PIPINYA menggembung sebal. Bangun dari tidur tidak mendapati Listy ada di kamarnya jelas membuat Nihala gelisah, ia kemudian menghampiri ruangan samping tapi juga nihil seperti tidak ada tanda keberadaan. Seketika melihat ponsel ada pesan dari dua makhluk tak bertanggung jawab itu, mereka bilang sedang mencari udara.
Meski kekesalannya belum bisa sirna, ia mencoba memahami. Lagipula mendekatkan Listy dan Jura merupakan satu dari sekian tujuannya di Brunei ini. Biarlah.
Merasa bosan di kamar, ia memutuskan untuk keluar. Jarak tempuh hotel yang ia diami ke Istana Nurul Iman adalah sembilan menit pakai mobil. Jelasnya, Ferdi tidak menyewakan hotel dekat istana, melainkan lebih efektif ke Masjid Sultan Oemar. Patokan dari rumah ibadah ke istana sekitar sepuluh menit kurang.
Pada akhirnya destinasi yang ia pilih adalah masjid peninggalan kakek Pangeran Hadid. Bermodal jalan kaki, ia mampu menghampiri bangunan megah untuk beribadah itu sekitar tiga belas menit.
Melihat-lihat, Nihala rasa ia bisa menghabiskan malam di sini, berdiam, mengagungkan rumah Tuhan yang megah dan bersih ini.
Baru juga dua hari di Brunei, ia sudah merindukan Indonesia, tepatnya kangen dengan Abu dan Ananta. Gadis itu berniat sebelum pulang akan membawa oleh-oleh, jejaknya bahwa ia pernah mengunjungi negara yang diidamkan bertahun-tahun.
"Hai!"
Suara itu terdengar familier. Kepalanya menoleh lantas terkejut bukan main. Tanpa basa-basi, ia mencium punggung tangan wanita di hadapannya.
"Sedang apa?" tanya wanita itu lembut.
"Ah, saya bosan di hotel, Nyonya." Walau terkejut, ia menarik tepi bibir. "Nyonya sendiri?"
"Ingin mengunjungi masjid ini sebelum pulang." Ia menatapi kenyamanan kentara yang dihadirkan Masjid Sultan Oemar. "Kau tinggal di hotel mana?"
"Hotel Berlian, Nyonya." Nihala mengikuti langkah pelan wanita di sampingnya. Entah perasaannya saja atau bagaimana, sepertinya sosok ini terlihat mirip dengan ibu Pangeran Hadid.
Tapi kemudian ia menggeleng, menampik penilaian singkatnya, mungkin wanita itu terlihat mirip karena bentuk kerudung yang dipakai. Sejauh ia tinggal di Brunei, kebanyakan wanita-wanita di sini memakai bentuk kerudung yang sama.
Lagipula ia juga samar-samar mengingat wajah ibunda sang pangeran. Di media tidak begitu jelas melampirkan foto beliau.
"Kau tinggal di Indonesia, bukan?"
Nihala mengangguk.
"Aku pernah berkunjung ke Indonesia." Balqis mengulas senyum, sekilas terlihat pahit. Ia mengingat momennya ketika mengawal sang mantan suami saat melakukan kunjungan kenegaraan. "Negara yang cantik."
"Brunei tidak kalah cantik, Nyonya." Nihala mengusap tengkuk tidak enak.
"Kau Indonesia sebelah mana?"
"Bogor, Nyonya. Bagian Jawa Barat."
"Ah, aku belum pernah ke sana. Jauh dari ibukota?"
Nihala menggeleng. "Perjalanan Jakarta-Bogor sekitar satu jam lebih atau kurang. Tidak begitu jauh, Nyonya."
Balqis manggut-manggut. "Berapa usiamu?"
"Sembilan belas tahun, Nyonya."
"Kau kuliah?"
Lagi, ia menggeleng. "Kerja sambilan saja, Nyonya."
"Jadi kau bekerja berdasarkan panggilan?"
Kepalanya mengangguk kembali. Sekilas Balqis bisa menilai kesederhanaan yang melingkupi gadis di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayan
Chick-LitPunya idola pasti pernah dirasakan setiap orang. Tapi dari sekian banyak orang ada beberapa yang mengidolakan sampai ke poin fanatik. Sebut saja salah satunya adalah Nihala. Gadis itu begitu kagum dengan sosok pangeran di negeri seberang. Serin...