Tujuh

1.4K 145 3
                                    

Pernah sekali seorang model menjebak Bian dengan membawa foto-foto tidur bersama mereka. Bian nampak intim dengan wanita itu dan jika hanya dilihat dari foto, orang akan langsung berpikir bahwa mereka sudah melakukan hubungan 'itu'.

Pernah juga sekali Bian diberi perangsang dan hampir meniduri seorang artis jalang, tapi untungnya Wira datang setelah Bian telepon dan memintanya menjemputnya.

Intinya, Bian yang selalu hati-hati dalam berhubungan dengan lawan jenis tidak pernah mempan untuk dirayu secara biasa, alhasil para obsessif dan gold digger itu memilih cara yang salah hanya untuk masuk ke dalam keluarga Bramantiyo.

Fachir Bramantiyo tidak menginginkan Bian menikah dengan anak relasi bisnisnya karena dia tahu semua relasi bisnisnya selalu menyodorkan anak perempuan mereka hanya agar mendapat kepastian bisnis. Jadi Bian, tidak pernah menggubris tawaran perkenalan dan perjodohan dari kalangan bisnis untuk menghormati keinginan ayahandanya.

Bian juga pernah berhubungan serius dengan model atau artis yang dia pikir tidak neko-neko. Tapi ya, begitu. Selalu saja tidak lulus standar menantu idaman ibunya.

Jadi inilah Bian, diusianya yang sudah memasuki angka 31 tapi belum memiliki pendamping hidup yang ideal untuknya, ataupun keluarganya.

Bian merasa semua kebetulan ini terasa aneh, tapi entah kenapa, Bian merasa, memang inilah jalannya.

Mulai dari ibunya yang begitu menginginkan wanita seperti Nayla untuk menjadi menantu idamanya, sampai akhirnya Nayla menjadi korban kebiadabannya, meski Bian tidak sepenuhnya salah. Kalaupun keluarga Nayla mengadukan Bian ke polisi, Bian dengan mudah lolos dari tuntutan karena dia punya saksi bahwa dia memang dalam pengaruh obat dosis tinggi. Kalau perlu, dia akan menyeret wanita jalang yang sudah menjebaknya untuk mengakui apa yang ia sudah lakukan pada Bian di pesta waktu itu. Jadi hanya 1 yang tersisa. Menikahi si korban. Nayla Ayunanda Putri.

*

Bian sedang berada di monitor room untuk mengecek CCTV kamarnya. Kenapa Bian memasang CCTV di area kamar pribadinya? Ya itu. Untuk berjaga-jaga jika memang ada yang berniat menjebaknya di apartemennya sendiri. Bian juga memastikan hotel memasang CCTV sebelum ia menginap di hotel tersebut. Kalaupun hotel itu tidak bisa menyediakannya, Bian tidak khawatir. Dia selalu membawa CCTV toolkit di bagasi mobilnya.

Bian mulai mempercepat rekaman sampai pada bagian yang ia inginkan. Dan ketika dia menemukan rekaman yang ia maksud, Bian terbelalak bahkan tak percaya walau sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dilihatnya kelakuan binatangnya terhadap gadis malang itu. Bian mengangkat gadis itu seperti karung beras, melemparnya kasar ke atas ranjang dan menggaulinya tanpa peduli dengan rontaan si gadis.

Hati Bian sakit ketika melihat gadis itu dengan susah payah memindahkan tubuh Bian yang menindihnya dan dengan tertatih-tatih dia memunguti pakaiannya satu persatu dan lalu pergi dengan menggunakan key pass yang memang berada di samping pintu.

"Nayla.." tanpa sadar Bian memanggil nama itu.

"Akankah kau memaafkan aku?"

Entah apa yang akan terjadi. Tapi Bian akan menemui Nayla dan menerima apapun yang akan terjadi itu.

***

Nayla sedang berusaha memasukkan benang ke dalam jarum untuk menjahit kancing kemeja ayahnya, tapi pikiran Nayla tidak fokus. Alhasil, jarum itu berkali-kali gagal masuk ke lubang.

Nayla yang kesal menangis karena dia masih belum bisa melupakan kejadian yang menimpanya. Dan ketika itu, dilihatnya mobil dengan plat ibukota masuk ke pekarangannya. Mata Nayla berharap itu adalah Wira, tapi dia malah seperti melihat hantu ketika mendapati sosok yang lain. Sosok yang selalu menjadi mimpi buruk baginya. Sosok asing yang sudah menghancurkan semua yang dimilikinya.

Nayla yang ketakutan langsung berlari ke dalam, tapi lagi-lagi, sosok itu lebih cepat darinya dan berhasil menarik tangan Nayla hingga tubuh ringan Nayla terputar dan menabrak dada bidangnya.

"LEPASKAN AKU. LEPASKAN!!!"

"Nay kumohon, dengarkan aku, aku ke sini untuk memberi penjelasan. Tolong tenang dulu."

"Aa.....A Aliiiii...."

Tak lama seorang pria tinggi besar menarik dan menjatuhkan sosok itu. Tanpa pikir panjang, dia memukuli lawannya bertubi-tubi.

"Hentikan!"

Ali yang melihat pamannya datang langsung berhenti dan melepaskan lawannya yang sama sekali tidak memberikan perlawanan. Ibu mendekati Nay yang masih menangis ketakutan. Mata sosok itu beradu dengan mata Muhammad Salahudin. Amarah terlihat jelas di netra coklat itu.

"Bawa dia ke dalam."

"Tapi Wa, dilihat dari reaksi Nay, kita sudah tahu, pasti dia yang"

"Bawa dia ke dalam." Perintahnya lagi dan harus dilaksanakan.

***

Aminah adalah seorang ibu yang berhati lembut. Dia tahu siapa orang yang tengah ia obati. Pria yang sudah merusak masa depan putrinya. Tapi dia tidak bisa melihat orang yang babak belur di hadapannya dan seolah-olah tidak menyadarinya. Karena itu, dengan air mata, ia membersihkan luka di wajah si Pemerkosa itu dengan air hangat dan mengobatinya dengan P3K seadanya.

Si Pemerkosa itu, Bian, sakit melihat air mata sang ibu. Dipegangnya tangan lembut yang sedang memupuhi luka di wajah Bian dengan betadine.

"Ibu boleh menghajar Saya jika itu membuat ibu lebih baik. Saya tidak akan melawan." Ucapnya dengan air mata yang tertahan.

"Memukulmu tidak bisa mengembalikan anakku seperti dulu. Aku mengobatimu karena aku manusia, walau mungkin yang aku obati bukanlah manusia."

Tajam menusuk. Kata-kata sederhana itu sudah mewakili semua cambukan yang harusnya ia terima. Sakitnya terasa hingga ke ulu hati. Itu adalah amarah seorang ibu karena anaknya tersakiti. Sakitnya tak tertandingi.

Setelah Aminah selesai, ia duduk di samping suaminya. Giliran sang ayah yang menunjukkan amarahnya lewat tatapan mata tajamnya.

"Jadi mau apa kau kemari?" Tanya Ali yang duduk di samping Aminah. Tapi kemudian dia menghela nafas ketika Salahudin memelototinya.

"Saya datang untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Saya siap jika Bapak dan Ibu ingin membawa saya ke polisi sekarang juga. Tapi biarkan saya bertanggung jawab atas hidup Nayla."

"Kalau sampai perbuatanmu membuahkan hasil, jangan khawatir, kami tidak akan meminta pertanggung jawabanmu. Harga rumah kami mungkin tidak sebanding dengan harga mobil mewah yang kau kendarai, tapi aku masih kuat untuk menghidupi putri dan cucuku."

"Saya bicara tentang putri Bapak, bukan apa yang akan terjadi nanti. Izinkan Saya menikahinya walau saya tahu, saya tidak pantas untuk itu."

"Apa menurutmu - aku, selaku ayah - akan membiarkan putri yang kubesarkan dengan kasih sayangku rela aku nikahi dengan pemerkosa sepertimu?"

Bian memejamkan mata dan menghela nafas. Tentu saja tidak.

"Semua kesalahan dapat dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari rasa tanggung jawab."

Semua orang di ruangan bernuansa rotan itu melihat ke arah sumber suara. Fachir Bramantiyo berdiri tegak dan beradu pandang dengan Muhammad Salahudin. Sementara Nyonya Bramantiyo langsung berhambur ke puteranya setelah mendapati putra kesayangannya babak belur.

Ya. Semua kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab.







JODOH SEORANG PEMERKOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang