Sinar matahari sore itu terasa begitu hangat, padahal musim panas telah lama berlalu. Bagi sebagian orang menganggap musim panas telah usai, tapi bagi Sarada musim panas masih berlangsung. Hatinya selalu dipenuhi kebahagiaan. Perasaan yang meledak-ledak namun tetap indah seperti kembang api di festival hanabi. Alasannya tentu hanya satu, karena ia masih terus menghabiskan waktu bersama papanya.
"Assalamu'alaikum, Papa!" seru Sarada membuka pintu kamar perawatan VIP3003. Wajahnya selalu berseri saat bertemu dengan lelaki tersayangnya.
"Waalaikumsalam, Sarada" jawab Sasuke sembari celingukan mencari sesuatu di belakang Sarada, "kau datang sendiri?"
"Hai~" wajah ceria Sarada berubah seketika, "memangnya tidak senang jika aku sendiri?"
"Gomen gomen" Sasuke meringis melihat putrinya tiba-tiba cemberut, "hanya.. hal itu tak biasa"
Sarada menggembungkan pipinya, "bilang saja Papa lebih ingin bertemu dengan Boruto dan Mitsuki"
"Iie, Sarada. Oh ayolah, My Kawaii Peanut" goda Sasuke. Ia tau Sarada sangat tidak menyukai panggilan aneh itu.
"Kau membuatku kesal Papa" Sarada langsung menyergap Papanya seraya memasang kuda-kuda untuk menyerang.
"Ow ow, Sarada hentikan. Itaii, luka Papa masih belum sembuh" Sasuke memohon-mohon agar Sarada berhenti menggelitikinya, "baik baik, Papa minta maaf"
Sarada terbahak. Betapa lucunya ekspresi papanya saat merasa kalah darinya, "hai, kuterima maaf Papa"
Ayah dan anak itu kemudian melanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan. Sasuke selalu membahas bagaimana kemajuan studi Sarada, lalu mengapresiasinya dan sontak membuat Sarada tersipu. Pujian papanya melebihi pujian siapapun di dunia ini!
"Ngomong-ngomong, ini tahun ke empatmu bukan? Beberapa bulan lagi kau lulus ya" kata Sasuke, "bagaimana pandanganmu ke depan nantinya?"
"Aku ingin mengajukan diri menjadi dokter muda di sini dengan mengikuti jejak Mama" jawab Sarada penuh keyakinan.
"Selain itu? Me.. uhm, menikah misalnya?"
Bahasan itu lagi. Sarada menghela napas panjang. Ia sebenarnya bosan dengan pertanyaan berulang papanya tentang hal tersebut, tapi lama-lama Sarada juga memikirkannya. Usianya juga cukup dewasa untuk memasuki ranah berkeluarga.
Sarada pun memberanikan diri untuk mulai menanggapi topik itu, "ne Papa, aku pernah membaca di suatu hadits bahwa menikah itu menyempurnakan separuh agama"
"Benar, lalu apa yang mengganjal di pikiranmu?" Sasuke menerka gelagat bingung di wajah Sarada.
Sarada menelan ludah, memikirkan cerita orangtua anak-anak rumah singgah, "kalau jodoh adalah cerminan diri, lalu bagaimana dengan pasangan hidup yang tidak cocok? Misalnya, ada orang baik tapi menikah dengan orang yang tidak baik. Lalu bagaimana kebenaran tentang teori sebelumnya, bahwa jodoh itu seperti diri kita sendiri"
Sasuke terkejut dengan lontaran pertanyaan Sarada. Dirinya tak habis pikir, ternyata Sarada juga memikirkan tentang sesuatu yang ia bahas selama ini.
Dia kritis juga.
"Sejujurnya, Papa tak tau" jawab Sasuke singkat.
Sarada tersenyum kecut dengan tatapan sedikit sayu, "sudah kuduga. Coba aku bertanya pada Naruto-san saja. Umm atau mungkin bertanya pada Kakashi-san saja?"
"E-eh? Kau meragukan Papa? Begini-begini Papa juga murid Kakashi-sensei dan teman paman Naruto loh!" dalih Sasuke sedemikian rupa, "tapi yah.. jika memang itu membuatmu lebih senang, Papa tak keberatan"
KAMU SEDANG MEMBACA
Half of My Religion ✔
Fanfiction[COMPLETED 27/09/20] • [BORUSARA/MITSUSARA] Dalam hadits, menikah itu menyempurnakan separuh agama. Tapi jika pasangan hidup itu bukan orang baik bagaimana? Lalu teori tentang jodoh itu bagaimana, bahwa jodoh adalah cerminan diri? , Sarada Uchiha se...