"KITA mampir ke rumah Listy dulu, boleh?" Nihala melirik lewat spion, suaminya tengah memejamkan mata, menikmati angin yang menerpa paras tampannya.
"Tentu." Suaranya bertubrukan dengan semilir udara yang menemani perjalanan mereka.
Dari Taman Kencana ke rumah Listy tidak begitu jauh. Berbeda dengan posisi kediaman Nihala, Listy tinggal di daerah yang dekat dengan pusat kota. Hal itu memudahkannya setiap mengerjakan tugas kuliah, tinggal jalan sebentar, banyak kafe berfasilitas jaringan nirkabel.
Sampai di sana, Nihala mengikut Pangeran Hadid menyeru di depan rumah.
"Ya ampun, kamu sudah baikan?" Listy menghampiri penuh rindu. Terakhir bertemu dengan sahabatnya sekitar beberapa hari lalu, setelahnya ia tidak sempat menjenguk lagi karena tugas dari kampus yang menumpuk. Meski demikian, Listy sudah membuat jadwal khusus setelah semua urusan perkuliahannya selesai, ia akan segera menghabiskan satu hari penuh bersama Nihala.
"Iya, alhamdulillah. Aku nggak ganggu, kan?"
Listy menggeleng dengan senyum lebar. Beralih, dirinya agak membungkukkan diri. "Selamat siang menjelang sore, Pangeran."
"Selamat atas cuaca yang terik." Pangeran Hadid terkekeh. "Jangan rendahkan dirimu, kau sahabat istriku, tidak baik."
"Tapi--"
"Pangeran Hadid paling nggak suka kalau ada yang menghormat sampai membungkuk begitu." Nihala membisiki telinga sahabatnya. "Sifat rendah hati yang baru aku tahu sekarang."
Listy mengulum bibir. "Silahkan masuk."
"Aku parkir Asep di depan sini aja, soalnya nggak bisa lama, Lis."
"Kenapa?"
"Abi sama Umi nanti khawatir. Ini aja izinnya pakai drama dulu baru dibolehkan."
Tawanya ditahan, takut membuat tersinggung karena Listy hendak tergelak bukan karena kalimat Nihala, lebih pada ekspresi yang terlihat--konyol. Sedangkan Pangeran Hadid hanya bisa bungkam, meski sedikit mengerti karena bahasa yang digunakan antara Brunei dan Indonesia hampir sama tetap saja pria itu tidak mau asal menimbrung.
"Aman, kan, Asep di sini?"
Listy melihat ke kiri dan kanan, memastikan kondisi perumahannya yang sepi seperti biasa. "Nggak apa-apa. Gerbang dan pintu nanti biar dibuka."
Mengangguk, Nihala segera melepas helm, diikuti Pangeran Hadid. Ketiganya lantas menyejukkan tubuh yang tersengat matahari, terlebih pasangan suami istri yang sejak pagi sudah ke luar dari tentramnya pondasi.
"Aku bakal ikut pulang ke Brunei sama Pangeran Hadid, Lis." Nihala membuka topik dengan pasal yang sejak tadi membuatnya gelisah.
"Kapan?"
"Secepatnya." Ia menunduk, meski terasa berat di dada tapi ini jalannya.
Listy tahu, cepat lambat sang sahabat akan diboyong suaminya ke mana pun. Jadi, sambil menghela napas, ia menyunggingkan senyum. "Kamu jaga kesehatan di sana, ya, doain aku segera sukses dan bisa main ke sana pakai uangku sendiri. Jangan lupa kalau teknologi di dunia ini sudah maju, sering-sering berkabar di chat, ya."
Tak kuasa menahan air mata, Nihala tersengut-sengut. Sebuah usapan di bahunya membuat gadis itu semakin menumpahkan kesedihan mendalam.
Ia tidak merasa sedih karena akan ikut bersama Pangeran Hadid. Sungguh. Dirinya hanya melepas emosi yang membendung sebab harus meninggalkan orang-orang terkasih di nusantara.
"It's okay." Listy tidak enak, ia duduk di seberang Nihala segera bangkit, dengan itu Pangeran Hadid beringsut, melepas penenangannya di bahu Nihala, memberi ruang bebas untuk kedua gadis belia itu bertukar mesem.
***
"Biarkan aku yang kendarai motormu." Pangeran Hadid menahan tangan istrinya yang hendak memasukkan kunci.
Kepala berbalut kerudung itu mendongak, masih dengan bekas air mata yang mengering, pandangan kabur dan hidung merah.
"Apa kau tersiksa ikut denganku?" Pangeran Hadid tidak tega, jempolnya mengusap pelan sudut mata Nihala.
Menggeleng, ia merasa tidak enak. Tapi animonya benar-benar sedang buruk sekarang, terlebih perutnya melilit, sesuatu tengah terjadi pada organ reproduksinya yang tidak disadari Nihala sendiri.
"Tidak." Wajahnya sudah meringis hendak menangis, lagi.
"Jangan nangis terus, kamu jelek banget." Listy tertawa meremehkan, ia mengejek tidak niat pada sahabatnya yang langsung mencebikkan bibir.
"Ayo, pulang!" Nihala menyembunyikan wajah. Bagaimana pendapat suaminya, mengetahui sifat buruk gadis itu yang satu ini? Ah, memalukan.
"Hati-hati selama perjalananmu ke Brunei, ya."
Sebelum menaiki motor dengan Pangeran Hadid yang sudah siap di kemudi, dirinya ditarik dahulu oleh Listy, memberikan kehangatan darinya untuk momen terakhir.
"Pangeran," panggil Nihala ketika motor sudah berada di jalan besar. "Aku minta maaf kalau sempat membuatmu tersinggung."
Bukannya menjawab, pria itu cuma tersenyum. "Untuk apa minta maaf, Nihala? Kau tidak salah. Aku maklum, hanya saja merasa tidak enak."
"Tidak, aku benar-benar tidak mempermasalahkan soal keikutsertaanku bersamamu. Seperti yang sudah aku bicarakan di Taman Kencana. Aku akan ikut, ke manapun suami pergi. Begitu anjuran yang diajarkan agama, bukan?"
Senyumnya masih bertahan. Pangeran Hadid menoleh di spion. "Pegang aku erat-erat, aku ingin menirumu."
Nihala tertawa mendengarnya. Di kondisi itu ia mulai berbicara ke hati kecil terdalam.
Semua ini akan baik-baik saja, kan, Pangeran Hadid selalu menempatkan senyuman di wajahmu. Tidak ada yang perlu dirisaukan lagi.
Kedua tangan Nihala yang meremas sisi pinggang Pangeran Hadid seketika diarahkan oleh suaminya untuk memeluk, bersamaan meningkatnya kecepatan laju motor.
Perlahan, kepala gadis itu menyandar di punggung tegap suaminya. Dirinya memejamkan mata, menikmati perjalanan kencang beratur yang menenangkan jiwa, terlebih ia tengah bersama orang yang dicinta.
"Aku ... sungguh mencintaimu, Pangeran."
*****
- bersambung, gulir terus! -
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayan
ChickLitPunya idola pasti pernah dirasakan setiap orang. Tapi dari sekian banyak orang ada beberapa yang mengidolakan sampai ke poin fanatik. Sebut saja salah satunya adalah Nihala. Gadis itu begitu kagum dengan sosok pangeran di negeri seberang. Serin...