PELAN-PELAN ia berjalan, di depannya sudah ada Jura dan Listy mendahului, seolah sengaja membiarkannya satu jalur dengan Pangeran Hadid yang bungkam tak berniat bicara.
Tentu saja dengan perizinan yang diberi Jura, kini pria itu ikut bersama mereka. Kalau begini jadinya, Nihala yang ada tidak menikmati perjalanan mereka. Aih, memang benar Jura itu, sengaja menerima.
Tidak tahukah Jura kalau Nihala belum menguasai ilmu darinya sampai khatam?
Sudah seperti ini Nihala harus apa selain diam menurut?
Lagipula tidak mungkin ia menolak permintaan Pangeran Hadid, rasa-rasanya kurang sopan saja, meski sejatinya pria itu yang bersikap jauh dari kata santun.
Mengapa?
Tentu saja merusak privasi. Terlebih beliau adalah sosok yang diagungkan di negara ini. Apa kata media Brunei nanti mengetahui pangeran kesayangan mereka jalan kaki sama orang-orang dari Indonesia yang tidak ada sangkut pautnya dengan kenegaraan?
Ah, semakin dipikirkan semakin Nihala pening, maka dari itu bibirnya masih senantiasa dikunci, meski Jura dan Listy sudah berjalan jauh di depan dan ada kesempatan untuknya berbincang dengan orang yang dikaguminya, tetap saja ia tidak melakukan hal tersebut.
Ingat usahamu selama ini untuk lupa sama obsesi kamu, Nihala. Ingat. Sia-sia nanti usaha Kak Jura dan Pak Ferdi, kamu nggak boleh lengah!
Ia berkali-kali menasihati diri.
"Bagaimana perasaanmu memenangkan lomba?" Suara itu bertanya dengan topik ringan, ia tidak mau terlalu terburu tapi juga tidak mau mereka diam membisu.
"Senang." Nihala menarik sudut bibir sebentar, begitu singkat sampai tak sadar Pangeran Hadid mengerang karena tidak sempat menatap manisnya senyuman gadis itu.
Pria itu bertaruh lebih indah menatap tarikan bibir Nihala secara nyata ketimbang di mimpi.
Bodoh.
Ia menghina dirinya yang terlalu konyol karena terjerat bayang-bayang tak jelas. Pangeran Hadid menggeleng samar. Beruntung sekali mereka hanya berempat, ia tadi sempat menitah penjaga untuk berada pada jarak yang tidak begitu dekat. Jura dan Listy sibuk berdua di depan mereka dan Nihala tidak mungkin melihat keidiotannya yang kentara.
"Pangeran," Nihala memanggil tapi tidak mengalihkan pandangan, kakinya pun tetap melangkah. "Apa Pangeran tidak sibuk ikut bersama kami? Masalahnya perjalanan kami ini tidak ada tujuan, kami hanya ingin berkeliling saja."
"Tidak." Pangeran Hadid menyembunyikan kedua tangan di samping kanan-kiri saku celana. "Kalau memang kalian tidak punya tujuan, aku bisa memandu kalian."
"Tidak perlu, Pangeran." Gadis itu kini menoleh, menatap sendu padanya. "Kami tidak mau membuat Pangeran repot."
"Aku tidak merasa demikian."
Jura dan Listy masih tidak menyadari pandangan Nihala yang sudah ingin bergabung dengan mereka. Keduanya memang berbalik tapi tidak untuk menariknya, melainkan pamit sebentar untuk mencari minuman, keduanya bilang ia harus menunggu bersama Pangeran Hadid.
Sepeninggal Jura dan Listy, Nihala masih diam. Pangeran Hadid diam-diam mencuri pandangan padanya. Pria itu kemudian teringat sesuatu, menatap sekeliling dan menjumpai penjaganya yang sudah diberi instruksi mulai berjalan mendekat.
"Nihala, mungkin kau merasa tidak nyaman dengan kehadiranku di tengah-tengah kalian, tapi kedatangan aku bukan tanpa alasan." Pangeran Hadid mengambil sebuah medali dan kertas tebal berisi nama lengkap Nihala.
Gadis itu mengerutkan kening, namun matanya terbelalak saat Pangeran Hadid mengalungkan medali ke lehernya. Belum sampai situ, tangannya diambil, pria itu memberikan selembar kertas.
"Selamat atas kemenanganmu." Ia tersenyum lebar. "Ayahku titip salam, maaf tidak bisa memberikannya secara langsung dan formal, beliau belum menemukan waktu. Jika ditunda takut kau sudah kembali ke negaramu."
"I--Ini...." Kata-katanya menguar, melenyap, terbang bersamaan angin Brunei yang sejuk.
"Itu penghargaan yang kau rekomendasikan kemarin." Pria itu masih mempertahankan tepian bibirnya agar terangkat. "Aku senang dengan kemenanganmu."
Nihala semakin tidak paham. Lantas teringat sesuatu, ia berjalan mundur, matanya semakin sendu karena satu-persatu bayangan di kepalanya membunuh perlahan, tidak sengaja ia menjatuhkan kertas di genggamannya. Kepala gadis itu menggeleng beberapa kali, kemudian kedua tangannya mencengkram sisi-sisi kepala. Nihala mulai berteriak histeris.
"Tidak, aku sedang tidak bermimpi!"
Pangeran Hadid panik, ia mengangkat tangan pada penjaganya yang hendak mengasingkan Nihala dari jangkauan pria itu. Penuh hati-hati ia mendekat pada Nihala sambil bersuara parau, tidak mengerti apa yang mendera gadis itu hingga sikapnya defensif.
"Nihala, kau tidak apa-apa?"
"Menjauh! Kamu cuma mimpi!" Kakinya gemetar, bukan, seluruh tubuhnya epilepsi. Satu pandangan sedih itu menatap dalam Pangeran Hadid, kemudian ia berbalik dan berlari menjauh.
Pangeran Hadid menggertakkan gigi, ia pandangi jalanan. Sepi. Keberuntungan lainnya yang membuat ia bersyukur sekali, karena kelengangan itu pula Jura dan Listy masih belum kembali.
Kepalan tangannya tercipta, menunjukkan urat yang menonjol, tak ada pilihan lain, tidak akan mungkin ia membiarkan gadis itu tunggang-langgang tidak jelas, yang ada ia bisa tertabrak transportasi.
Dengan modal sekolah kemiliterannya dulu, Pangeran Hadid punya kaki yang kuat untuk berlari cepat, meninggalkan penjaganya yang paham agar tidak mengganggu. Tak sampai semenit, ia berhasil menggapai Nihala yang sudah jauh dengan langkahnya yang pendek-pendek. Pria itu menghentikan sang gadis dengan memeluknya erat.
"Lepas! Aku nggak mau kalau ini cuma mimpi lagi, aku capek." Ia meraung sambil meneteskan air mata. Kelelahan kalbunya masih belum sembuh dan kini ia harus menerima fakta menyakitkan lagi.
Tahu begini, Nihala membiarkan saja doanya untuk mati agar diijabah Tuhan, alam memang kejam, pangkuanNya lebih nyaman.
Biar apa tetap hidup bila semua yang dilakukan tidak ada guna hanya bunga tidur belaka?
Ini yang namanya sakit hati dengan kehidupan.
Pangeran Hadid menahan sekuat tenaga pemberontakkan Nihala, ia mendekatkan bibir pada telinganya, membisikkan pelan dengan penuh kelembutan.
"Tenang, tarik napas."
Gadis di rengkuhannya terasa rapuh, sekali sentuh dapat hancur, melebur tidak lagi bernyawa. Entah apa yang menimpanya dulu, Pangeran Hadid belum mengetahui detailnya, tapi mendengar ujaran Nihala soal mimpi, mimpi dan mimpi membuat jantungnya berdetak kencang.
Tuhan, apa maksudnya ini?
*****
- bersambung, gulir terus! -
KAMU SEDANG MEMBACA
Merayan
ChickLitPunya idola pasti pernah dirasakan setiap orang. Tapi dari sekian banyak orang ada beberapa yang mengidolakan sampai ke poin fanatik. Sebut saja salah satunya adalah Nihala. Gadis itu begitu kagum dengan sosok pangeran di negeri seberang. Serin...