PARASNYA terlihat semakin rupawan, merasakan kehangatan yang bertahun-tahun dirindukannya sejak dulu. Rasa ingin menangis haru tapi ditahannya karena momen seperti ini tidak layak dirayakan dengan air mata.
"Jadi, sudah mau menikah saja." Raja Hasan memberi komentar saat mereka bertiga tengah duduk melingkar berbatas meja di sebuah restoran dalam mal.
Pangeran Hadid meresponnya dengan senyum yang masih melekat. "Terima kasih sudah mau menemaniku dari masa ke masa, terima kasih sudah mau menjadi orang tuaku, terima kasih sudah menerimaku yang masih penuh dengan kekurangan ini, terima kasih, segala kata tidak mampu aku ucapkan untuk membalas usaha kalian membesarkanku bertahun-tahun, aku menyayangi kalian, Ayah, Ibu."
Balqis yang lebih dulu. "Anak adalah anugerah terindah dari Tuhan, dia dihadirkan dalam setiap pasangan untuk mempererat tali nasab, begitu Tuhan memberikan anugerah tersebut, tugas kami adalah merawatnya dengan baik sampai pada batas yang ditetapkan, meski sekarang masanya kau lepas dengan orang tua, tapi selalu ingat, Nak, hubungan kita tidak terpisahkan."
"Ya, Bu." Kepalanya menunduk. "Apa begini rasanya akan menjalin komitmen serius atas nama Tuhan?"
Sebelum memulai, sang ayah mengambil minumnya untuk diseruput sebentar. "Bagaimana rasamu?"
"Entahlah, aku dibuncahi banyak kebahagiaan."
"Seperti itu pula Ayah dan Ibu merasakannya." Raja Hasan menautkan kedua tangan di atas meja.
"Ayah, Ibu, aku minta maaf atas kesalahan yang kuperbuat pada kalian, baik disengaja maupun tidak. Aku harap Ayah dan Ibu rida atas pernikahanku ini." Pangeran Hadid menyungging senyum tidak enak.
"Seburuk-buruk baik anak dan orang tua, keduanya tetap diikat oleh Tuhan, Nak." Balqis mengelus bahu putranya penuh kasih.
"Nak," Raja Hasan menatap bergantian sang mantan istri dan putranya. "Ingatlah bahwa pernikahan adalah ibadah terlama, karena terjadi sampai seumur hidup, itulah pentingnya kau menentukan siapa pasangan hidupmu. Bukan hanya rela diajak suka tapi juga sudi berhadapan duka. Manusia itu diciptakan dengan rasa bosan yang tidak pernah hilang, maka penting mencari seseorang yang bisa membuatmu gembira agar setiap harinya tak terasa."
***
"Ya ampun, calon manten!" Ananta tidak percaya menatap putrinya sekarang. Gadis itu tengah membantunya membuat sarapan di dapur.
Sambil menyungging senyum malu, Nihala menunduk, menyembunyikan parasnya yang memerah. "Tong kitu, Umi!"
"Nggak tahan godaan, ya." Abu ikut nimbrung, segera dirinya mendudukkan diri di meja makan, menyesap kopi yang sudah disiapkan Ananta di mejanya.
"Abi, Umi, apa ada sesuatu yang mengganjal soal Teteh?" Nihal mengoreksi. "Ada kesalahan yang pernah Teteh perbuat sama Abi dan Umi nggak?"
Bukannya menjawab, baik Ananta atau Abu, sepakat hanya merespon sesingkat senyum.
"Kenapa malah mesem begitu?" Ia merengek manja. "Teteh minta maaf, dari lubuk hati terdalam kalau ada sikap atau sifat Teteh di masa lalu, masa sekarang yang pernah menoreh luka di hati Abi atau Umi."
"Kamu udah kayak lebaran aja." Ananta berkomentar sambil sibuk mengaduk sayur labu siam yang mengepul di atas kompor.
"Habisnya," Nihala ingin menangis, mengingat masanya bersama Abu dan Ananta tidak banyak, sekarang segala hal yang diperbuatnya di dunia akan dipertanggungjawabkan oleh pihak lain, yang bukan tugas orang tuanya lagi. "Hatur nuhun, Abi, Umi, sudah mau menjadi orang tua dari Nihala Rafaza."
"Sudah besar, ya." Abu tak sadar setetes air mata meleleh di tepi ainnya, tersadar dirinya menyeka. "Aduh, Umi ngiris bawang nggak bilang-bilang."
Tak tega, Nihala menghampirinya, memberi pelukan erat yang ditujukan secara istimewa.
"Abi, Umi, tetap jadi orang tua Teteh, ya, Teteh sayang banget sama Abi dan Umi."
"Ya ampun, Umi embung ceurik, pokok na mah, embung!" Meski berkata tidak mau menangis, tapi Ananta malah terisak, ia bergabung, ikut merangkul, meningkatkan energi kehangatan yang terasa mulai menjamah seisi rumah.
"Tong poho, nyak, sekarang baik buruknya kamu sudah menjadi tanggung jawab suamimu nanti, jadi sebaik-baiknya seorang perempuan adalah yang meringankan beban suaminya di akhirat nanti dengan mengikuti perintah Gusti." Abu melerai pelukan, memberikan kecupan dalam di kening putrinya.
Masa itu, Nihala sangat berharap Tuhan menghentikan waktu barang sebentar, agar dirinya bisa lebih mengaitkan kalbu antaranya dengan Abu dan Ananta.
***
"Qabiltu nikaaha....," Pangeran Hadid mengucapkan kalimat sumpah pernikahan begitu lancar tak tersendat, tanpa gangguan, penuh keyakinan. Setelah menyelesaikan satu kalimat penuh makna, mengikut doa yang tersemai dari setiap orang yang hadir sebagai saksi, Pangeran Hadid menghela napas panjang.
"Mempelai wanita dipersilahkan masuk." Pembawa acara bersuara pelan, menghindari kegaduhan di tengah kedamaian momen ini.
Tak lama, Nihala mulai memunculkan diri, lengkap bersama baju adat Sunda yang sudah disepakati sebelumnya, bahwa pernikahan diadakan di dua negara secara tertutup dan permulaan akad dilaksanakan di kediaman gadis itu.
Pangeran Hadid tidak lepas memandang gadisnya yang berjalan perlahan mendekat bersama senyum malu. Pria itu bersumpah, tidak ada yang menandingi kecantikan tersirat dalam diri Nihala.
"Assalamu'alaikum, Pangeran." Ia menyapa, bersuara lirih yang dibalas dehaman gugup. Tangannya meraih pelan milik Pangeran Hadid untuk dicium penuh khidmat, seseorang yang dulu dikaguminya bertahun-tahun, kini sudah menjadi pasangan hidupnya.
Sesuai dengan apa yang ada di mimpinya.
"Wa'alaikumussalam." Pangeran Hadid mengarahkan telapaknya, mendarat di puncak kepala sang gadis kemudian membacakan doa demi kebaikan keduanya atas pernikahan ini. Setelah itu, ia menangkup pipi Nihala, bibirnya kemudian hadir mengecup hangat kening yang dibalut kerudung itu. "Apa ini saat yang tepat untuk mengatakan bahwa aku mencintaimu?"
Nihala terbelalak mendengarnya, berusaha kilas balik dengan adegan-adegan kebersamaan mereka dan seketika dirinya tersenyum haru. Betapa Pangeran Hadid menjaga, sebelum mereka terikat komitmen seperti ini, tidak pernah sekalipun pria itu mengumbar kata cinta di depannya.
Lantas Nihala tahu, ia harus memperbanyak syukur pada Tuhan karena sudah begitu baik menjadi Zat yang diimaninya selama ini.
*****
- bersambung, gulir terus! -
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayan
ChickLitPunya idola pasti pernah dirasakan setiap orang. Tapi dari sekian banyak orang ada beberapa yang mengidolakan sampai ke poin fanatik. Sebut saja salah satunya adalah Nihala. Gadis itu begitu kagum dengan sosok pangeran di negeri seberang. Serin...