Seminggu lagi telah berlalu. Keadaan Bian dan Nay memang masih sungkan tapi Bian mencoba sebanyak mungkin berkomunikasi dengan baik. Nay mungkin masih kecewa dengan kelakuannya yang sempat menghindarinya, jadi Bian menerima semua akibatnya.
"Kau mau ku antar ke tempat Mbak Aini?" Tanya Bian di sela-sela sarapan pagi mereka yang hening.
"Aku akan naik taksi." Jawab Nay yang secara tidak langsung menolak tawaran Bian.
"Kenapa kau selalu naik taksi. Kan ada Pak Tarjo. Dia khusus mengantarmu dan mama."
"Aku tidak mau ke rumah Mbak Aini dengan mobil mewah. Orang-orang berbisik-bisik ketika kau mengantarkanku dulu. Aku takut mereka membicarakan Mbak Aini."
"Ya ampun, Nay. Tidak usah peduli dengan orang-orang seperti itu. Mereka hanyalah orang-orang syirik."
"Aku hanya ingin menjaga perasaan Mbak Aini karena menjaga perasaan orang lain sama dengan kita tidak menyakitinya."
Bian tertawa getir. Nay sedang menyindirnya. Pelan tapi cukup membuat Bian paham.
'Jadi kalau aku tidak menjaga perasaanmu, sama dengan aku menyakitimu. Begitu?' Ucap Bian dalam hati, lalu mencoba menghabiskan sarapannya yang tiba-tiba terasa hambar.
***
"Ini sudah bagus. Kau sudah pandai membuat bakery Nay." Ucap Aini yang kini menjadi guru Nay. Nay yang memang tidak bekerja, mengisi kegiatannya dengan kursus bakery yang juga merupakan salah satu usaha rumahan Aini selain katering nasi box. Untuk bakery, Aini hanya membuatnya jika tidak ada pesanan katering nasi box. Bakery yang ia buat nantinya akan dikirim ke toko-toko langganannya. Semua bakery ia kerjakan sendiri. Untuk nasi box, jika hanya nasi box pesanan kantor yang biasanya berjumlah 20 - 30 box saja, ia akan tangani sendiri. Tapi jika nasi box acara yang jumlahnya ratusan, Nay akan memanggil pekerja lepasnya, 1 gadis SMA terampil dan 2 gadis kuliahan kurang mampu di lingkungan tempat tinggalnya.
"Itu karena Mbak mengajariku dengan telaten. Kalau sudah punya anak, aku akan membuatkan roti yang hangat untuk mereka."
Nay terdiam. Bicara asalnya mengingatkannya akan lukanya. Dan Aini bisa melihatnya dengan jelas. Nay yang sedang berusaha melupakan kepahitan hidupnya kini murung kembali.
"Kau belum memberi tahu suamimu juga?"
Nay hanya memaksakan senyumnya. Untuk apa? Memberi tahu Bian hanya akan mendatangkan luka bagi mereka berdua.
"Walau bagaimanapun dia berhak untuk tahu Nay. Bagaimana jika dia tahu hal ini dari orang lain? Dia mungkin akan menganggapmu pembohong." Ujar Aini menasehati yang membuat mata Nay langsung berkaca-kaca.
"Lalu apa yang harus kukatakan, Mbak? Mas, aku hamil tapi aku keguguran. Kita tidak jadi punya anak."
"Nay..."
"Atau aku harus bilang. Ada wanita yang mendorongku hingga aku keguguran. Dia bilang aku merebutmu dan ada wanita lain yang kau cintai." Tambahnya semakin emosional.
"Nay.... Apa yang dikatakan wanita itu belum tentu benar. Lagi pula, kau juga seharusnya menceritakan kejadian itu, bukan malah menyuruh semua asisten rumah tanggamu tutup mulut. Apa harus aku melewati batasanku dan ikut campur urusan rumah tanggamu?"
Nay sudah terisak dan menyembunyikan wajahnya di balik tangan berjari lentiknya.
"Ini tidak mudah, Mbak. Aku sangat yakin wanita itu hanya ingin menjebak Mas Bian, tapi foto-foto itu terus saja berdatangan dan meracuniku. Aku ingin percaya pada Mas Bian. Tapi hatiku tetap saja ragu."
"Foto-foto apa?"
TING NONG.
Keingin tahuan Aini tertunda karena suara bell. Dia pun meninggalkan Nay dan menuju pintu.
*
"Apa kau baik-baik saja Nay?" Tanya tamu yang baru datang ketika melihat Nay yang sedang menangis.
"Wira menanyakan nomor HPmu, jadi Mbak menyuruhnya masuk. Kalian bicaralah." Ujar Aini yang langsung ke dapur. Memberikan privasi pada dua insan yang pernah hampir menikah itu.
"Apa si Brengsek itu menyakitimu lagi?" Tanya Wira dengan tensi yang langsung naik.
"Si Brengsek yang kau maksud adalah suamiku. Dan tidak. Dia tidak menyakitiku." Jawab Nay berusaha menghapus air matanya.
Aini tidak tahu apakah tindakannya benar dengan membiarkan Wira masuk dan menemui Nay. Tapi Aini berharap Nay merasa lebih baik setelah berbicara dengan Wira. Aini tahu, Wira adalah pendengar dan penasehat yang baik.
"Aku tidak tahu harus kemana mencarimu jadi aku kemari. Dan lihatlah! Kau ada di sini. Apa kau tidak merasa kita memang masih berjodoh?"
"Mas, kumohon. Aku sudah menikah." Nay tidak tahu apa yang terjadi pada Wira. Bukankah dia sudah menolaknya dengan jelas dengan pergi meninggalkannya ketika mereka bertemu di rumah sakit?
"Tapi kau tidak bahagia. Kebahagiaanmu adalah bersamaku Nay. Anak itu juga sudah tidak ada, jadi kau sudah tidak punya alasan untuk mempertahankan pernikahanmu."
Nay bangkit dan berdiri. Tak pantas rasanya dia membiarkan dirinya dibujuk seperti itu oleh laki-laki yang bukan muhrimnya. Tapi ketika Nay menegakkan wajahnya, tubuhnya membeku.
"Mas Bian?" Matanya membesar tak percaya ketika melihat suaminya sudah berada tak jauh darinya dengan tatapan yang menyeramkan. Penuh tuduhan dan penuh penghakiman.
"Jadi ini alasan kenapa kau tidak mau di antar supir? Agar kau bisa bebas bertemu dengan mantanmu ini? Begitu?" Tanya Bian dengan wajah yang memerah karena terbakar amarah.
"Aku tidak..."
"Apa kau sebegitu mencintainya?" Tuding Bian lagi tanpa membiarkan Nay menyelesaikan kata-katanya.
"Mas...."
"JANGAN PANGGIL AKU DENGAN MULUT PENDUSTAMU ITU! Kau lupa? Apa yang pernah aku katakan padamu? Aku masih tahan jika istri yang kucintai mencintai pria lain, tapi jangan menusukku dari belakang, Nay. Tapi lihatlah apa yang aku temukan di sini. Sepasang kekasih yang menjijikan."
BUGH
Wira yang sedari tadi terpaku akhirnya bergerak. Dua pria tegap itupun saling baku hantam setelah ia melemparkan bogem pertamanya lebih dulu. Adibah yang baru pulang sekolah dan bertemu dengan Bian di depan rumahnya tidak tahu apa yang terjadi. Tapi dia ketakutan dan gadis kecil yang ketakutan itu langsung berlari ke dapur, berusaha mencari ibunya.
*
"NAY!!!!!" Teriak Aini ketika ia muncul di ruang tengah rumahnya.
Seketika itulah, dua pria yang sedang baku hantam itu sadar. Nay tergeletak tak sadarkan diri di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
Romantizm"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-