18.2 : Rahasia Besar (Tentang Rasa)

114 12 3
                                    

Sarada masih tak bisa berhenti memikirkan keadaan Mitsuki. Ia terus memanggil nomor telepon Mitsuki walau tau tak akan ada jawaban. Ia bahkan sampai mengabaikan telepon Boruto berkali-kali. Hingga di panggilan kelima, Sarada memutuskan untuk mengangkat telepon Boruto. Bagaimanapun juga ia tak boleh memutus komunikasinya, begitu janjinya sebelum Boruto memutuskan pergi ke luar kota.

"Lama sekali-ttebasa! Padahal kau bilang hari ini sibuk sampai jam sembilan kan?"

"Mitsuki menghi—" Sarada menahan ucapannya. Ia tak bisa berterus terang begitu saja.

Bagaimana jika fokus studi Boruto terganggu nantinya?

"Nani nani? Ada apa dengan Mitsuki?"

Sarada memutar otak. Terkadang ia butuh pendapat Boruto. Sebagai laki-laki, Boruto kurang lebih juga berpikiran seperti Mitsuki, "umm.. bagaimana menurutmu jika Mitsuki tiba-tiba menghilang? Apa itu keputusannya untuk kabur dan menghindar jika ada masalah?"

Mengapa Sarada memikirkan hal itu? Apa dia ingin mengetesku? gumam Boruto.

"Tentu saja dia tidak akan kabur begitu saja kan? Kita mengenalnya. Jika memiliki masalah, Mitsuki pasti akan menyelesaikannya, walaupun tidak akan mengatakannya pada orang lain. Memang kenapa?"

"Aku hanya memikirkannya. Aku tak bisa membayangkan jika dia pergi begitu saja" ucap Sarada beralibi.

Jantung Boruto berdegup lebih kencang. Sarada memikirkan Mitsuki sampai sebegitu jauhnya? Apa Sarada memang benar-benar menyukai Mitsuki hingga tak bisa membayangkan Mitsuki jauh darinya?

Boruto menggeleng-gelengkan kepalanya. Sial, mengapa aku jadi cemburu begini-ttebasa! Padahal aku sudah bertekad tidak akan berpikiran egois lagi.

"Y-yah mengapa berpikiran begitu? Kau terlalu memikirkannya, dattebasa"

Seketika Sarada salah tingkah sendiri, "e-eh itu tidak benar"

Sarada menyangkal sedemikian rupa. Ia merasa tak enak hati memasukkan bahasan Mitsuki dalam pembicaraan quality time mereka.

"Tapi kalau Mitsuki melakukan hal seperti itu, aku akan mencarinya kemanapun sampai ketemu. Aku akan menyeretnya hingga mau keluar dari keterpurukannya" seru Boruto di ujung telepon.

Sarada tersenyum, "kau benar. Itu memang sifatmu"

Dalam sekejap hati Sarada menjadi tenang. Boruto memang tau cara untuk melepaskan Sarada dari beban pikirannya. Yang perlu ia lakukan hanya berusaha mencari Mitsuki terus.

"Ne, Sarada apa aku boleh bertanya?"

"Uhm"

"Seperti apa kau menganggap Mitsuki?"

Baka! Mengapa aku bertanya hal yang tidak-tidak! Boruto memaki dirinya yang tanpa sengaja melontarkan pertanyaan tak berdasar itu.

"Dia orang yang berarti" jawab Sarada sekenanya.

Eh? Mengapa aku mengatakan hal itu? Sarada membenamkan wajahnya di balik bantal. Ia malu sekaligus sedikit menyesal mengatakan hal aneh begitu.

"Berarti?"

Sudah kuduga. Mitsuki memang orang paling berharga Sarada saat ini. Mungkinkah aku telah kalah dari Mitsuki? pikir Boruto di sela bincang malamnya bersama Sarada.

"Uhm, semua temanku memang kuanggap seperti itu kok. Jadi yah~ tenang saja! Semuanya berarti bagiku. Kau mungkin juga s-sama"

Eh? Aku mengatakan hal bodoh apa lagi? Sarada menendang-nendang gemas merutuki jawaban ngawurnya.

Half of My Religion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang