Dua puluh satu

1.3K 134 14
                                    

PLAK.

"PAPA!" Teriakan Nyonya Besar menggema di kediaman Bramantiyo. Mereka langsung terbang ketika mendengar kabar Bian telah mengajukan perceraian dan dengan kekuasaannya, dia mempercepat proses perceraiannya itu. Sidang pertama akan digelar beberapa hari lagi dan Bian bahkan tidak peduli.

"Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah bagus ada wanita baik-baik yang mau menikah denganmu, kau malah menceraikannya dengan alasan keji seperti itu. Apa kau masih bisa menyebut dirimu ini manusia?" Hardik Tuan Besar tak menahan amarahnya.

Bian yang merasakan perih di pipinya serta cenat cenut di kepalanya akibat mabuk semalam tak bisa banyak berkutik. Dia hanya menerima segala amarah orang tuanya yang memang sangat menyayangi Nay.

Papanya. Fachir Bramantiyo, tidak sekalipun ia pernah marah pada Bian, memukul pun tidak, tapi saat ini, untuk pertama kalinya, Bian melihat Tuan Bramantiyo begitu murka pada anaknya. Dan lagi-lagi, Bian tidak peduli. Dia akan bercerai dengan Nay, sekalipun orang tuanya akan menentangnya.

*

"Ini Tuan Besar." Bi Asih, asisten senior rumah tangga keluarga Bramantiyo datang dengan membawa kantong kresek hitam dan menyerahkannya pada majikannya. Tuan Bramantiyo menerima dan membukanya perlahan.

"Ceritakan semuanya, Bi. Biar anak tidak tahu diuntung ini tahu, kekejian apa yang ia sudah lakukan pada putriku." Ucap Nyonya Bramantiyo menatap Bian dengan penuh kemarahan.

Bian tak mengerti. Ada apa ini? Apa yang harus Bi Asih ceritakan dan apa yang harus ia dengarkan?

"Setelah Tuan Muda berangkat ke kantor, hampir setiap hari datang surat untuk Nyonya Muda. Tiap kali mendapat surat itu, Nyonya akan terlihat murung dan mengurung diri di kamar. Ketika sudah siang, barulah Nyonya keluar dan mengerjakan kegiatan rumah. Saya tidak tahu surat apa yang Nyonya dapat, tapi ketika membersihkan kamar setelah kepergian Nyonya, saya menemukan ini di tempat sampah. Entah kenapa saya ingin sekali mengecek kantong itu dan saya terkejut melihat isi kantong itu. Sekarang saya tahu kenapa Nyonya Muda selalu murung. Entah bagaimana perasaan Nyonya mendapat foto-foto itu hampir setiap hari. Tuan juga jarang di rumah. Nyonya menangis setiap hari dan saya tidak bisa berbuat apa-apa."

PUK.

Foto-foto menghujani Bian setelah dilempari oleh ayahnya. Ibunya sudah menangis tak tertahan melihat foto-foto itu dan jangan tanya bagaimana tanya raut murka ayahnya. Dia terlihat sangat ingin memukuli anak semata wayangnya itu.

Bian mengambil foto-foto yang menghujaninya dengan kasar. Matanya terbelalak tak percaya.

"Apa-apaan ini? Foto-foto ini tidak benar." Sanggahnya.

Foto-foto itu memang terlihat intens. Foto Bian bersama sekretaris mudanya. Tapi kebenarannya tidak seintens itu. Bian memutar memorinya. Dia ingat sekretaris muda barunya itu memang bertingkah agak aneh yang membuat Bian harus membantunya, merangkulnya dan sebagainya. Sekarang Bian mengerti. Sekali lagi, dia telah dijebak. Dan kali ini bukan dirinya lah yang menjadi korban. Tapi.....

"Permisi Tuan. Ini CD rekaman yang Tuan minta."

Bian yang masih tak percaya dengan apa yang ia lihat , menghiraukan security yang menghampiri ayahnya.

"Tolong setel!"

"Baik, Tuan."

Bian tak mungkin mengabaikan layar LED 50 inch yang mengeluarkan cahaya. Mata Bian dan semua orang yang ada di situ  merasa sedih dan kasihan melihat bagaimana Nyonya Muda Bramantiyo ditampar di rumahnya sendiri, ditarik hingga ia jatuh terjengkang dan berguling ke pelataran hingga akhirnya rekaman itu berakhir dan layar menjadi hitam.

JODOH SEORANG PEMERKOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang