Kepingan Tiga Tujuh

441 45 2
                                    

BALQIS menunduk sambil mempertahankan senyum, ia melepas telepon dari tempelan telinganya. Wanita itu lantas segera bangkit dan mulai bergegas.

Niatnya ini memang bisa terbilang begitu mendadak. Saat ia mengetahui informasi yang mulai tersebar, ia jelas terkejut. Tak perlu pikir panjang, lalu mulai menyusun rencana untuk mengunjungi Indonesia.

"Yang Terhormat, mohon maaf tapi jadwal penerbangan Anda akan dilakukan satu jam lagi."

"Ya, kita ke bandara sekarang." Balqis memasang kacamata hitam, ia menyampirkan untaian kerudung ke bahunya agar tidak mengganggu. Maka, wanita itu benar-benar pergi, meninggalkan Inggris menuju Ibu Pertiwi.

Begitu dirinya sudah masuk ke dalam pesawat, Balqis melepas tarikan bibir secara perlahan, bayangan-bayangan yang berusaha dilupakannya kini merajalela di benak.

Matanya menatap seorang pramugari tengah memberi instruksi selama pesawat lepas landas apa yang seharusnya penumpang lakukan dan beberapa demo lainnya. Melihat itu, hatinya teriris.

Dulu, dulu sekali, ia pernah di posisi tersebut, kemudian entah Tuhan yang begitu baik atau bagaimana sampai seorang raja--orang nomor satu di Brunei--jatuh cinta padanya.

Ah, Balqis mengerang pelan dalam hati. Cinta bisa datang dan pergi secara sederhana. Lontaran yang ia ingat pernah keluar dari bibir sang raja masih diingatnya dengan jelas, dari perkataan positif penuh rasa sampai negatif menyiksa.

Balqis tidak tahu lagi harus menutupi keborokannya dengan apa. Mungkin memang jalan hidupnya macam sekarang. Kalau boleh memilih, ia pun tidak mau berdiri di jalan ini. Rumah tangga yang sudah dibangun selama dua windu lebih harus kandas dengan alasan yang membuatnya cukup kecewa.

Sebagai wanita, jelas Balqis butuh pelampiasan. Ia pikir langkah yang dipilihnya tepat, niat melepas beban justru ia semakin ditimpa benda berbobot. Sampai-sampai sang raja--mantan suaminya--bersikap tak acuh lagi terhadap segala hal yang bersangkutan dengannya.

Sakit hati.

Tapi, kenyerian itu dirinyalah yang membuat. Jadi mau menyesal juga tidak perlu.

Seketika ia teringat dengan anak-anaknya, lebih menjorok ke Pangeran Hadid. Dirinya segera mengambil ponsel, ia sudah memberi kabar pada putranya yang satu itu tapi tidak kunjung dapat jawaban.

Apa bocahnya sibuk?

Balqis teringat berita yang mencuat dengan tagar dan judul besar terpampang begitu kentara nama lengkap anaknya. Ilman Hadid Quthni. Sebagai ibu jelas ia penasaran, kemudian satu fakta begitu mengejutkannya, terlebih mengetahui berita tersebut merupakan skandal yang dibuat-buat media dengan tujuan jelas menjatuhkan nama baik Pangeran Hadid yang memang berasal dari keluarga terpandang.

Namun, Balqis tidak bisa sepenuhnya menjustifikasi media. Putranya dapat bagian buruk memang. Siapa suruh tidak menjaga etika padahal di lingkungan bebas.

Bisa-bisanya sang putra itu bertingkah macam dewasa dengan sikap romansanya. Sedetik mengingat informasi tersebut, Balqis terkekeh geli.

Ia tahu jelas apa tujuannya ke Indonesia.

***

"Kau seperti bocah." Raja Hasan berkomentar.

Putranya langsung berbalik mendengar hal tersebut. Wajahnya memang datar, tapi sebagai sang ayah, Raja Hasan tahu kalau Pangeran Hadid tengah menahan sesuatu dalam hatinya.

"Omong-omong soal beasiswa, Ayah akan membukanya minggu depan, kau mau mengurus Nihala agar lulus tes masuknya, bukan?"

Pangeran Hadid menyendu, ia kembali memasukkan ponsel ke saku celana, ia melupakan pesan dari sang bunda. "Aku akan urus di belakang layar."

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang