Kepingan Satu

4.1K 156 11
                                    

BUNYI mesin motor menyeruak di halaman rumahnya. Sambil sibuk memasang helm, ia tak henti memandangi layar ponsel yang menampilkan obrolan virtualnya dengan sang sahabat.

Sebetulnya sudah telat tiga puluh menit lebih dari waktu yang dijanjikan, tapi pada dasarnya sebutan ngaret tetap melekat erat pada diri gadis itu, kalau tidak telat, bukan Nihala namanya.

"Umi, Teteh mangkat heula!" Memasukkan ponsel ke dalam tas, suaranya tidak kalah nyaring dari Asep--motornya.

"Iya, hati-hati!" Sahutan dari dalam rumah terdengar samar menyeru. Dengan mendapat persetujuan dari ibunda tercinta, langsung saja Nihala melajukan motor, menuju kafe tempat yang dijanjikan dengan Listy.

Di perjalanan, mata Nihala melirik ke sana-sini, memperhatikan beberapa bangunan menjulang, apa ada perbedaan setelah tidak ia lihat selama dua belas jam lamanya. Karena terakhir ia menatap bangunan-bangunan tersebut adalah semalam ketika pulang dari kerja sambilan.

Sebuah keisengan yang tidak ada manfaat sebetulnya. Lagipula kalau memang bangunan itu ada perbedaan bukan problem sepatutnya, Nihala tidak ikut andil dalam pembangunan properti yang menghiasi perjalanan.

Sampai kafe atau bisa disebut angkringan, gadis itu memarkirkan Asep secara menyamping sedangkan motor lain lurus. Bukan tanpa alasan, dirinya hanya tidak mau kesempitan karena samping kanan-kiri Asep ada motor orang lain, tentu itu menjeda niat pulangnya.

"Baik-baik di sini, ya. Mama bentar doang, okay!" Ia mencium stang motor dengan penuh kasih.

Beberapa orang yang mengunjungi kafe itu juga menatapi tanpa kedip, merasa iba karena cantik-cantik, saraf otaknya bermasalah. Tentu saja di pihak Nihala tidak mau ambil pusing dengan pandangan yang ditujukan orang sekitar.

Baginya Asep adalah karunia berharga dari Yang Maha Kuasa, tanpa motor ganteng itu mungkin Nihala harus mengamputasi kakinya yang membengkak sebab berjalan dari rumah ke tempat kerja.

Baru melangkah beberapa, dirinya kembali lagi. "Asep bukannya ngingetin Mama ada Papa kamu di bagasi!" Sambil menggerutu, ia membuka jok, mengambil sebuah buku yang sudah dianggap nyawa olehnya.

"Salam dulu!" Senyumnya mengembang, menunjukkan buku tersebut pada Asep. "Mama sama Papa kencan bentar, ya."

Mendengarnya, orang-orang yang sempat mengiba semakin bersimpati sebab perkiraan mereka gadis itu benar-benar kurang waras. Motor dan buku adalah benda mati dan Nihala bersikap seolah kedua benda tersebut mampu berinteraksi selayaknya manusia.

Lagi-lagi gadis itu tidak menghiraukan betapa ia menjadi sorotan seluruh pengunjung, bahkan pelayan yang hendak mengantarkan pesanan berhenti sejenak hanya untuk memberikan penghormatan tanda empati.

Listy yang sejak tadi sudah tiba dan memperhatikan betapa janggalnya Nihala saat datang hanya mampu geleng-geleng kepala. Terlebih langkah pasti gadis itu menujunya, kalian pasti paham betapa memalukannya momen tersebut. Yang jelas sekarang Listy sama-sama dicap kurang waras hanya karena pengunjung lain melihat tingkah Nihala.

"Maaf, ya, sebentar. Makasih kamu udah telat." Nihala tersenyum lebar tanpa beban. "Kamu pesen, gih, biar kamu yang bayar sendiri."

Listy menutup wajah dengan telapak tangan secara perlahan, baru saja menghela napasnya sebentar, ada saja tingkah tambahan dari sahabatnya yang di depan ini. Ingin kabur tapi ingat dirinya duluan yang membuat janji untuk bertemu.

MerayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang