Kepingan Tiga Enam

415 44 0
                                    

"TUAN Muda, sudah lihat berita hari ini?" Salah satu pelayan yang duduk di depannya--di samping kemudi--menatap melalui spion mobil dengan sorot khawatir.

Ia tidak menjawab, tapi menggenggam ponselnya cukup kuat, tangannya terkepal, membuat urat menonjol kentara di balik kulit kecokelatannya.

"Bungkam mereka!"

"Maaf sebelumnya, Tuan Muda, media Brunei sudah tutup mulut, tapi untuk Indonesia kami tidak bisa melakukannya."

Pangeran Hadid berdecak. "Putar balik, kita kembali!"

"Siap, Yang Mulia!"

Kini hatinya memanas, gelisah tak tentu arah. Ia mencoba untuk tak acuh, terpenting sekarang tujuannya adalah sang ayah. Pria itu perlu bicara banyak hal demi meluruskan kontroversi yang terjadi, juga mematangkan langkah yang seharusnya diambil. Seketika ia lupa dengan pesan yang muncul di notifikasi ponselnya tadi, berasal dari sang bunda.

Sesampainya di istana, ia berjalan tegap nan cepat, beberapa pelayan yang kebetulan berpapasan dengannya memberi salam yang tidak ditanggapi. Pangeran Hadid bergemuruh, kepalanya dihadiahi banyak kemungkinan yang akan menimpa Nihala, jauh di sana.

"Oh, kau datang, aku baru saja ingin menghubungimu." Raja Hasan menaikkan salah satu alisnya, melihat wajah Pangeran Hadid menggelap. "Sudah kuperingatkan sejak kemarin."

"Apa yang sebaiknya kita lakukan?"

"Tidak ada. Indonesia biarkan mengurus sendiri urusannya."

"Tapi di sana ada Nihala."

"Kita tidak perlu ikut campur dalam seluk-beluk mereka."

"Tapi ini juga permasalahanku, Ayah."

"Sudah kubilang, Hadid." Raja Hasan menghela napas. "Berita itu cepat menjalar macam virus, kau harus berhati-hati dalam bertindak, jangan gegabah melakukan tindakan romansa di bandara, apa kau lupa statusmu?"

Pangeran Hadid terdiam, bibirnya dibungkam telak oleh pernyataan sang ayah. Ia tak sadar, tangannya masih mengepal, bahkan sekarang lebih kuat. Tergesa, dirinya berbalik sambil meraih ponsel di kantung celana, tanpa pikir panjang, pria itu menghubungi nomor yang sejak pagi membuatnya asan tak asan.

"Nomor yang Anda tuju, sedang berada di panggilan lain."

Melepasnya dari telinga, decakan terdengar. Pangeran Hadid menerka, pasti Nihala sudah mendapatkan perilaku tidak pantas.

Tapi sedang dengan siapa gadis itu bicara?

Di baliknya, Raja Hasan mengulum senyum, mengerti perkembangan putranya yang mendadak pesat. Ia jadi tidak sabar menimang cucu.

***

"Aku nggak mau pulang dulu." Nihala bicara lirih di balik tubuh tegap Jura yang mengendarai motor.

"Oke." Pria itu tidak banyak merespon, tapi mengerti, ia mengarahkan Asep ke Sempur.

"Kenapa ke sini?" Ia merengek manja, wajahnya sudah berantakan dengan banyak jejak air mata. Saat kondisinya sedang kalut seperti ini, Jura malah menambahkan luka di hatinya karena teringat adegan mimpi Nihala pernah ke tempat ini.

"Di sini atmosfernya bagus, kamu bisa memulihkan diri dan hati kamu dengan menyerap energi alam." Jura melepaskan helm yang masih melekat di kepala gadis itu.

Selama perjalanan mereka, Jura memang tidak memakai pengaman kepala, beruntung ia cerdik meski licik, mereka tidak ditilang polisi karena kesalahgunaan benda tersebut. Seharusnya pengendara yang memakai helm, tapi ini malah penumpangnya.

Oke, lupakan.

Pria pertengahan kepala dua itu menarik pelan Nihala untuk duduk di salah satu bangku yang tersedia.

"Pejamkan mata kamu, tarik napas dengan dalam dan lepaskan teratur, bersamaan kamu melepas dorongan negatif."

Mau tidak mau Nihala mengikuti, beberapa detik melakukannya, gadis itu menjadi lebih baik, meski air mata tidak berhenti keluar.

"Aku nggak mau kerja lagi, tapi sewaktu-waktu butuh uang, aku harus gimana?" Ia menghirup udara di tengah pilek yang melanda. Hidungnya memerah, begitupun mata yang basah. Nihala menatap Jura dalam, pria itu ikut memandangnya dengan tatapan bermakna.

"Kamu nggak perlu memaksakan diri kamu sampai segitunya karena mikir masih butuh. Rezeki sudah ada yang atur, Tuhan nggak akan mungkin tega membiarkan kamu mengemis sampai segininya. Dia, Maha Baik."

"Tapi kalau nggak menerima panggilan dari tempat kerjaku itu, aku harus cari uang di mana?"

"Buka matamu lebar-lebar, ada aku di sini, ada Papa."

"Kak--" Nihala menggantung, ia menggelengkan kepala, merasa peka dengan kalimat Jura dan jelas ia keberatan. "Aku sudah banyak merepotkan."

"Hei, kata siapa?" Jura merogoh kantung celana, mendapati sebuah kain, ia julurkan pada gadis di depannya untuk menyeka air mata. "Aku dan Papa nggak merasa keberatan, ini sebagai pembalasan dari kejadian waktu itu."

"Tapi, aku sudah sembuh, aku sudah cukup mendapat banyak hal dari Kakak dan Pak Ferdi."

"Apa menurutmu itu juga cukup untuk mengembalikan nyawa kalau saja kamu nggak selamat waktu itu? Apa itu juga cukup untuk menyembuhkan mental yang terganggu? Harta nggak ada nominal kekal, Nihala, justru seluruh yang ada di diri kamu yang bernilai, nggak bisa digantikan dengan apapun."

Nihala diam, ia menggigit bibir, masih sesenggukan akibat menangis. Sambil meremas kain pemberian Jura, pikirannya mulai berkelana.

Di tengah obrolan mereka, harus diinterupsi karena deringan ponsel dari tas gadis itu. Ia buru-buru mengambil, lantas mengerutkan kening karena mendapati nomor asing menghubunginya. Memutuskan untuk tidak mau menerka, ia mencoba menjawab dengan beruluk salam.

"Halo, ini Nihala? Kau masih ingat aku?"

Seketika ia membelalakkan mata. "Halo, iya, tentu saja saya ingat, Nyonya."

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang