Sembilan

1.3K 147 2
                                    

Nay mungkin adalah pengantin tercantik yang pernah Nyonya Bramantiyo lihat, sayangnya tidak nampak senyum di wajah bidadari itu sama sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nay mungkin adalah pengantin tercantik yang pernah Nyonya Bramantiyo lihat, sayangnya tidak nampak senyum di wajah bidadari itu sama sekali. Dia sudah jatuh hati pada gadis berkerundung itu dan ia sangat bahagia ketika mendapati Nayla akan menikah dengan putra satu-satunya. Nyonya Bramantiyo hanya berharap, Nayla bisa bahagia ke depannya.

"Mama tahu, sulit bagimu menerima Fabian sebagai seorang suami, tapi paling tidak, terimalah mama sebagai ibumu mulai saat ini."

Nay membuka matanya dan melihat calon ibu mertuanya sudah berada di sampingnya. Mengelus punggungnya lembut seperti yang ibunya selalu lakukan.

"Jangan menangis lagi cah ayu. Mama janji , kamu akan bahagia. Ayo, sudah waktunya."

Seorang assisten yang dibawa Nyonya Bramantiyo mengusap air mata dan memastikan penampilan Nayla sempurna dan seorang assisten yang lain mengambil posisi di belakang Nay  dan mengangkat ekor gaunnya. Tidak ada pesta apapun, tapi Nyonya Bramantiyo memastikan menantunya memakai gaun pernikahan di hari yang tidak akan ia lupakan ini.

***

Dug dug.

Dug dug.

Gendang bertabuh di jantung Bian ketika dia melihat pengantinnya. Terngiang-ngiang ucapan Toni di kepalanya.

"Apa kalian pernah membayangkan secantik apa bidadari di kayangan?"

"......"

"Secantik itulah Nayla Ayunanda Putri."

Ya. Toni memang benar. Secantik itulah Nayla Ayunanda Putri. Dan Bian tahu, dia telah jatuh hati pada bidadari itu. Dan ketika bidadari itu duduk di sampingnya, berada di bawah kerudung brokat yang sama, Bian sudah bertekad akan mempertahankan Nayla. Bian memang belum mengenal Nayla, begitupun sebaliknya. Tapi Bian akan berusaha agar Nayla bisa melihatnya seperti apa adanya dirinya dan bukan pria yang pernah menyakitinya.

*

Wira menatap seserahan yang dikembalikan dan tumpukan undangan yang tak berguna lagi. Wira menatap tanggal di undangan indah itu. Hari ini. Tepat hari ini, harusnya adalah hari yang membahagiakan bagi Wira dan Nayla. Harusnya hari ini menjadi hari yang sakral bagi mereka berdua, tapi nyatanya, di sinilah Wira meratapi kegagalan cintanya bersama sisa kenangan pertunangan dan persiapan pernikahannya.

"Ibu akan suruh Mbok Nah untuk membuang semua barang-barang ini. Ini sudah terlalu lama kamu menahannya di sini. Ibu tahu kamu sedih, tapi kita hidup untuk masa depan, bukan masa lalu."

"Apa ibu bahagia sekarang?" Tanya Wira datar.

"Apa ibu senang melihat kesedihan putramu ini?" Tanyanya lagi.

"Cukup Wira! Berhentilah menyalahkan Ibu. Ibu melakukannya untuk kebaikanmu. Itu saja."

Wira tersenyum getir. Kebaikannya. Entah kebaikannya yang mana, karena Wira tidak merasa baik sama sekali. Dia hanya merasa kosong dan hampa.

***

"Biarkan aku membantumu." Ucap Bian ketika melihat istrinya kesulitan melepas kerudung pengantinnya.

"LEPAS! Jangan menyentuhku!" Ketus Nayla menyingkirkan tangan Bian dengan kasar.

"Kalau kau tidak bisa melihatku sebagai seorang suami, setidaknya, lihatlah aku sebagai seorang manusia."

"Kau bukan manusia bagiku."

Bian hampir saja tidak bisa menahan emosinya. Tapi dia tidak ingin membuat segalanya lebih buruk. Jadi dia hanya mengepalkan tangannya dan menghela nafas.

"Aku akan panggil ibu untuk membantumu." Ujarnya lalu meninggalkan Nayla yang mulai menangis. Lagi.

JODOH SEORANG PEMERKOSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang