya bisa mendengarkan dan membiarkan tangannya tetap menyatu dengan milik sang suami. Rasanya nyaman sekali, ia bahkan harus berkali-kali menyadari diri untuk tetap fokus mendengarkan ujaran Pangeran Hadid.
"Jangan merasa tersinggung, ya, Nihala."
"Tidak apa-apa." Senyumannya terlihat tulus sekali. "Aku tahu perasaanmu, Pangeran."
Mereka saling diam, memandang lurus ke depan.
"Apa menurutmu aku bicara saja dengan Raja Hasan soal kegundahanmu?"
"Tidak perlu." Pangeran Hadid melebarkan tepian bibir, kali ini lebih lega. Mengetahui Nihala mau berusaha, tidak hanya menumpukan semuanya pada pria itu. Dengan berbagi sedikit saja, sudah berhasil meluaskan hati Pangeran Hadid, bagaimana jika mereka menyatukan dua yang bertolak belakang, mungkin komitmen mereka akan semakin terasa indah.
"Mau istirahat?"
Nihala mencebik. "Dari Indonesia sampai Brunei kau selalu menyuruhku istirahat, kau tidak memikirkan dirimu sesekali, Pangeran?"
Kekehannya terdengar, cara gadisnya menegur sangat unik, kelopak-kelopak cinta semakin mekar dalam dada.
"Kalau begitu kita berdua saja istirahat."
"Nah, begitu." Nihala tidak mampu menahan tawanya lagi. Mereka bersenda gurau, selayaknya pasangan biasa.
Status yang kini tersemat dalam diri keduanya seolah samar, membayang bak tidak pernah ada. Hakikatnya mereka memang cuma dua manusia biasa, tapi pertemuan jiwa mereka luar biasa.
"Pangeran Hadid!" Seruan yang terdengar lembut itu berasal dari barat posisi mereka.
Nihala yang sempat menoleh duluan seketika terbelalak. Menyadari siapa sosok itu, ia ... melupakan kehadiran orang yang kini memenuhi pandangannya.
"Oh, Safna!"
Balasan dari Pangeran Hadid yang terdengar begitu akrab malah semakin merunyamkan keadaan hatinya.
Ya, siapa pun yang mengenal Pangeran Hadid Quthni pasti juga mengenal Safna Musa Tarkin. Desas-desus di internet meluap bagai ombak, berita mengenai keduanya memang simpang-siur tapi keakuratannya patut diacungi jempol.
Latar belakang Safna sebagai cucu dari penasihat Raja Hasan mendukungnya untuk dijodohkan dengan Pangeran Hadid.
Lalu, apa yang mengganggu?
Bukankah baik Raja Hasan atau Pangeran Hadid sudah menerimanya sebagai bagian dari keluarga sultan Brunei ini?
Entahlah, Nihala tiba-tiba merasa kecil, tak berdaya, tak mempunya, tak bernyawa. Keributan dalam dirinya beberapa waktu lalu soal poligami langsung mencuat, mengejek dirinya yang menyendu, menyadari adanya dinding samar yang membatasinya.
Pangeran Hadid akan tetap menjadi Pangeran Hadid, yang banyak dikelilingi orang-orang hebat. Bagai Safna. Berprestasi, kreatif, pintar masak, fisik bagus, lahir di keluarga yang setara dengan Pangeran Hadid.
Semua kesempurnaan itu ... tidak memihak pada diri Nihala.
*****
- bersambung, gulir terus! -
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayan
Literatura FemininaPunya idola pasti pernah dirasakan setiap orang. Tapi dari sekian banyak orang ada beberapa yang mengidolakan sampai ke poin fanatik. Sebut saja salah satunya adalah Nihala. Gadis itu begitu kagum dengan sosok pangeran di negeri seberang. Serin...