Kepingan Tiga Belas

552 48 0
                                    

SEORANG pria paruh baya berjalan lambat tertatih memakai tongkat. Para penjaga yang berdiri di sisinya merasa enggan untuk membantu, sekadar memapah tubuh yang meringkih sebab dimakan usia. Mereka berperilaku hormat, merasa segan dengan bos mereka yang menua.

"Nihala Rafaza, kamar nomor kosong sepuluh." Salah seorang penjaga menyebutkan ruangan yang menaungi seorang gadis, korban atas peristiwa dua bulan lalu.

Begitu sampai, Abu dan Ananta menghampirinya, memberi salaman hangat yang kemudian disambut ramah.

"Keadaannya sudah membaik?" Pria itu tidak mengindahkan jawaban, kendati ia mendekati Nihala yang tertidur.

Sejak kesadaran yang benar-benar pulih dalam dirinya, gadis itu memang dianjurkan dokter untuk sering beristirahat, selain untuk memulihkan selaput otak yang terluka, tapi juga menghindari kepalanya berpikir terlalu keras. Dalam fase penyembuhan, Nihala perlu mengurangi penalaran.

"Semakin hari semakin baik, Pak. Terima kasih atas bantuan yang tak pernah putus." Abu tersenyum. "Setelah keluar dari rumah sakit, kami akan membawa Nihala ke psikolog."

Mendengar hal tersebut, kepalanya langsung menoleh. "Apa ada sesuatu yang terjadi lagi?"

"Ah, tidak." Abu enggan menceritakan perihal putrinya lebih jauh. Baginya, bantuan dari pria di hadapannya ini sudah lebih dari cukup. "Hanya saja, halusinasi yang diidapnya belum sirna. Kami cuma tidak mau membebani Nihala lagi dengan pikiran-pikiran yang membayang, bukankah dia harus sembuh dengan mengurangi otaknya bekerja terlalu berat?"

Pria itu kembali menatap Nihala yang terbaring. Selama dua bulan terakhir, ia sering menjenguk gadis di depannya ini, malang memang. Jika saja ia bisa mengantisipasi, Nihala tidak mungkin mengalami semua kepahitan ini.

Jadi, atas dasar kemanusiaan, pria tua itu rela mengerahkan seluruh pendapatan perusahaannya demi kehidupan yang sedang dipandangnya sekarang.

"Anakku seorang psikolog, kebetulan. Biarkan Nihala diurus olehnya."

"Tapi, Pak, kami--"

"Tidak perlu merasa sungkan, Nihala akan sembuh baik fisik maupun mental."

Abu dan Ananta saling pandang. Di satu sisi mereka tidak enak karena semakin merepotkan, tapi di sisi lain Nihala perlu membaik. Pada akhirnya sang ayah hanya mampu menghela napas.

"Terima kasih banyak, Pak Ferdi."

***

Listy datang lagi hari ini, ia begitu senang mendapati sahabatnya semakin hari semakin menunjukkan hal positif. Kedatangannya hendak membantu karena Nihala sudah diperbolehkan pulang.

"Aku pengin makan nasi goreng." Wajahnya merengut sebal sebab perutnya tiada hari dijejalkan makanan rumah sakit yang jelas dimasak tak sedap. Kurang asin, tepatnya.

"Baru juga sembuh." Listy mencubit pipi sahabatnya yang menggembung. "Nanti, dong, nunggu agak baikan."

"Kita langsung pulang?" Nihala menatapi kedua orang tuanya yang berjalan mendahului. "Teteh kangen Asep."

"Kita mampir ke suatu tempat dulu, pengobatan lagi." Ananta menoleh sebentar.

"Ih, nggak mau, ah! Nanti makan tempe mendoan tawar lagi."

"Nggak, ini pengobatan berjalan." Abu memelankan langkah agar selaras dengan putrinya.

Nihala cemberut. "Tapi pulangnya aku mau beli susu jahe merah, ya. Itu boleh, kan? Jahe sehat."

"Iya." Ketiganya mengiyakan agar cepat selesai. Mereka memasuki mobil yang disiapkan Pak Ferdi untuk menuju ke tempat praktik anaknya.

Di jalan Nihala mulai cerewet seperti biasa, ia bicara banyak hal, tak memungkiri Pangeran Hadid disebut olehnya. Seperti dulu, ketika dirinya mengagumi pangeran dari negeri seberang tersebut.

Sampai tiba di lokasi yang dituju, gadis itu segera digiring ke sebuah ruangan. Dirinya kebingungan sendiri, sebab ruangan yang dicat putih tulang tersebut lumayan luas, tepat di seberang pintu sebuah jendela terpatri lebar. Sepasang sofa ada di tengah ruangan itu, salah satunya menghadap pada jendela yang menampilkan halaman depan, begitu asri menenangkan.

"Aku sendiri banget di sini?" Duduknya mulai tak nyaman.

"Nanti Jura masuk sebentar lagi." Ananta mengelus kepala putrinya. "Kita tinggal, ya."

Belum juga menanyai siapa sosok bernama Jura itu, kedua orang tuanya beserta Listy sudah pergi dari ruangan. Menyamankan diri, Nihala menyandar di sofa yang didudukinya.

"Tenang, ya." Suara lembut dan dalam tersebut terdengar asing, Nihala memandangi pria berparas tampan berjalan mendekatinya sambil tersenyum. "Nihala Rafaza."

"Kita mau pengobatan apa, ya, Kak?"

Mendengar Nihala yang tidak mau berbasa-basi, pria itu--Jura--tak melunturkan senyum. "Bukan pengobatan, kok. Cuma sharing aja, apa yang ada dalam diri kita."

"Tapi, Kakak orang asing."

Jura tertawa. "Kalau begitu mari kita kenalan dulu. Nama aku Sajura Faizal. Semoga kamu nyaman, ya, temanan samaku."

Diam, Nihala hening tak bersuara, tapi kemudian pendarannya menyendu, teringat kenangannya bersama Pangeran Hadid.

"Mau cerita?"

Ragu, tapi Jura terlihat cukup bisa dipercaya untuk menceritakan kegundahannya. Terakhir kali mengusut soal pangeran di negeri seberang tersebut, kedua orang tuanya tidak banyak bicara, pun Listy. Sampai Nihala bungkam sendiri, berpura-pura seperti dulu. Menggemari Pangeran Hadid tanpa menyinggung soal mimpinya.

"Aku bingung."

"Bingung kenapa?" Suara lembut Jura menghipnotis Nihala untuk menemukan abjad utama sebagai awal pembicaraannya.

"Kakak tau Pangeran Hadid?"

"Pangeran dari Brunei?" Jura mengangguk. "Dia ganteng, loh."

"Nah, iya!" Seketika Nihala semangat. "Memang ganteng banget."

"Nggak perlu diragukan, kan." Senyumnya mengulum.

"Waktu aku koma, aku mimpiin jadi istrinya Pangeran Hadid, masa."

Jura berpura-pura terkejut. Sebagai langkah awal penyembuhan mental seseorang, psikolog harus jadi pendengar yang baik dan berusaha memahami dunia pasien.

"Pasti senang banget, ya. Gimana di mimpi kamu? Apa sama-sama ganteng sama di dunia nyata?"

Nihala mengangguk cepat, berkali-kali. "Gantengnya nggak ada dosis."

Keduanya tertawa. Hari itu Nihala lupa akan keinginannya minum susu jahe merah, kehadiran Jura mulai mengubah segalanya.

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang