9 : Sosok Ayah

131 19 9
                                    

"Ada apa, Sarada? Wajahmu kusut sekali" Sakura keheranan dengan wajah Sarada yang tertekuk. Tidak biasanya putrinya itu menyambut pagi dengan tanpa semangat.

Sarada menaruh kepalanya di atas meja. Akhir-akhir ini ia merasa gusar. Sarada yang mencoba bersemangat pun menyalakan televisi untuk mengusirnya.

"Menjadi Boruto enak sekali ya" ujar Sarada saat ia berhenti pada satu channel yang menayangkan acara ceramah pagi, "dia bisa melihat ayahnya kapanpun. Dia bisa tau apa yang sedang ayahnya lakukan di TV"

Sakura menghela napas, "kenapa kau tiba-tiba memikirkan hal itu? Kau sedang merindukan papamu?"

Sarada hanya mematung seraya memanyunkan bibirnya.

"Biasanya selang empat sampai lima bulan kau akan merindukannya. Tapi kali ini? Padahal papamu baru pergi dua bulan"

Sarada teringat kembali beberapa hari lalu saat pesta ulang tahun Chocho. Papa Chocho rela mengambil cuti demi merayakan hari istimewa Choco. Sejenak Sarada berpikir, apa kelak papanya juga melakukan hal sama seperti itu?

"Daripada itu, bagaimana keadaan Mitsuki? Kau masih tetap harus mengontrolnya loh!" Sakura mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Yaah, selama tiga minggu ini dia terlihat lebih berseri. Kurasa Boruto memang sangat berpengaruh. Mama tau kan, jika Boruto mudah membawa suasana pada orang lain"

"Sepertinya Boruto memang selalu membawa hal-hal cerah ya? Jangan-jangan dia hare-otoko! Kau tau istilah tentang hare-otoko atau ame-otoko*¹?"

"Kurasa itu tak ada kaitannya, Mama!"

HATTSYUU... Boruto mengusap-usap hidungnya kemudian menempelkan tangannya di dahi. Padahal dirinya tidak sedang demam, tapi tiba-tiba bersin begitu saja.

"Apa kau sedang flu, Boruto?" tanya Hinata lekas menghampiri Boruto.

"Tidak. Oh ayolah Okaa-san aku baik-baik saja" elak Boruto saat Hinata memeriksa suhu badannya.

"Kukira kau sedang flu, Boruto. Tapi ibu baru ingat, kau mirip sekali dengan ayahmu. Kalian tidak pernah sakit," Hinata meringis, "e-eh mungkin lebih tepatnya jarang sakit"

Otou-san lagi. Boruto mendengus. Setiap hal yang ibunya bicarakan selalu dikaitkan dengan ayahnya. Terkadang perasaannya bercampur aduk, antara bahagia karena memiliki banyak kesamaan dengan ayahnya atau sedih karena ibunya kembali merindukan ayahnya yang jarang pulang.

"Ibu harap ayahmu juga selalu baik-baik saja, sepertimu" ujar Hinata yang mengelap piring bersih sambil menonton acara ceramah pagi Naruto di TV.

"Tenang saja, laki-laki itu pasti baik-baik saja. Dia sudah berjanji padaku!" kata Boruto yakin. Ia teringat beberapa waktu lalu saat terakhir Naruto pulang. Ayahnya itu berjanji untuk selalu menjaga diri demi keluarga yang menanti di rumah, "umm, Okaa-san, jika kelak aku akan mengikuti jejak ayah, apa Okaa-san akan senang?"

"Tidak perlu meniru ayahmu. Cukup jadilah dirimu sendiri. Kau ingat ungkapan 'inna al-fatā man yaquulu haa ana dzaa wa laisa al-fatā man yaquulu kaana abiiy'*²? Keberhasilanmu, kau sendiri yang menentukan" Hinata tersenyum melihat Boruto yang semakin terlihat dewasa, "ah, ngomong-ngomong apa rencana musim panasmu kali ini? Apa kau tak ingin mengajak Sarada dan Mitsuki ke pantai lagi seperti tahun sebelumnya?"

Boruto menghela napas. Di tengah kondisi Mitsuki saat ini, ia benar-benar harus memutar otak untuk memicu ingatan baik agar menjadi kenangan baik pula, seperti kata Sarada. Jika saja Sarada tak menceritakan hal sebenarnya selepas Mitsuki keluar rumah sakit, ia tak tau trauma Mitsuki rupanya begitu menyakitkan.

Half of My Religion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang