Kepingan Tiga Tiga

451 43 0
                                    

BARU saja ia tiba di istana dari hotel Nihala, dirinya sudah dihadapkan dengan Safna. Gadis itu menyilangkan kedua tangan di depan dada dengan wajah serius campur menggoda.

"Kau? Ini sudah malam!" Pangeran Hadid tidak mengerti dengan kehadiran gadis itu, selarut ini mengunjungi istana, pasti ada sesuatu.

"Katakan, apa benar?"

"Apa?" Pangeran Hadid menaikkan salah satu alis tidak mengerti.

"Katakan, apa benar berita yang sudah tersebar di istana ini?"

"Soal?"

"Kau dengan gadis pemenang lomba yang diselenggarakan Yang Mulia Raja?"

Ia tidak menjawab, justru terfokus pada satu pernyataan. "Tersebar di istana?"

Safna mengedikkan bahu sambil mencebikkan bibir. "Ya atau tidak."

"Ya atau belum lebih tepatnya."

Mendengarnya, gadis itu yang semula memicing penuh curiga lantas berteriak histeris. "Apa kataku, kau itu memang tidak akan berlama-lama dengan status sendirimu itu. Kau pikir aku tidak lelah setiap hari harus memasakkan sesuatu yang kau pinta?"

"Ya, itu mungkin suatu kesialan karena kau punya bakat dalam memasak."

Safna berdesis, matanya masih memicing tapi binar pandangannya sangat bahagia. Tidak salah memang punya Abian, kakak yang tidak bisa menjaga rahasia.

"Kalian semua tahu berita ini dari mana?"

"Tentu saja--" Gadis itu menggantung dengan senyuman geli. "Abian!"

Seketika Pangeran Hadid menggertak gemas, ia segera meninggalkan Safna. Tujuannya adalah Abian yang entah di mana.

"Dia tidak datang!" Safna berteriak, menggapai pria itu yang sudah melenggang. "Dia sedang sibuk bersama kasurnya!"

Mau bagaimana lagi. Pangeran Hadid kemudian berbalik, kembali pada Safna yang menarik tepi bibir penuh kemenangan.

"Ceritakan padaku awalnya!"

"Tidak." Pangeran Hadid sudah mau melalui Safna tapi tangannya ditarik sekuat tenaga. Benar-benar, ya, gadis ini meski berbadan mungil punya tenaga bagai pegulat.

"Ceritakan atau--" Safna mengancam.

"Atau apa?" tantang Pangeran Hadid dengan wajah belagu.

"Tidak ada kukis cokelat lagi!"

"Baik, Ratu!" Pangeran Hadid bagai anak ayam menurut pada induknya, ia pasrah begitu Safna menggiringnya dan memaksa untuk duduk di salah satu bangku di pelataran istana.

Ah, bagaimana lagi. Meski niatnya tidur cepat karena besok pagi akan mengiringi kepulangan Nihala di bandara, Pangeran Hadid juga tidak tega menolak Safna. Gadis itu rela-rela mendatanginya hanya untuk mendengar cerita.

Benar-benar. Selesai bercerita, Pangeran Hadid mengerutkan kening mendapati respon Safna yang memerah.

"Ada apa dengan wajah jelekmu?"

"Hei!" Tangannya memukul cukup kencang bahu kekar di hadapannya. "Jaga mulutmu kalau masih mau merasai masakanku."

"Saya minta maaf." Pangeran Hadid pura-pura tertekan.

"Aku merasa kau di ceritamu bukan Ilman Hadid Quthni yang kukenal."

"Jadi menurutmu itu qodam? Baik, selamat untuk Nihala karena berhubungan dengan jin."

"Namanya Nihala?"

"Apa penting?"

"Tentu saja, Bodoh!"

"Siapa yang kau sebut bodoh, Bodoh?"

"Jangan kembalikan umpatanku kalau mulutmu masih--"

"Kau dari dulu masih memelihara 'berisik'mu itu?"

Mendengarnya, Safna naik darah. Ia memelintir telinga Pangeran Hadid dengan gemas, membuat yang punya mengaduh minta berhenti.

"Jangan macam-macam."

"Astaga bocah ini sudah jadi raksasa."

"Kau sudah hobi, ya, mengajakku bertengkar? Sejak kecil sampai sekarang sepertinya kau tidak punya pekerjaan yang lebih baik lagi, wahai pangeran yang terpuja banyak wanita!"

"Tidak sekarang." Pangeran Hadid menaik-naikkan alisnya, penuh kode.

"Ah!" Safna memasang wajah datar. "Ini menggelikannya kau kalau jatuh cinta, aku harus berpikir ulang untuk mendukungmu hidup sendiri sepanjang umur, karena sepertinya aku lebih setuju itu dibanding dihadapkan dengan dirimu yang ini."

"Omonganmu panjang tak berkesudahan tapi tanpa makna."

"Wah, rupanya kau benar-benar ingin kumasak hidup-hidup."

"Saya minta maaf." Pangeran Hadid menunduk takut merasakan aura di sekitarnya menjadi suram. "Sudah malam, sebaiknya kau pulang."

"Kau mengusirku?"

"Tidak, Safna, aku perlu istirahat."

"Tumben sekali, ini masih siang. Biasanya kau terlelap jam satu pagi."

"Besok aku ada urusan."

"Apa? Ke mana?"

"Apa penting?"

"Jawab saja!"

Pangeran Hadid menghela napas lelah, debatnya dengan Safna harus disudahi, gadis itu perlu tidur juga bukan hanya dirinya. Bisa-bisa Abian mengamuk, mengetahui adiknya malam-malam begini mendatangi Pangeran Hadid.

"Aku ingin mengiring kepulangan Nihala ke Indonesia."

***

Ia bisa dengan jelas menatap mata yang menampung banyak luka kini terbelalak, juga memandanginya. Pangeran Hadid sudah tidak peduli soal statusnya sekarang, banyaknya perbincangan di belakang tak berhasil merasuki indera pendengar, ia juga memutuskan untuk tidak acuh terhadap dampak yang terjadi setelah hari ini.

Paling-paling berita akan penuh, memuat soal dirinya. Tapi, Pangeran Hadid tidak terpikir bahwa berita menjalar cepat selayaknya virus. Jika di Brunei dihebohkan dengan putra mahkota mereka yang akhirnya melepas masa lajang dan dengan terang-terangan menunjukkan kekasihnya, justru di Indonesia beda lagi.

Sudah tidak perlu dibahas, tahu sendiri pengguna media sosial dari Indonesia akan seganas apa jika menyangkut sang idola.

"Hiduplah dengan kehidupan yang kau kehendaki, jangan pedulikan kata orang." Pangeran Hadid menjauh, ia menepuk sekali kepala Nihala yang masih melongo bodoh. "Sekali lagi, hati-hati, jaga dirimu baik-baik."

Tersadar, ia bukannya menjawab, malah menunduk, memperhatikan Kana yang sedang digenggamnya, daritadi Pangeran Hadid menutup telinganya dan bersikap semanis ini ia tidak terkena serangan selayaknya biasa, seperti yang dilihat dari bentuk Kana yang masih normal, artinya ia sudah mulai terbiasa dengan semua kemanisan ini.

"Baik, Pangeran, terima kasih banyak." Nihala benar-benar menyerap perkataan pria itu dengan baik, ia mencoba untuk tidak peduli dengan energi-energi buruk, tidak dengan ocehan orang-orang di bandara ini tapi juga dengan pemikirannya yang selalu menjustifikasi.

Gadis itu sadar, kalau ia 'kumat' karena dirinya sendiri. Karena ia yang sering menyakiti 'Nihala' sampai-sampai dampak tak baik diterima. Dirinya tidak boleh seperti ini. Kalau mau bahagia jangan memaksa biarkan hadir dengan sederhana.

Lantas kepulangannya dari tanah Brunei sudah mengobatinya dari segala hal. Dari obsesinya, dari mimpinya, dari traumanya, tapi tidak satu poin--

--rasanya.

Meski sedih berpisah dengan Pangeran Hadid, Nihala mencoba meneguhkan hati, setidaknya momen terakhir mereka tidak seburuk yang ada di mimpi.

Ya, terkadang sesuatu yang indah tidak perlu dikhawatirkan karena Tuhan jelas sudah mempersiapkan, jauh sebelum kita diciptakan.

*****

- bersambung, gulir terus! -

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang