28 : Perjalanan Panjang

260 18 1
                                    

Hari itu merupakan salah satu hari bahagia Sarada. Ia berdandan dengan totalitas demi acara sore ini. Sebuah acara penting sebelum ia melangsungkan ibadah sunnah paling lama, yaitu menikah.

"Sebenarnya mau dibubuhi riasan atau tidak, kau masih tetap cantik" celetuk Sakura yang tiba-tiba masuk ke kamar Sarada.

"Mama~ jangan menggodaku"

Sakura terkikik, "akhirnya Mama akan segera mempunyai anak lagi. Meskipun nanti gelarnya hanya sebatas anak menantu"

Sarada tersipu. Ya, hari ini ia akan mendapat pernyataan resmi dari pria yang ia cintai sejak lama. Dengan seluruh keberanian hati, lelaki itu menyatakan akan 'meminta' Sarada di hadapan kedua orangtuanya secara langsung.

"Sarada, cepatlah. Dia sudah datang!" seru Sasuke dari lantai bawah.

"Haai, Papa!"

Sakura segera menarik tangan putrinya setelah mengenakan hijab dengan cantik. Perasaan grogi Sarada sangat kentara, nampak jelas ketika ia menggenggam erat tangan Sakura.

"Ingat, kau tak boleh canggung di depannya. Biarkan saja mengalir, seperti kau menghabiskan waktu bersamanya selama ini"

Sarada mengangguk. Meski begitu raut wajahnya tak bisa menyembunyikan ekspresi canggung yang dirasakannya. Detak jantungnya juga berdegup tak karuan.

Aku tak sabar menghadapi ini. Semoga saja lancar sampai selesai ^^

KLIK. Boruto mengunci kembali layar ponselnya. Ia membanting smart phone keluaran terbaru miliknya ke kasur. Ia meringkuk di sudut ruangan meratapi kebahagiaan yang sedang berlangsung di rumah tetangga.

Baka, apa pentingnya mengirim pesan seperti itu?

Ia mengambil ponselnya kembali. Menekan nomor telepon yang akan ia hubungi. Setelah puas berbincang dengan seseorang di ujung telepon, Boruto mengemasi barang-barangnya. Koper yang ia bawa pulang beberapa hari lalu dibukanya kembali. Ia mengeluarkan muatan dalam koper dan ganti memasukkan keperluannya di masa mendatang.

"Boruto" desah Hinata mendapati putranya sedang berkemas, "apa benar kata bibimu kalau kau akan pergi ke sana?"

Boruto menghentikan aktivitasnya sejenak, "hai"

"Apa kau serius?" tanya Hinata, "apa ini ada kaitannya dengan Sara—"

"Iie" potong Boruto. Ia tak ingin mendengar kata terakhir, "barusan aku mendapat panggilan kerja di kota bibi Hanabi. Jabatannya lumayan. Jadi mengapa aku tak mencobanya?"

Boruto memejamkan matanya sekejap. Dalam hatinya ia mengatakan beribu-ribu maaf karena telah membohongi ibunya.

"Apa kau sudah membicarakannya dengan ayahmu juga?"

"Aku yakin Otou-san akan setuju" cuapnya asal, "bukankah anak laki-laki sudah biasa jika harus merantau?"

Ia mengingat kembali obrolan semalam setelah acara anniversary orangtuanya. Naruto menghampiri dan memeluk putra sulungnya untuk menguatkan hati. Ayah dua anak itu tak ingin Boruto berada dalam keterpurukan.

"Kalau kau ingin pergi, ayah akan mengizinkanmu"

Naruto sangat paham rasanya patah hati. Beberapa kali ia juga telah mengalaminya. Naruto memberikan pilihan agar Boruto pergi menemani Hanabi dan mencari pekerjaan di sana. Pikirnya, Boruto mampu berkembang dengan baik selama ini. Mungkin ke depannya juga akan sama.

"Oniichan?" panggil Himawari yang kebetulan menyusul ibunya ke kamar sang kakak, "apa yang akan kau lakukan dengan membawa koper seperti itu? Kau akan pergi lagi? Padahal kita sudah berjanji untuk tinggal dengan mama!"

Half of My Religion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang