Bian's POV
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk mencintai seorang Nayla. Bahkan amarahnya, rasa bencinya malah semakin membuatku jatuh cinta. Jadi ketika aku tahu, aku harus menikahinya setelah apa yang aku lakukan, entah kenapa dadaku terasa membuncah. Penolakannya tidak akan mengubah apapun, aku akan tetap menikahinya walau bagaimanapun. Dan lihatlah! Aku benar-benar menikahinya.
***
Bugh.
Pukulan Wira langsung menjatuhkanku seketika. Entah dari mana atau siapa, tapi dia sudah tahu aku menikahi mantan tunangan yang dicintainya itu.
"Kau bukan sekedar sahabat bagiku. Tega sekali kau menusukku seperti ini."
Aku bangkit dan mengusap cairan kental di sudut bibirku. Dia pun bukan sekedar sahabat bagiku, tapi apa mau dikata, seperti inilah keadaannya.
"Aku tidak melakukannya dengan sengaja dan aku bisa membuktikannya padamu." Ucapku membela diri, aku memang menikahi wanita yang dicintainya, tapi mengkhianati sahabat, tidak pernah aku lakukan.
"ITU TIDAK MERUBAH APAPUN. KAU TETAP TELAH MENGAMBIL CINTA DAN HIDUPKU SIALAN."
Wira menjatuhkanku lagi. Aku tidak akan melawan karena aku memang pantas menerima kemarahan Wira. Dia benar. Aku telah mengambil cinta dan hidupnya menjadi cinta dan hidupku.
Wira belum selesai. Dia menarik kerah kemejaku dan memastikanku bagai pecundang.
"Ceraikan dia! Kau tak pantas untuk wanita sebaik Nayla!"
Menceraikan Nayla? Cih! Bunuh saja aku. Aku menepis cengkraman Wira dan mundur selangkah dari pria yang terlihat ingin membunuhku itu.
"Jangan mimpi! Apapun yang terjadi, Nay sekarang adalah istriku dan aku tidak akan menyerahkannya pada siapapun."
"KAU MEMANG SIALAN."
Bug. Bug. Bug.
Entah berapa pukulan yang aku terima, tapi yang jelas, setelah itu aku bersembunyi selama seminggu di apartemenku. Memastikan wajahku tampan seperti semula baru pulang kembali ke tempat dimana bidadariku berada.
*
"Jadi siapa pelakunya?" Tanyaku setelah orang yang kusuruh menyelidiki pelaku yang mengirim foto-foto Nayla bersama Wira entah di mana. Sepertinya di kantin rumah sakit sederhana atau semacamnya. Tapi Nay bilang dia tidak sengaja bertemu dengan Wira, jadi itu pasti benar. Asal Nay yang mengatakannya, aku akan percaya. Nay, bukanlah seseorang yang bisa berbohong dengan mudah. Dia akan memilih menghindar atau bungkam dari pada ia berbohong akan sesuatu. Dia istriku dan aku semakin memahaminya.
"Wira Sudibyo. Dia pelakunya. Dia menyuruh seorang fotografer untuk memata-matai istri Anda saat itu. Sayangnya, istri Anda jarang keluar jadi tidak ada lagi foto yang bisa dikirimkan kepada Anda."
'Kau tidak sebaik kelihatannya Wira.'
*
Aku mendatangi Wira di apartemennya karena aku tahu dia belum kembali ke Prancis. Kudengar ibunya masuk rumah sakit. Aku prihatin. Tapi maaf, aku tidak punya empati untuk menjenguk ibunya karena aku tahu, ibunya punya andil dalam musibah yang menimpa Nay, dan dia juga yang membuang Nay setelah mengetahui kemalangan apa yang menimpa mantan calon mantunya itu.
Wira membukakan pintu dengan malas. Dia melengos ke dalam apartemennya yang dulu kami beli di waktu yang bersamaan dengan apartemen 69 yang sudah kujual.
"Apapun yang kau lakukan, kau tidak akan mendapatkan istriku. Jadi menyerahlah."
Wira berdecih dan sungguh, Wira yang ini benar-benar membuatku muak. Dia bukan Wira sahabatku dulu. Wira yang ini hanyalah pria yang terobsesi pada istriku dan sepertinya dia akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Nay tidak mencintaimu. Cepat atau lambat, kalian akan bercerai. Kau bahkan tidak tahu apa yang sudah menimpanya. Apa kau sebut dirimu itu suami?"
"Apa maksudmu? Apa yang terjadi pada Nayla?"
"Kau memang seorang pecundang."
Bug.
Aku menjatuhkannya sekali pukul. "Mungkin Nayla belum mencintaiku, tapi dia pasti akan mencintaiku. Istriku itu berhati lembut selembut rambut sutra dan kulit mulusnya, ah ya, semanis bibirnya. Apa kau pernah merasakannya?"
"KUBUNUH KAU BRAMANTIYO."
Zep.
Aku menangkap, mengunci dan membanting Wira. Sudah cukup aku merasa kasihan pada pria licik itu.
"Aku sudah membiarkan diriku kau pukuli sebagai permintaan maaf, tapi tidak lagi. Lihatlah dirimu Sudibyo! Siapakah yang sebenarnya pecundang di sini?" Ucapku lalu meninggalkannya yang sepertinya mengamuk dan menghancurkan barang-barang di sekitarnya. Aku-tidak-peduli. Tidak akan aku biarkan Nay direbut manusia seperti Wira.
***
Aku bahagia. Walau banyak hal dan rasa sakit yang harus kami alami sebagai suami dan istri, aku bahagia. Karena ketika aku jauh darinya, aku merasakan hidupku hampa. Hidupku tak berarti. Tapi ketika dia berada di dekatku seperti ini, aku merasa surga.
Lihat! Bidadariku masih terlelap. Setelah mengamuk karena aku mengerjainya dengan kabar kritisku, memukuliku tanpa ampun, dia akhirnya terlelap karena kelelahan. Dan di sinilah aku memandanginya sepuas hatiku dan bahkan tidak bosan, meski sudah berjam-jam lamanya.
Kelopak itu terbuka. Wajahnya hanya berjarak sepuluh senti dari wajahku. Manik jelinya menatapku. Ah, Tuhan, inikah rasanya surga?
"Selamat pagi, Nyonya." Sapaku konyol, seperti biasanya.
Dia tak bereaksi dan hanya menatapku dengan kerlipan berkali-kali. Membuatku tersenyum bahagia.
"Kau masih marah? Kau boleh memukulku lagi sepuas hatimu. Aku ikhlaskan tubuh kekarku ini untukmu." Ucapku dengan canda, bukankah dia senang dengan candaan dan kekonyolanku?
Cup.
Baiklah. Sepertinya aman. Lagi?
Cup.
"Bisakah kau katakan sesuatu? I love you misalnya? Aku tahu aku tampan, jadi tidak usah memandangiku seperti itu."
"Kenapa Mas tahu kalau aku akan membatalkan perceraian itu? Bagaimana jika aku tidak membatalkannya? Apa Mas sungguh-sungguh akan menceraikanku?"
Oh, jadi itu yang ada di kepala cantiknya saat ini. Menggemaskan sekali.
"Aku merasakannya ketika kau datang ke kantor. Di sini.." Hmmm... bahagianya bisa menyentuh si bukit kembar ini...dimana ya belahannya?
Aku melihatnya melihat ke arah tanganku meraba-raba. Aish... sepertinya aku belum dapat SIM. Surat Izin Menyentuh haha.
"Ehem.." Aku berdeham dan menjauhkan tangan nakalku.
"Maksudku.. aku merasakan debaran jantungmu. Mulut manismu ini memang kejam, tapi tatapan matamu dan debaran jantungmu mengatakan kejujuran padaku. Kau... Nyonya Bramantiyo telah jatuh hati pada suamimu yang tampannya kelewatan ini."
Dia memukulku pelan, dan aku lalu menangkap tangan lembut itu. Menarik tubuh mungilnya agar berhimpitan dengan tubuhku.
"Kalau saja tanganku tidak patah. Aku pasti akan memakanmu saat ini." Bisikku di depan kelopak merah mudanya, dan mengambil jatah morning kissku.
Well, well, aku memang tidak kritis. Tapi kecelakaan itu memang benar.
Do'akan aku biar cepat dapat SIM ya. Aku penasaran dengan si kenyal yang kusentuh tadi. Hey! Dia istriku. Don't forget it! 😝😝😝😝😝
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
Romance"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-