Kepingan Dua Puluh

503 51 4
                                    

AIR matanya diseka oleh sebuah jari lembut. Menoleh, Nihala mendapati Jura dan Listy memperhatikannya dengan senyum tak enak.

"Kamu hebat." Telunjuk Jura menurun sehabis menyeka cairan ainnya. "Kamu sudah berjuang sampai sini. Harapanmu bagaimana diri kamu, Nihala. Aku nggak akan memaksa untuk kamu menyudahi kekagumanmu, tapi selalu ingat untuk mengontrolnya supaya nggak berlebihan."

Ia menggeleng. "Nggak, Kak."

"Jadi, mau dilanjut lombanya?"

"Nihala bakal tetap melanjutkan lomba ini, bukan untuk Pangeran Hadid, tapi buat Abi dan Umi."

Sesuatu menyadarinya, tepat ketika melihat sosok putra mahkota yang ia kagumi secara langsung. Selama bertahun-tahun memang Pangeran Hadid berhasil menyelamatkannya dari ruang gelap tak terbatas, tapi ia juga tidak seharusnya mematok pria itu sepenuhnya dalam benak. Ada sesuatu yang ia lupakan.

Kedua orang tuanya.

Bahkan saat benar-benar terpuruk ketika bangun dari koma yang setia mendampinginya adalah Ananta dan Abu, ia tak bisa begitu saja melupakan keduanya.

Listy tak berbahasa, ia bangkit menghampiri sang sahabat, memeluknya, memberikan energi penuh pada Nihala. Ia percaya akan segala yang dimiliki gadis itu. Terlepas dari kegagalannya lolos seleksi masuk perguruan tinggi, ada banyak jalan menuju roma.

Kesuksesan seseorang tidak dipatok dengan pendidikan ke jenjang yang agung. Terpenting dalam hidup adalah melakukan sesuatu yang disenangi selagi Tuhan berbaik hati. Ingat bahwa hidup hanya sekali, maka manfaatkan momen itu dengan pasti.

"Semangat!" Listy menepuk-nepuk pipi Nihala, gemas. Ia mencuri satu cubitan yang mengundang bibir mencebik dari pemiliknya.

Pembawa acara menyuruh seluruh peserta untuk berkumpul di ruang samping aula Istana Nurul Iman ini. Setelah mendapatkan tepukan penyemangat dari Jura dan Listy, Nihala melenggang pergi.

"Nihala Rafaza." Ia menyebutkan namanya ketika tiba di meja dekat pintu ruangan.

Wanita berkerudung salem itu mendongak, kemudian fokus membaca dokumen di depannya. "Indonesia?"

Dirinya mengangguk, lantas ketika mendapat cap di tangan, ia dipersilahkan masuk ke dalam. Nihala kebingungan, besarnya bangunan membuatnya ragu menentukan posisi duduk di antara banyaknya bangku.

"Hai!" Seorang pria berbaju adat Brunei menyambutnya. "Peserta nomor?"

"Seratus sepuluh."

"Duduk di barisan depan sini, ya."

Nihala mengikut tangan pria itu mengarah ke arakan kursi bagian kiri. Ia mengangguk lalu sudah pergi mengikuti perintah pria itu. Bak anak ayam yang tersesat, gadis itu melihat sana-sini, gelisah. Posisi antara pria dan wanita dipisah, mengingat banyaknya manusia yang tidak bermahram.

Ia linglung, baik kaum adam dan hawa berinteraksi sesama jenis, seolah mereka sudah saling kenal. Sedangkan Nihala, dirinya hanya mampu bungkam, sebab tidak ada satu pun yang bisa ia ajak berkomunikasi. Lagipula Nihala tidak mau sok kenal sok dekat, ini negara asing, bukan tanah airnya. Ananta pernah memberi nasihat ketika ia masih kecil, untuk tidak sembarangan bergaul, harus menjaga sikap karena karakter setiap orang berbeda-beda.

Cukup lama menunggu hingga semua peserta komplit, baru setelahnya seorang pria berusia lanjut naik ke podium untuk memberikan instruksi. Nihala tidak begitu menangkap karena ia sibuk dengan ketenangan hatinya yang terganggu. Yang jelas, nanti semua peserta akan mengambil objek di seluruh bangunan istana, kecuali beberapa ruangan dengan penjagaan. Itu privasi.

Gadis itu menggenggam kamera pemberian Jura dengan erat. Benda ini, akan menjadi saksinya menggapai secercah mimpi nan perlahan lenyap.

Ketika dipersilahkan memulai, Nihala sudah tahu tujuannya. Ia melangkahkan kaki ke taman Istana Nurul Iman. Sesuatu menariknya pada sebuah imajinasi yang pernah terjadi.

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang