-PROLOG-

688 47 5
                                    

Siang itu di masjid Universitas Konoha, beberapa anggota kerohanian Islam merapatkan jadwal imam dan penceramah dalam satu bulan. Sudah menjadi kegiatan umum di masjid universitas pada waktu sholat dhuhur imam dan penceramah setelah sholat haruslah berasal mahasiswa.

"Jadi selanjutnya, siapa yang akan menjadi imam dan penceramah?" tanya Sarada selaku ketua.

"Kenapa bukan Boruto? Dia anak seorang ustadz, kan?" celetuk Chocho.

"Tidak, aku tidak mau! Menjadi anak ustadz bukan berarti harus menjadi ustadz juga, dattebasa! Lagipula aku tidak akan berminat ceramah-ceramah seperti itu" tolak Boruto mentah-mentah.

"Oi Boruto, kau ini anak kerohanian Islam tapi tak pernah jadi imam, tau. Aku dan yang lainnya saja sudah pernah" kata Shikadai.

"Ckckck.. Seorang anak ustadz hebat begitu kasar seperti ini" sahut Inojin asal.

Boruto hanya bisa mengumpat pada teman-temannya. Dia benci harus disangkut-pautkan dengan ayahnya sebagai ustadz kondang di negerinya. Ayahnya akan tetap jadi ayahnya. Begitupun dirinya. Mereka berbeda, meski Boruto juga berasal dari darah Uzumaki yang terkenal dengan kemampuan berdakwahnya.

"Apanya yang ustadz hebat" keluh Boruto setelah menjauh dari teman-temannya.

"Boruto.." panggil seorang gadis manis seusianya.

"Sara—da?"

"Kau tidak boleh berlaku seperti itu. Bagaimanapun juga, seorang Naruto Uzumaki tetap ayahmu. Dia bekerja dengan berdakwah untuk umat.. dan tertu saja untukmu dan keluargamu"

"Ayah ayah ayah. Selalu ayah! Aku benci dengannya! Kau tau, Sarada? Karena pekerjaannya sebagai ustadz terkenal itu dia jadi jarang pulang. Dia tak peduli dengan ibu, tak peduli dengan Himawari.." Boruto mengomel dengan berapi-api, namun sesaat Boruto terdiam, "apalagi denganku"

Sarada tersenyum simpul, "tapi kau tidak tau kan, bagaimana perasaannya? Mungkin di tengah kesibukannya, ayahmu tetap memikirkan keluarganya. Apalagi kau, sebagai anak laki-laki hebatnya"

Boruto hanya diam.

"Kau tau, aku begitu mengidolakan ayahmu. Kerjanya untuk agama begitu nyata. Tidak seperti papaku yang hanya anggota militer negara.." cerita Sarada mencoba menenangkan Boruto.

"Tapi itu pekerjaan hebat, Sarada! Papamu berjuang di balik layar untuk kedamaian negara"

"Iya aku tau itu. Aku menyadarinya. Tapi aku tak suka dengan pekerjaannya. Akupun juga sering merindukannya, Boruto. Tapi apa kau tau? Meskipun aku tak menyukai pekerjaannya, aku tetap sayang dengan papaku. Aku bangga dengannya"

Mendengar cerita Sarada, Boruto tertegun. Ia perlu belajar banyak pada Sarada tentang kedewasaan. Sejak saat itu, entah mengapa ada suatu rasa yang ia rasakan terhadap gadis agamis itu. Meski belum bisa dikatakan perasaan serius, namun ia senang menghabiskan waktu dengan gadis di hadapannya.

"Arigatou, Sarada. Kau menenangkanku"

"Jadi, kau mau menjadi imam dan penceramah bulan ini kan?" Sarada mencoba mengungkit yang lalu perlahan.

"Ah kurasa aku lapar, aku mau ke kantin dulu. Jaa~" Boruto berusaha mengelak dengan mencari-cari alasan dan kabur.

Dasar Boruto! , seringai Sarada.

***

Half of My Religion ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang