Kepingan Dua Enam

475 48 0
                                    

MENGEKORI sang pangeran, Nihala diam, mendengarkan secara saksama penjelasan dari orang yang dikaguminya bertahun-tahun. Aneh, cerita masa lalu yang melekat di istana ini berhasil membantunya untuk menenangkan gemuruh jantung yang berisik. Ia terfokus dan seolah terhipnotis.

Pangeran Hadid hanya mengiringnya ke beberapa titik, tidak seluruh bagian. Bisa-bisa kaki Nihala patah dibuatnya. Tidak mungkin bangunan luas ini dijelajah dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.

Sampai di penghujung, Pangeran Hadid yang sedari tadi berjalan di depannya mulai memutar tubuh, menghadap sepenuhnya pada gadis itu.

"Ada yang ingin ditanyakan, Nona?"

Nihala menggeleng, tapi satu hal menggelitiknya. "Pangeran, mohon maaf sebelumnya, Anda tidak perlu memanggil saya nona, cukup nama saya."

"Oh," Pangeran Hadid menerjap. "Oke, Nihala Rafaza, saya harus panggil dirimu dengan apa?"

"Nihala, sudah cukup, Pangeran."

"Baik, Nihala, ada yang ingin ditanyakan?"

Gadis itu tidak menjawab, hatinya lebih damai sekarang, dengan fakta itu pula ia mampu menatap wajah Pangeran Hadid lamat-lamat, merekam jejak parasnya yang selalu terngiang di kepala, padahal selama itu Nihala cuma melihat sosok ini lewat media sosial.

Sekarang kenyataan itu berpihak tepat di momen ini. Ia--Nihala--tidak tahu berapa lama akan menetap di Brunei. Mengetahui ia memenangkan lomba yang diselenggarakan orang nomor satu di negeri minyak ini, membuat Nihala tidak sabar bertemu Abu dan Ananta.

Akhirnya.

Akhirnya ia bisa membanggakan kedua orang tuanya.

Sadar pria di hadapannya menunggu jawaban, Nihala menarik napas. Sambil tersenyum lebar, ia agak membungkukkan tubuh.

"Tidak ada yang perlu saya tanyakan lagi, Pangeran. Terima kasih atas waktunya, Pangeran berkenan menemani saya."

"Suatu penghargaan." Pangeran Hadid balas membungkuk. "Setelah ini kau bisa bertemu dengan Raja Hasan, ada sesuatu yang akan diberikan oleh beliau padamu."

Ia mengangguk, kembali mengikuti langkah Pangeran Hadid menuju salah satu ruangan terbesar di istana ini. Dugaan Nihala, pasti di sini Raja Hasan menghabiskan waktunya untuk memikirkan banyak hal.

"Silahkan." Pangeran Hadid memberi celah setelah ia membukakan pintu bagi gadis yang mengikutinya. "Saya tinggal, Nihala."

"Terima kasih, Pangeran." Ia mengangguk sekali, sambil menarik napas, Nihala mulai melangkah masuk.

***

"Kak, Nihala di mana?" Listy berjinjit supaya pandangannya bisa melihat ke dalam pelataran istana.

Karena tidak memiliki kepentingan, maka Jura dan Listy tidak diperbolehkan masuk. Mereka akhirnya memutuskan menunggu di depan gerbang istana dengan panas matahari yang terik.

"Nggak tahu, aku sudah coba telepon tapi nggak diangkat."

"Lagi ngapain, ya?" Gadis itu lelah menyilik, ia berkacak pinggang dengan wajah penasaran.

"Mungkin sedang bahas hadiah karena Nihala menang."

Mendengarnya, Listy hanya bisa mengangguk, tak putus asa, ia kembali berjinjit, matanya bergerak sana-sini berharap menemukan sosok sahabatnya.

Ia tidak sabar, ingin segera bertemu Nihala, memeluknya seerat mungkin atas keberhasilan yang menggapainya.

Saat kondisi seperti ini, Listy jadi membayangkan, apa yang diajukan Raja Hasan untuk Nihala.

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang