Kepingan Lima

1K 68 3
                                    

TAWANYA membahana, obrolan singkat yang terjadi begitu mereka memasuki mobil berhasil membangkitkan animonya. Nihala sampai kelelahan sendiri saking hebatnya tergelak.

"Aku serius." Pangeran Hadid cemberut mendapati istrinya menertawakan cerita masa kecil. "Siapa juga yang tidak pernah buang air besar di celana?"

"Ya, aku maklum." Gadis itu menyeka cairan di sudut mata, mencoba menenangkan diri. "Waktu aku duduk di bangku SD juga mengalami hal seperti itu. Lazim, tidak perlu malu. Lagipula sebelum kita menjadi anak-anak, di masa bayi kita pun buang air secara sembarangan, kan?"

"Tapi masalahnya ketika kita sudah jadi anak-anak, pelajaran tata krama dan adab sudah diajarkan, malu kalau sampai kebiasaan bayi terulang padahal kita tahu itu buruk."

Senyumnya mengembang sebagai respon.

"Nihala,"

"Ya?"

"Aku tidak bisa lama di Indonesia."

Mengerti, gadis itu berdeham sejenak, pikirannya mulai bercabang lagi. Di satu sisi ketidakpercayaannya belum surut, di sisi lain fakta memaksa menerima keadaan.

"Tidak masalah." Gadis itu masih menetapkan senyum andalan. "Hubungan jarak jauh tidak buruk, Pangeran."

"Bukan...." Pangeran Hadid kini menatapnya dengan dalam. "Aku tahu ini terlalu tiba-tiba, kau baru saja sembuh, tapi pangeran tidak akan berjaya tanpa putri di sampingnya."

"Apa kau baru saja merendahkan dirimu untuk merayuku?"

"Nihala, ikutlah bersamaku ke Brunei, Ayah akan mengadakan acara penyatuan kita berdua. Sejak menikah, tidak ada media manapun yang mengetahui karena kondisimu. Sekarang, aku rasa waktu yang tepat. Terlebih Ibuku berjanji akan datang di acara itu."

Nihala bungkam, memutar kalimat Pangeran Hadid. Pria itu bilang ibunya akan datang?

Memangnya ada apa dengan sang ibu alih-alih ratu Brunei Darussalam?

"Kapan kau kembali?"

"Aku menunggu kapanpun dirimu siap."

Helaan napasnya terdengar pelan. "Aku akan ikut, tapi--"

Pangeran Hadid menunggu ujaran sang istri selanjutnya, kedua mata itu tak pernah lepas menatap secara lekat, bersamaan bunyi jantung yang membisingi relung hati.

"Bisakah kau meluangkan waktu untuk aku ajak mencoba makanan-makanan pinggiran seperti seblak tadi?" Nihala ragu sebenarnya, mengingat respon Pangeran Hadid yang terkesan tidak nyaman setelah diajak ke warung seblak, tapi ini impiannya. Banyak jajanan pinggiran yang enak, walau belum tentu sehat. Jadi tidak ada salahnya ia ingin mengajari lidah bangsawan di hadapannya ini untuk merakyat.

Sekali-kali.

"Tentu, apapun untukmu."

Lagi-lagi Pangeran Hadid berhasil membuatnya jatuh cinta ke sekian kali.

***

Hari ini hari Ahad, terlepas sepekan sejak Nihala sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan sudah sepekan pula dari kejadian pangeran kesayangan kita memakan seblak.

Gadis berkerudung ungu itu mematung di depan cermin, memandangi pantulan bayangannya.

"Kau masih lama?" Pangeran Hadid tidak melepas pandangan dari istrinya yang sedang bergaya.

"Pangeran, apa baju ini cocok?"

Pria itu mengangguk dengan senyum. Istrinya memang cantik terlebih baju kemeja polos berwarna hitam dipadu dengan celana bahan bermotif bunga dominan ungu. "Pakaian apapun selalu cocok kau pakai."

"Benar?"

Lagi, ia mengangguk sebagai jawaban. "Memangnya kita mau ke mana?"

"Kau akan tahu." Nihala mendekati suaminya, ia mencoba mengamit lengan yang kokoh itu. "Hari ini tidak perlu pakai mobil dan penjaga, bisa?"

Pangeran Hadid terdiam sejenak, lantas mengangguk. "Kita akan jalan kaki?"

"Tidak." Nihala tertawa. "Biarkan aku melayanimu, Pangeran."

Pria itu ikut terkekeh, Nihala menunduk, bertingkah menjadi seorang hamba sahaya yang mengabdi pada pemerintah.

"Kau lucu," ujarannya menggantung. "tapi jangan rendahkan dirimu seperti itu lagi, ya. Kau istriku, bukan pelayanku."

Kalian akan bosan membaca keterangan bahwa Nihala lagi-lagi tersenyum. Saya sebagai penulisnya pun merasa jenuh. Terus saja Nihala tersenyum sampai rahangnya copot.

Oke, lupakan.

"Arek ka mana?" Ananta menjeda langkah kaki putri dan menantunya.

"Sempur." Nihala menjawab, "Teteh pakai Asep, ya."

"Eh!" Ananta sudah panik. "Baru sembuh mau bawa motor?!"

"Umi, sakedap." Mohonnya sangat, ia sampai menangkupkan kedua tangan, memasang wajah seimut mungkin agar hati sang ibu terketuk.

"Abi, tilik geh!" Ibunya menyerah.

Sang suami yang dituju hanya mengulum senyum. "Hati-hati, kalau di tengah jalan nggak kuat, serahkan sama Pangeran Hadid, ya."

"Kau akan bawa motor bernama Asep itu?" Suara Pangeran Hadid menjamah telinga Nihala, ia baru akan bertanya apa seorang pangeran bisa membawa motor rakyat jelata?

"Ya, kau bisa mengendarai motor?"

"Ayahmu pernah mengajariku." Tepian bibir Pangeran Hadid terangkat, lantas menenangkan kegelisahan Nihala.

"Umi, tong khawatir. Pangeran Hadid bisa gantiin Teteh bawa motor."

Ananta hanya bisa menghela napas lelah. "Hati-hati di jalan."

Nihala sudah berteriak kegirangan setelahnya, ia menarik lengan sang suami untuk mengikuti langkah gembira.

"Yang Mulia, silahkan!" Supir kerajaan sudah bersiap di posisinya.

"Hari ini biarkan aku sendiri, tapi tetap aktifkan ponsel kalian, kalau ada sesuatu yang terjadi, aku akan segera menghubungi."

"Siap!"

Nihala langsung menuju Asep yang terparkir manis di halaman rumah. Memberinya kecupan sekali, lalu ia sudah menyalakan mesin.

Sempat terbayang ketakutan, terakhir kali membawa Asep ia terpental dan kepala mendarat duluan, berhasil menariknya pada kegelapan tak berkesudahan. Namun ia mencoba menenangkan diri. Kini ia tidak sendiri, ada Pangeran Hadid yang siap melindunginya.

Kapanpun.

Di mana pun.

"Ayo, naik!" Nihala menatap suaminya yang memasang helm. "Mau pakai kecepatan seperti apa?"

Pangeran Hadid mencemooh, bagaimana bisa gadis belia seperti Nihala bisa mengontrol pacuan motor seolah ia mengerti luar dalam kendaraan beroda dua itu.

"Kau meremehkanku?"

"Tidak, hanya merasa geli saja."

"Oke." Kemudian Nihala menarik gas mendadak, kecepatan langsung berada pada titik tinggi, membuat Pangeran Hadid hampir terjungkal ke belakang jika saja tidak segera memeluk sang istri.

Supir dan pelayan yang sejak tadi berdiam memperhatikan sampai mengelus jantung mereka, menenangkan dag-dig-dug yang berasal dari balik tulang kerangka, takut-takut Pangeran Hadid benar-benar jatuh dan mereka tidak bisa membayangkan hukuman apa yang menanti dari Yang Terhormat Raja Hasan Husein.

Harta berharga Brunei Darussalam celaka karena ulah gadis remaja dari Indonesia?

Tidak perlu bertanya apa yang akan terjadi selanjutnya, karena jelas Perang Dunia 3 yang diisukan beberapa hari terakhir pasti benar-benar terjadi.

Baik, terlalu hiperbola.

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang