Nay merasa matanya sangat berat. Meski begitu ia mencoba terjaga. Tenggorokannya sangat kering. Ia butuh minum untuk melegakan dahaganya.
Dan lihatlah siapa yang bersandar di depan jendela bertirai putih, di tempat ia berada sekarang. Fabian Chandra Bramantiyo. Suaminya.
"Aku di sini hanya untuk menanyakan kepastian darimu."
Nay belum berkata apa-apa. Dia hanya menyadarkan tubuh lemahnya di ranjang besi yang selalu membuatnya tak nyaman. Mencoba mendengarkan suaminya.
"Kata dokter, kau pendarahan dan kau tahu betapa terkejutnya aku saat dokter memberi tahuku kalau belum lama ini kau melakukan tindakan medis karena kau kehilangan janinmu yang sudah berusia 16 minggu. Apa itu benar?"
Nay menatap suaminya yang terasa begitu jauh darinya. Entah kenapa Bian seperti ingin mengakhiri segalanya.
"Apa kau sengaja menggugurkan kandunganmu agar kau bisa pergi dengan mantan tunaganmu itu? HAH? Bukankah dia mengajakmu ke PRANCIS dan berencana bahagia di sana? HAH?"
Mata Nay membulat tak percaya. Hatinya terasa tertusuk belati tak kentara ketika tuduhan itu dilontarkan kepadanya. Seburuk itukah Nay di mata suaminya? Nay turun dari ranjang dan menapak perlahan. Lututnya gemetar tapi ia tak gentar. Hatinya luka tapi tak berdarah. Tidak ada yang lebih mengerikan dari pada seorang ibu yang dituduh membunuh anaknya sendiri tanpa bukti.
"Apa kau membunuh anakku karena itu? Jawab Nay! Jawab!!!"
Sekali lagi, Bian menusukkan belati di jantung Nay yang sudah sangat menganga. Sebulir air mata Nay jatuh tak tertahan.
PLAK.
"Cukup Tuan Bramantiyo! Sudah cukup kau merendahkan aku seperti ini. Ceraikan aku! Aku tidak tahan lagi hidup di neraka bersamamu."
Bian berdecih menghina. Emosi telah menguasai dirinya. Kehilangan anak yang ia dambakan sejak awal pernikahan yang mungkin bisa menjadi penguat ikatannya dengan Nay, musnah sudah. Nay dan Wira. Bian tidak akan memaafkan mereka berdua.
"Kau pikir aku mau hidup dengan manusia yang telah dengan sengaja menghilangkan nyawa anakku? Jangan khawatir Nyonya! Kau boleh yakin, kita akan bercerai. Secepatnya."
Dan Nay pun tak sanggup menahan lagi lututnya yang gemetar. Tubuhnya luruh ke lantai diiringi tangisan pilu yang menyayat hati. Wanita yang berjibaku untuk mempertahankan rumah tangganya itu kini harus menyerah.
***
Tiga hari kemudian.
"Kalian tahu, jangan menikahi wanita cantik. Semua wanita cantik itu racun. Kalau perlu jangan menikah. Hidupmu hanya akan menjadi susah."
Tony dan Alex hanya bisa menghela nafas. Bian meminta mereka bertemu dan ternyata mereka hanya harus melihat Bian yang mabuk-mabukkan dan berakhir dengan mendengarkan ocehan si Mabuk yang tak keruan. Dilihatnya Bian yang sudah mabuk berat. Entah apa yang terjadi hingga Bian menjadi seperti ini. Mereka sudah lama tak bertemu. Tony dan Alex hanya tahu Bian menikahi Nay, tapi persahabatan mereka telah berakhir ketika mereka tahu Bian memperkosa tunangan Wira. Mereka pun tidak bertemu Wira lagi, karena Wira sibuk dengan patah hatinya dan terbang ke Prancis. Mereka sempat mendengar Wira pulang untuk menjenguk ibunya yang terkena serangan jantung, tapi mereka enggan mengunjungi Wira. Tony dan Alex tidak bisa mengatakan pada Wira kalau Bianlah yang mengambil kebahagiaannya, tapi mereka juga tidak bisa pura-pura tidak tahu ketika berjumpa dengan Wira. Jadi lebih baik mereka tidak usah bertemu. Toh, Wira juga sepertinya tidak ingin bertemu dengan mereka. 4 sekawan itu tidak ada lagi.
"Sudah cukup. Kami akan mengantarmu pulang." Ucap Tony yang lalu memapah Bian bersama Alex.
"Anakku...anakku yang malang. Mereka membunuhnya...mereka membunuh anakku...."
Tony dan Alex saling bertatapan mendengar ocehan Bian. Apa Bian baru saja mengatakan anaknya dibunuh? Anak yang mana?
*
Dua insan yang saling mencintai terlihat bahagia di hari pernikahannya yang suci. Sang wanita nampak seperti seorang bidadari dengan sang mempelai pria yang tampan rupawan bak seorang pangeran. Mereka tersenyum dan saling menatap penuh cinta.
Bian yang melihat hal itu merasa hancur. Bagaimana bisa mereka bahagia di atas penderitaan seorang ayah yang baru saja kehilangan anaknya? Bagaimana bisa?
Bian mendekati sang mempelai wanita yang tak henti-hentinya tersenyum dan mencengkram tangannya.
"JANGAN SENTUH ISTRIKU! Ayo sayang! Kita pergi." Tapi Wira menepis tangan Bian dan mendorongnya. Membuat Bian terjatuh dan menabrak meja yang berantakan seketika. Piring dan gelas prasmanan di meja itu tak tersusun lagi dengan rapi. Beberapanya hancur berantakan, seperti hati dan hidup Bian saat ini.
"Kenapa kau lakukan ini padaku Nay? Kenapa? Kenapa?"
Bian meraung-raung membuat setiap tamu iba, tapi Nay tak berpaling sedikitpun. Dia hanya melenggang pergi bersama suami barunya. Wira Sudibyo.
"Nay aku mencintaimu....kumohon jangan pergi..."
*
Nay perlahan menarik kopernya yang telah terisi. Tak banyak yang Nay masukkan selain KTP dan beberapa potong baju sederhana. Semua gamis mahal dan asesoris serta perhiasan pemberian ibu mertuanya, tak satupun yang ia bawa. Dia merasa tak punya hak untuk membawanya.
Langkah Nay terhenti ketika ia mendengar namanya disebut. Apakah Bian terbangun? Lalu apa yang harus ia katakan? Kenapa dia berada di rumah ini? Tapi kemudian Nay sadar, Bian hanya sedang meracau dalam tidurnya. Pria itu tengah memimpikannya.
"Apa? Tuan ada di rumah? Baiklah, saya akan kembali lagi nanti atau besok."
Nay baru saja tiba di kediaman Bramantiyo ketika waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Dia harus mengambil KTPnya dan beberapa pakaian ganti untuknya dan juga membuang 'rahasianya'.
"Nyonya jangan pergi. Tuan semalam mabuk, jadi dia pasti akan bangun siang. Nyonya masuk saja ke kamar, jika butuh bantuan, panggil saja saya."
Nay sedikit ragu tapi kemudian tersenyum. "Baik, Bi. Saya hanya sebentar."
*
Dengan keberanian yang tersisa, Nay mendekati Bian dan menatap suami yang akan segera menceraikannya itu. Surat pengadilan sudah dikirim. Seminggu lagi adalah sidang pertama mereka.
"Nay....aku mencintaimu....kumohon jangan pergi..."
Hati Nay teriris mendengarnya. Kenapa kehidupan rumah tangganya menjadi seperti ini? Kenapa?
Nay duduk di sisi ranjang dan berbisik di telinga suaminya.
"Akupun mencintaimu, Mas. Tapi maaf, aku harus pergi."
Hanya itu. Nay kemudian mengangkat kopernya agar tidak menimbulkan suara. Tepat di pagi yang mulai beranjak siang itu, Nyonya Muda Bramantiyo pergi dan tak berniat untuk kembali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
Romance"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-