Kepingan Sebelas

618 44 3
                                    

DIRINYA tidak berniat mengganggu, bahkan saat Safna mendekat untuk memberi kecupan di pipi suaminya, betapa bodoh, Nihala malah beringsut memberi ruang.

Sakit hati, jelas tapi bisa apa, tidak mungkin ia berteriak-teriak bahwa Pangeran Hadid hanya miliknya seorang, tidak ada yang boleh mengganggu. Jelas, jika hal itu benar terjadi, suaminya akan jengah.

Sikap protektif boleh asal tidak berlebihan, lalu kasus Nihala ini bagaimana?

"Kapan tiba?" Safna memasang senyum, membuat kontur wajah yang memang dari sana sudah cantik semakin jelita dan sedap dipandang.

"Baru beberapa jam lalu. Kau datang sendiri?"

"Tadi diantar Abian, dia hendak mampir tapi lupa ada jadwal kencan dengan kekasihnya." Kepalanya beralih, agak menunduk karena Nihala lebih pendek darinya. "Salam kenal, Putri, aku Safna."

Agak kikuk, Nihala menyambutnya. Ia tidak pernah menyangka Safna akan mengajaknya berkomunikasi, terlebih nada yang digunakannya tidak sesuai dengan bayangan Nihala, Safna terdengar tulus.

"Salam kenal, namaku Nihala."

Senyumannya masih merekah. "Putri Nihala, nyamankan dirimu di sini, ya."

Pelajaran hari ini adalah, jangan pernah memberi asumsi sebelum semuanya terjadi. Seperti sekarang, karena kecemburuan berkobar di dadanya, Nihala sampai menilai Safna yang tidak-tidak dan oh, jangan lupakan ia juga sempat menyinggung soal poligami.

Lucu, ia menasihati diri sambil tertawa dalam hati. Tidak akan mungkin Pangeran Hadid berpoligami dengan segala sifat dan sikap penuh kasih yang ditujukannya pada Nihala.

Ya, tidak akan mungkin.

Tidak akan pernah menjadi mungkin.

"Nihala, kau mau ke kamar duluan? Aku ada urusan sebentar dengan Safna." Pangeran Hadid menatap penuh pada dirinya.

Seketika pikirannya yang sedang dijejalkan justifikasi positif langsung minus. Ia kembali berburuk sangka. Ada urusan apa sampai dirinya diusir secara perlahan seperti ini?

Dengan memaksakan senyum, Nihala bersuara. "Mungkin nanti saja, Pangeran. Tapi boleh aku berkeliling di sini?"

"Ya, tentu saja."

Jawaban suaminya membuat Nihala mengerang kecewa. Ayolah, ia berharap Pangeran Hadid peka untuk tetap bersamanya, mengapa malah kalimat itu yang keluar. Bukan, "apa kau mau aku temani?".

Ah, sungguh, ke mana perginya sosok Pangeran Hadid yang sensitif akan istrinya?

Pada akhir, Nihala berjalan menjauh. Ia harus menenangkan diri, bisa jadi saja hanya membicarakan hal-hal berbau kerajaan, tidak lebih. Jadi, dirinya tak perlu berlebihan soal hal tersebut.

Tapi tetap saja, susah!

Beberapa penjaga yang melihatnya langsung menunduk, memberi penghormatan, lantas tak dibalas dengannya, Nihala malah menggembungkan pipi, animonya sedang kacau-balau, didukung kondisinya yang sedang menstruasi. Sebuah kekacauan abadi.

Gadis itu janji, setelah hari ini hatinya membaik, ia akan menyapa satu-persatu penjaga yang bekerja di Istana Nurul Iman. Membayar rasa tidak enaknya karena bersikap defensif tidak tersentuh.

Langkahnya membawa Nihala menuju pada gerbang istana. Beberapa penjaga yang bersiap di sana mengerutkan dahi, menanyakan ada keperluan apa, apa ada yang perlu dibantu, atau apapun yang berkaitan pengabdiannya pada keluarga kerajaan dan tentu saja ia hanya bisa mengulum senyum dan berkata tidak ada masalah.

Cuma hatinya perlu diberi pelajaran.

"Aku hanya ingin melihat-lihat."

Satu kalimat yang terlontar membungkam penjaga kerajaan, mereka kembali memasang wajah datar di posisi masing-masing. Metamorfosis makhluk hidup yang mendadak jadi boneka demi bersiap dengan apapun yang akan terjadi. Sebagai pusat keluarga kerajaan, pasti ada saja yang tidak suka, jelas pengawasan ketat dibutuhkan. Takut-takut teror melanda.

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang