Sasuke menyeruput kopinya yang mulai menghangat. Kopi arabica buatan sang istri itu memang telah menjadi favorit Sasuke sejak lama. Tapi tetap saja ia perlu menerima omelan Sakura agar tak sering mengonsumsi kopi dengan kadar keasaman tinggi tersebut.
Sudah hampir satu bulan Sasuke menikmati masa libur tugasnya di rumah. Sejak ulang tahun Sarada, Sasuke memutuskan untuk tinggal lebih lama demi menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya. Sesekali ia juga mengunjungi rumah orang tuanya yang berada di perbatasan kota.
"Papa, ittekimasu" pamit Sarada sebelum berangkat ke rumah sakit.
"Ittera— hn, mengapa kau jarang memakai mobilmu sendiri?" tanya Sasuke melihat Sarada yang selalu menumpang Mitsuki.
"Tanyakan saja pada mama. Assalam'ualaikum!" Sarada berlari menuju mobil Mitsuki yang telah menunggu di depan rumah.
Sasuke menjawab salam putrinya lalu masuk kembali ke dalam rumah. Ia menanyakan kebijakan Sakura yang tak mengizinkan Sarada membawa mobil.
"Soal itu ya?" tanggap Sakura, "sebenarnya aku khawatir dengan Sarada jika pulang malam-malam sendiri. Dulu dia sering sekali mendapat tugas jaga malam"
"Tapi bukan berarti kau melarangnya membawa mobil sendiri. Ingat, Sarada itu sudah dewasa. Lagipula aku juga sudah sering melatih kemampuan bela dirinya setiap akhir pekan"
"Anata, sebagai seorang ayah, kau pasti percaya penuh dengan putrimu. Tapi sebagai ibu, perasaan khawatir pada anak gadisnya jauh lebih besar" kata Sakura, "lagipula aku senang jika Mitsuki selalu ada di sisinya"
Sasuke menepuk dahinya, "lalu untuk apa aku membelikannya mobil tahun lalu?"
"Daijoubu, setelah Sarada menyelesaikan program dokter mudanya aku akan memperbolehkannya membawa mobil. Karena menjadi dokter umum akan mendapat waktu shift berbeda-beda"
Sasuke hanya mampu mengiyakan ucapan istrinya. Baginya, Sakura mungkin jauh lebih memahami Sarada dari siapapun.
Selama sisa liburan Sasuke, ia sering membahas masalah yang tak pernah usai. Berulang kali Sasuke membicarakan tentang urusan menikah hingga putrinya jengah. Namun Sasuke tak menyerah. Dirinya tau bahwa Sarada mungkin mulai menyukai salah satu dari sahabat laki-lakinya. Kedekatan Sarada dengan Mitsuki memang tak bisa dipungkiri belakangan ini, tapi saat malam hari ia juga kerap menguping Sarada sedang asyik menelpon Boruto.
"Usiamu sudah 23 tahun, bukan? Cepat atau lambat kau pasti segera menikah" buka Sasuke.
Sarada yang petang itu baru saja pulang menghela napas panjang. Ternyata papanya tak menyerah untuk terus memburu kepastian yang ada dalam hatinya. Sarada memang sudah menentukan pilihan, akan tetapi ia masih belum yakin sepenuhnya. Ia kemudian ia berdiskusi tentang jodoh dengan papanya.
"Ne, aku ingin membahas yang waktu itu juga" Sarada duduk mendekat pada papanya, "beberapa hari lalu, aku membaca kembali tafsir Surah an-Nur ayat 26 yang pernah kita bicarakan sebelumnya"
Sasuke menyadari dengan cepat obrolan kala itu, "hn, kurang lebih tentang jodoh adalah cerminan diri itu?"
"Hai. Terkadang aku berpikir, apakah aku orang yang baik?"
Sasuke mengelus pipi Sarada dengan kedua tangannya, "tentu saja bagi Papa kau anak yang baik. Tapi Papa tak tau bagaimana penilaian Allah terhadapmu. Karena baik-buruknya seseorang sebenarnya bukan manusia yang menilai"
Sarada mengungkapkan keraguan hatinya, "lalu.. nanti aku akan mendapat jodoh yang seperti apa? Bagaimana jika dia orang yang– tidak baik?"
Sasuke terkikik mendengar pertanyaan Sarada barusan, "jadi kau memikirkan itu? Entahlah Sarada, tapi pilihan Allah selalu yang terbaik untuk hambaNya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Half of My Religion ✔
Fanfic[COMPLETED 27/09/20] • [BORUSARA/MITSUSARA] Dalam hadits, menikah itu menyempurnakan separuh agama. Tapi jika pasangan hidup itu bukan orang baik bagaimana? Lalu teori tentang jodoh itu bagaimana, bahwa jodoh adalah cerminan diri? , Sarada Uchiha se...