"Usia kandungan sudah memasuki 14 minggu. Sehat dan bulan depan kita sudah
bisa mengetahui jenis kelaminnya."Nay masih tak percaya ketika melihat monitor yang menampilkan gerakan-gerakan yang membuat jantungnya berdebar-debar. Mata, telinga, hidung dan dagu mungil mulai terlihat jelas di sana.
"Tapi tekanan darah Anda sedikit rendah jadi saya akan memberi resep untuk penambah darah dan penguat kandungan." Tambahnya.
"Apa itu berbahaya, Dok?" Tanya Aini yang menemani Nay ke rumah sakit.
Nay baru kembali kemarin setelah menghadiri tahlilan 40 hari almarhum orang tuanya, sedangkan Bian masih ada di Surabaya dan baru akan kembali besok.
"Yang penting jaga makan dan jangan stress." singkat sang dokter.
Nay masih terpaku pada monitor sedang Aini terus mendengarkan apa yang seharusnya Nay perhatikan.
'Anakku. Ini Bunda...'
*
Setelah selesai melakukan USG, Nay makan di kantin sambil menunggu Aini yang sedang memeriksakan mata Adibah.
"Kasihan dedek bayi kalau kamu lapar. Apalagi kata dokter kamu agak anemia. Antri di optik lama Nay. Kamu makan dulu, kalau sudah makan, kamu ke sini lagi."
Dengan hati-hati Nay membawa baki pesanannya ke meja kosong yang tersedia. Waktu menunjukkan pukul 11 siang. Masih terlalu awal untuk makan siang, jadi masih mudah menemukan bangku kosong di kantin rumah sakit yang ia datangi.
"Nay?"
Mata Nay terbelalak ketika melihat siapa yang memanggilnya. "Mas Wira?"
Jantung Nay berpacu cepat ketika tiba-tiba tubuhnya yang sudah berdiri mematung, direngkuh ke dalam pelukan orang yang hampir menjadi imam dalam hidupnya itu.
"Aku merindukanmu Nay. Aku sangat merindukanmu." Ucap Wira haru tak percaya. Dia pikir dia tidak akan pernah melihat wanita yang dicintainya setengah mati itu.
Nay yang tidak melupakan statusnya langsung melepaskan diri. Dan melihat anti pati Nay, Wira tahu, dia telah melewati batasannya.
"Maaf. Aku hanya begitu senang melihatmu. Duduklah."
Nay ragu untuk duduk kembali, tapi melihat Wira yang sudah duduk membuatnya tak punya pilihan.
"Bukannya Mas ke luar negeri?" Tanya Nay karena Wira tak mengatakan apapun dan hanya menatapnya.
"Hmm. Aku pulang karena ibu masuk rumah sakit. Dia dirawat di sini. Serangan jantung ringan." Jawabnya tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun dari Nay.
"Innalillaah. Ibu! Lalu bagaimana keadaannya sekarang?"
"Sudah membaik. Terima kasih telah mengkhawatirkan ibuku."
Hening kembali. Nay berusaha fokus dengan makanannya yang tinggal setengah, tapi jujur ia tak bisa. Dan ia berakhir dengan hanya mengaduk-aduk makanannya saja.
"Kang Ali bilang kau sudah menikah, apa itu benar atau hanya cara agar aku menyerah?"
Sendok yang Nay pegang berhenti memutar dan tersandar di mangkuk. Ketika itulah Wira menyadari cincin yang melingkar di jari manis Nay.
"Apa dengan si Pemerkosa itu?" Tanya Wira lagi getir dengan gigi yang mengatup. Tanda ia sedang menahan emosinya.
Nay yang bisa merasakan itu mulai tidak nyaman dan pergi adalah hal yang benar saat ini. Tapi Wira menahannya.
"Setidaknya beri aku satu nama agar aku bisa memberi bajingan itu hadiah karena telah menodai tunanganku."
Nay bisa merasakan amarah dicengkraman Wira. Nay benar-benar harus pergi. Dia tidak bisa menghadapi situasi seperti ini.
"Tolong lepaskan! Kita sudah tidak punya hubungan apapun." Tepis Nay dan akhirnya berhasil membuat cengkraman Wira terlepas.
"Kau tidak bahagia Nay. Aku bisa melihatnya. Hanya aku yang bisa membahagiakanmu."
Nay tidak menyahut dan hanya melangkah dengan cepat. Meninggalkan Wira yang masih terpaku di tempatnya. Semua masih terasa berat bagi Nay, tapi Wira adalah masa lalu, dan hanya akan jadi masa lalu.
***
"Maaf Nyonya. Ada surat buat Nyonya."
Bi Asih, asisten rumah tangga senior di kediaman Bramantiyo menghampiri Nay dan menyodorkan sebuah amplop kepadanya ketika dia baru saja tiba di rumah.
"Terima kasih, Bi."
"Ya, Nya. Nyonya sudah makan siang?" Tanya Bi Asih yang memang selalu perhatian.
"Sudah, Bi. Saya mau istirahat dulu. Tolong bangunkan saya jam 5 ya, Bi."
"Baik, Nyonya."
*
Nay yang sudah berada di kamarnya membuka amplop panjang putih yang kata Bi Asih ditujukan kepadanya. Tidak ada alamat pengirim sama sekali, hanya ada tulisan tangan yang jelas di muka amplop itu.
Untuk Ny. Bramantiyo
Mata Nay terbelalak dan tangannya bergetar melihat isi amplop kiriman itu. Tiba-tiba saja, kata-kata Wira di rumah sakit terngiang-ngiang di telinga Nay.
"Hanya aku yang bisa membahagiakanmu."
"Hanya aku yang bisa membahagiakanmu."
Nay memegang dadanya yang terasa sakit. Sebulir air mata jatuh perlahan.
'Apakah cinta yang kulihat di matamu adalah dusta ?'
'Apakah semua hanya sandiwara belaka?'
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
Romance"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-