Sepuluh

1.4K 152 4
                                    

"Tuan, kita sudah sampai."

"Ya?" Bian yang terbangun dari tidurnya merasa sedikit linglung. Dilihatnya Pak Dirman, supirnya, melihat ke arahnya.

"Kita sudah sampai." Ucapnya lagi.

Bian melihat ke luar jendela. Terlihat rumah sederhana yang ia rindukan. Rindu karena di sana ada sang bidadari bermata jeli yang tak sekalipun pernah mengangkat telponnya, atau hanya sekedar membalas pesan singkatnya. Akhirnya, setelah 3 minggu berjibaku dengan mega proyek perusahaan, Bian bisa menyempatkan menemui istrinya. Istri, ya istrinya.

"Fabian?" Panggil Ali di kegelapan.

"Kang, maaf, apa di sekitar sini ada penginapan yang bisa parkir mobil?"

"Buat saha?" Jangan khawatir. Tidak akan ada baku hantam. Semenjak Bian berstatus suami Nayla, sikap Ali berubah jinak 180 derajat.

"Ini, buat Pak Dirman."

"Tinggal di saung saya saja Pak. Bagaimana? Cuma ya seadanya, maklum namanya juga rumah kampung." Tawar Ali kepada supir keluarga Bramantiyo.

"Asal ada tempat rebahan, itu sudah cukup Den."

"Itu pak, langsung saja ke sana. Saung saya tepat di samping rumah ini. Saya antar Fabian dulu ke dalam."

Pak Dirman menganggukkan kepalanya dan langsung pergi ke arah yang ditunjukkan. Pria baya itu cukup kelelahan karena menjemput majikannya di bandara dan mengantarkannya kemari.

"Lebih baik saya juga tidur di tempat akang. Saya tidak mau menggangu Bapak dan Nay."

"Ngomong apa kamu ini? Nay tadi sudah bilang kalau kamu mau datang jadi dia sudah menyuruhku ronda sampai kamu tiba."

Bian meringis. Kalau saja pesawatnya tidak delay, dia pasti tidak akan datang selarut ini.

"Maaf ya, Kang."

"Santai."

Bian yang setengah sadar mengekori sepupu iparnya. Dilihatnya Ali mengambil kunci dari kantong celana trainingnya dan pintu terbuka seketika.

Ali mengambil alih koper Bian dan membawanya ke depan pintu kamar Nay.

"Ini kamar Nay?" Tanya Bian yang sebenarnya sudah tahu.

"Iya."

"Tidak ada kamar kosong?"

Ali mengulum senyum. Kasihan Bian. Masuk kamar istrinya saja dia tidak berani. "Memang kamu mau pisah ranjang dari istrimu?"

"Eh itu.."

"Istirahatlah." Ujar Ali sembari menepuk bahu iparnya itu.

*

Dug Dug

Dug Dug

Bian bingung apa yang harus ia lakukan. Dia memang suami Nayla, tapi dia tidak lupa kalau Nayla teramat sangat membencinya. Bagaimana jika tiba-tiba Nayla terbangun dan histeris karena melihat Bian? Tapi Bian sangat lelah. Dia baru saja melakukan perjalanan udara selama 8 jam dan darat selama 4 jam. Dia butuh istirahat saat ini. Dia benar-benar membutuhkannya.

Akhirnya, dengan ragu, Bian membuka pintu kamar yang ternyata tak terkunci. Tak banyak yang ia lakukan, dia hanya merangsek ke arah ranjang dan bergelung nyaman di sana.

***

Keesokkan paginya.

Nay bangun tepat ketika suara adzan berkumandang. Terasa aneh karena dia tidak bisa bergerak bebas. Dan tidak butuh waktu yang banyak sampai ia menyadari ada tangan kekar yang merengkuh pinggangnya possesif. Nay tidak perlu menyalakan lampu untuk tahu siapa yang sudah berani menyentuhnya.

Fabian Chandra Bramantiyo. Dia datang seperti yang diberitakannya.

Tiga puluh menit telah berlalu. Lampu sudah dinyalakan, Nay sudah mandi dan sembahyang, tapi tidak ada tanda-tanda Bian akan bangun. Jadi Nay mematikan lagi lampu dan keluar dari kamarnya.

***

"Suamimu masih tidur?" Tanya Aminah yang sudah sibuk di dapur.

"Iya Bu. Dia baru kembali dari perjalanan bisnisnya ke negara apa gitu, Nay lupa. Mungkin kelelahan."

"Ya sudah. Biarkan saja. Kita siapkan sarapan saja dulu. Ada supir suaminya juga kata Ali."

"Ya, Bu."

Pagi berganti siang, siang berganti sore, sore berganti malam. Orang-orang di rumah Nayla mulai cemas, karena Bian belum terjaga juga.

"Tuan memang suka begitu jika baru pulang perjalanan jauh. Pernah Tuan tidur sehari semalam pas pulang dari bisnis di Jerman. Tuan juga gila kerja, jadi kalau sudah ada proyek besar, istirahatnya ngawur. Tapi nanti juga bangun. Biasanya karena lapar hehe."

Pukul 22.20

Nay berkacak pinggang di depan ranjangnya yang tidak terlalu besar. Dilihatnya Bian yang masih terlihat pulas. Apa yang harus Nay lakukan? Bian tidak makan, tidak mandi, dan bahkan masih memakai baju kerjanya yang pasti sudah sangat kotor.

Apa benar Bian tidak apa-apa?

Apa mungkin dia pingsan?

Nay yang gelisah mendekati Bian dan mencoba untuk merasakan denyut jantung suaminya. Lebih baik memastikannya kan?

Tapi tiba-tiba Bian berbalik dan Nay yang sedang bersandar di dada bidang Bian ikut terguling karena rengkuhan tangan Bian yang turut menjungkir balikkan tubuh mungilnya. Nay panik tapi dia tidak bisa melepaskan diri. Seberapa keras pun Nay berusaha, tubuhnya terkunci erat oleh rengkuhan Bian yang masih memejamkan mata.

Tapi tak lama mata itu terjaga.

"Selamat pagi." Ucap Bian mencoba peruntungannya.

"Lepas!"

"I miss you wifey." Bian masih tidak menyerah.

"Aku bilang lepas."

"Aku lapar Nyonya. Bisakah kau memberi suamimu ini makan?"

Nay bergidik melihat kelakuan tidak jelas Fabian. Tapi tak lama, dia mendengar gemuruh hebat dari perut si Tak jelas itu.

"Sudah kubilang. Aku lapar."

JODOH SEORANG PEMERKOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang