5 : Kehangatan Keluarga

177 20 12
                                    

Boruto begitu menanti hari ini. Kata ibunya, ayahnya akan pulang setelah hampir setengah tahun tak pulang ke rumah. Walaupun sering kali ia membenci ayahnya yang dianggap tak pernah peduli keluarga, namun jauh di lubuk hatinya ia begitu mengharapkan kehadiran ayahnya setiap saat.

CKLIK. Pintu rumah Uzumaki terbuka. Seorang laki-laki tinggi berambut pirang memasuki rumah itu, "assalamu'alaikum, tadaima—"

Boruto dengan cepat membuka pintu kamar dan menuruni tangga demi menyambut orang itu.

"Okaerinasai, Papa!" Himawari berlari terlebih dahulu lalu memeluk sosok ayah yang ia rindukan selama ini. Boruto yang melihat wajah ceria Himawari seketika menghentikan langkahnya. Ia tersenyum simpul melihat adiknya begitu bahagia karena ayahnya pulang.

"Okaeri, Otou-san" Boruto mendekat perlahan ke arah ayahnya. Naruto Uzumaki, sang kepala keluarga Uzumaki di rumah itu akhirnya menginjakkan kaki di rumahnya kembali. Ia mengecup kening istri manisnya, Hinata yang ada di hadapannya, serta tertawa bahagia sembari mengacak-acak rambut putra sulungnya, Boruto.

"Biar kusiapkan air hangat untuk mandi, ya" Hinata membantu Naruto melepas jaket oranye kado darinya beberapa tahun lalu. Kemudian ia juga menggeret koper bawaan Naruto menuju kamar.

"Tunggu Hinata, ada sesuatu dalam koper kecil yang satu itu" tahan Naruto sebelum Hinata membawa satu koper kecil berwarna merah.

"Yang ini?" Hinata memastikan koper yang tangan kanannya pegang. Naruto mengangguk. Tak lama kemudian ia membuka koper tersebut.

"Woah! Papa membawa oleh-oleh!" mata Himawari berbinar melihat Naruto membawa beberapa stel baju yang masih bersegel plastik.

"Ini untukmu, Hima" Naruto memberikan satu stel jubah kuning cerah lengkap dengan kerudung senada, "dan kau Boruto, ah.. ini dia," lanjut Naruto begitu menemukan jaket baru sesuai model yang ia pilih sendiri khusus untuk Boruto.

Boruto langsung membuka segel plastik jaket baru itu. Ia menatap lamat-lamat tiap sisi jaket yang diberikan ayahnya, "ini tidak sesuai dengan keinginanku! Lihatlah, jaket yang tidak keren sama sekali ini, bahkan perpaduan warna oranye dan biru tidaklah matching! Aku kan sudah pernah bilang untuk membelikanku jaket dari distro terkenal di ibu kota! Di sana banyak model terbaru yang keren"

Boruto membanting jaket baru pemberian ayahnya. Ia berlari keluar meninggalkan rumah dan mengambil sepedanya. Hinata berusaha berlari mengejar Boruto, namun Naruto menahannya. Naruto menggeleng, mengisyaratkan agar membiarkan Boruto menyendiri sejenak. Ia pikir, di usia seperti itu adalah sebuah masa pemberontakan. Satu-satunya yang bisa menenangkan Boruto memang hanya dirinya sendiri.

Boruto mengayuh sepedanya kuat-kuat sambil menoleh sebentar-sebentar ke belakang. 

Lihat kan, bahkan laki-laki itu tak mengejarku? Sudah kuduga, dia memang tak berguna! , maki Boruto dalam hatinya.

Boruto ingin menangis, tapi hatinya membantah. Laki-laki tak boleh menangis.

Tapi rasa kesal itu semakin membuncah di hatinya. 

Ayah tak berguna, bahkan selera dan hal favoritku saja tak tau! 

Boruto terus mengayuh sepedanya tak peduli kemana tujuannya. Hingga semakin melemah kayuhannya, Boruto berhenti di sebuah taman di sebuah kompleks yang dekat dengan perbatasan perumahannya dan perkampungan sederhana. Ia mengingat kembali tempat itu. Ya, Sarada pernah mengajaknya ke sana. Ternyata, sebuah ingatan itulah yang menuntunnya sampai bisa berhenti di taman itu.

Boruto menyandarkan sepedanya di bawah pohon rindang tepi taman. Lalu ia duduk dan bersandar di bawah pohon itu juga. Ia memikirkan keluarga Sarada yang begitu membuatnya iri. Sosok Sasuke tiba-tiba muncul di pikirannya. Baginya, Sasuke adalah sosok ayah ideal. Meski jarang pulang, namun sekali pulang pasti akan sangat mengerti dan memanjakan Sarada. 

Half of My Religion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang