Kepingan Empat Enam

469 39 5
                                    

KAKI jenjang nan kokoh itu berjalan santai, menikmati sapuan angin yang tidak hanya menentramkan wajah tapi juga hatinya. Kedua tangan diselipkan ke dalam saku, mencari kehangatan sebelum benar-benar merasakannya secara langsung.

Ah, dentuman jantungnya terdengar berisik, baru beberapa hari tidak berjumpa dengan Nihala, membuatnya kalang kabut tak tentu arah.

Sekarang dirinya tengah menghabiskan waktu dengan menjelma bersama alam, meresap energi baik dari Yang Maha Kuasa sembari bersyukur atas jalan takdirnya.

Sejak dulu, tak perlu dipungkiri lagi, dirinya menetapkan dalam diri agar meminang gadis yang biasa-biasa saja, tak menyangka Tuhan benar-benar merealisasikan hal tersebut.

Ya, sebetulnya alasan jelas darinya hendak menikah dengan rakyat biasa karena ia terinspirasi dari kisah sang ayah dan ibu.

Omong-omong tentang orang tuanya, Pangeran Hadid berharap waktu yang dipersilahkannya bagi mereka berdua mampu melunturkan kekusutan dalam benang hubungan keduanya.

"Nah, itu!"

Ia memandang Abian juga Safna berjalan mendekatinya.

"Sejak kapan datang?"

"Katamu kita harus menagih janji untuk kau membalas." Safna berujar sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Dari kepulanganmu, aku dan Abian belum sempat ke sini, biasa sahabatmu ini sedang menjadi budak cinta."

"Ya, setidaknya sekarang aku berani menunjukkan wajah." Abian mengikuti gelagat sang adik.

Bukannya menjawab, Pangeran Hadid malah terkekeh.

"Dia malah tertawa."

"Kupikir cinta membuatnya gila. Apa aku juga seperti itu?"

"Kau malah baiknya meninggalkan bumi."

"Ah, kejamnya."

Sembari geleng-geleng, suara Pangeran Hadid terdengar santai. "Aku akan balas dengan mentraktir kalian makan di restoran."

"Ah, sudah biasa!" Safna menolak tegas. "Kami mau yang lebih dari itu!"

"Apa?"

"Cerita bagaimana bisa putra mahkota kita sebentar lagi menggelar upacara suci."

"Masih ada sepekan lebih." Pangeran Hadid mengoreksi.

"Sepekan itu cepat! Kau harus segera mendongeng!"

"Ini kesannya bukan aku yang menghukum kalian, ya!" Pangeran Hadid mencebikkan bibir.

"Cerita!" Safna menoleh pada kakaknya yang sedari tadi diam. "Bukan begitu, Abian?"

"Ya!" Ia mengikuti sang adik. "Tapi baiknya sembari makan juga ditraktir."

"Jiwa-jiwa miskin." Pangeran Hadid becanda. Ia kemudian menggiring keduanya ke tujuan mereka, membungkam perut dan mulut Safna.

Dalam hati, pria berusia hampir kepala tiga itu meyakini kedua orang tuanya sudah saling dewasa untuk menyelesaikan permasalahan tanpa campur tangannya sebagai anak.

***

"Kau sudah pikirkan soal kewarganegaraan?" Sambil mengunyah pasta dalam mulutnya Safna memandang Pangeran Hadid penuh tanya.

"Belum sampai sana." Ia menghela napas berat, ini belum dibincangkan dengan Nihala karena ia terlalu fokus dengan 'kebahagiaan' soal menikah.

"Ah, kau ini bagaimana." Safna tidak habis pikir. "Waktunya tinggal sepekan lagi, semua sudah diurus?"

Kepalanya mengangguk.

"Wow, aku terkejut, cukup cepat juga." Abian memasukkan potokan bistik ke dalam mulut.

"Aku dan Nihala sepakat merayakan pernikahan kami secara tertutup dan sederhana, tak perlu meragukan kalau begitu."

Mendengarnya, Abian mengangguk sambil berdeham mengerti. Sedangkan Safna masih menatapnya seolah menelanjangi.

"Jadi bagaimana, setelah kalian menikah, mau tidak mau Nihala melepas kewarganegaraannya dan berganti menjadi Brunei, lagipula dia akan menjabat gelar ratu berikutnya."

"Aku akan bicarakan."

"Kapan? Setelah kau menikah?"

Pangeran Hadid tidak menjawab.

"Kalau iya, itu artinya pernikahan kalian hanya sah di mata agama, dalam artian menikah siri."

"Aku akan bicarakan, sekarang." Ia kemudian membuka ponselnya, menghubungi nomor yang sudah tersimpan sejak lama tapi tidak pernah disentuhnya sama sekali.

***

"Nihala!" Pelukan Listy mengencang, sejak berita yang disampaikan melalui Jura bahwa sahabatnya dilamar oleh Pangeran Hadid, gadis itu belum sempat berkunjung karena sibuk bersama tugas kuliah. "Kamu kenapa nggak cerita sama aku, sih, aku tahu dari Kak Jura."

Nihala diam, ia tersenyum lebar, tidak bisa menyembunyikan debaran kentara di balik tulang kerangka.

"Aku malu."

"Masa calon pengantin malu."

"Ya, gimana!" Ia menutupi sambil mengipas wajah yang terasa panas. "Masih nggak nyangka."

"Terasa mimpi." Jura menambahkan. "Kamu mengerti, kan, bagaimana Tuhan merencanakan semuanya secara apik, jadi?"

"Aku harus bersyukur meski masa terkelam sekalipun." Ia sudah banyak belajar dari pria pertengahan kepala dua itu. "Terima kasih banyak, Kak Jura, Nihala nggak tahu lagi bagaimana membalas semuanya."

"Ingat apa yang pernah aku katakan?" Jura menaikkan salah satu alis.

Sambil mengangguk paham, ia mengutip kembali. "Balas kebaikanku pada orang lain, jaga supaya kebaikan tetap terjalin."

"Nah, pintar!" Ia menepuk sekali puncak kepala gadis itu yang ditutup kerudung.

Nihala malah menangkis pelan. "Ada yang cemburu."

Seketika keduanya tertawa melihat ekspresi Listy yang dibuat-buat. Jelas saja, ia tidak merasakan yang dijustifikasi Nihala, karena ia paham hubungan antara sang sahabat dan prianya terlihat jelas seperti adik dan kakak.

Tunggu, prianya?

"Nihala, omong-omong aku ingin bertanya sesuatu." Jura berdeham, menetralkan atmosfer perbincangan ketiganya. Mereka tengah duduk melingkar di sebuah restoran cepat saji, menunggu pesanan mereka akan datang.

"Apa itu?"

"Kamu sudah bicarakan soal kewarganegaraanmu kalau nanti setelah menikah?"

Nihala tidak paham, sambil menaikkan salah satu alis, ia menggeleng. "Maksudnya, Kak?"

"Kamu nggak tahu?" Jura mengerutkan kening. "Hukum Indonesia menetapkan, siapa saja wanita yang menikah dengan pria asing, maka kewarganegaraannya akan hilang. Kamu nggak masalah itu?"

"Serius itu?" Nihala menggeleng pelan, tidak percaya.

Jura mengangguk. "Terlebih kamu menikah dengan pria bangsawan, orang yang memiliki pengaruh kuat atas tatanan pemerintahan di Brunei, mau tidak mau, kamu harus mau merelakan Indonesia."

Gadis itu bungkam, merapatkan bibirnya tapi berisik di dalam kepala. Ini dampak yang diterima kalau semuanya hanya dipikirkan sendiri, asal bahagia bisa bersama, semuanya seolah terlupa.

"Apa kamu sudah memikirkannya?" Jura menambah.

Dengan lemah, dirinya menggeleng, masih berkutat bersama suara-suara kalbu dalam benak, kemudian dirinya menarik napas panjang dan menghembuskan bersamaan suaranya yang mencoba meyakini tidak hanya Jura dan Listy tapi juga diri sendiri.

"Tujuan aku menikah adalah mengabdi sama suami aku, jadi apapun itu, tugas aku sebagai seorang istri mengikuti kata suami selagi bukan perintah menyekutukan Tuhan."

Tepat menyelesaikan kalimatnya, ponsel Nihala berbunyi nyaring. Nomor tak dikenal terpampang di layarnya. Sambil mengerutkan kening, ia mencoba mengangkat sambil beruluk salam.

"Merindukanku?"

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang